Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Badan Geologi serta Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menduga longsor dari erupsi Gunung Anak Krakatau menjadi pemicu tsunami di Selat Sunda yang terjadi Sabtu dua pekan lalu. Karena itu, tsunami ini unik lantaran tak didahului gempa bawah laut. Hingga Selasa pekan lalu, tsunami itu menewaskan 429 jiwa. Sedangkan 154 orang masih dinyatakan hilang.
Bencana akibat Gunung Krakatau ternyata sudah diprediksi jauh hari. Majalah Tempo edisi 16 Februari 1985 menurunkan artikel berjudul “Menyimak Peri Laku Selat Sunda” tentang penelitian geofisika dan geodinamika yang pertama kali menjamah lantai dasar Selat Sunda dan sekitarnya. Tim peneliti gabungan mengingatkan bahwa Gunung Krakatau masih rapuh. Mereka bahkan menduga akan ada letusan yang lebih besar daripada letusan besar 1883.
Kawasan bawah laut Selat Sunda ternyata merupakan kawasan penting. Bahkan, “Salah satu daerah yang khas di planet kita,” kata Profesor Jacques Dubois kepada Tempo kala itu. Dubois adalah geofisikawan dari Universitas Paris Selatan, Prancis, yang ikut penelitian itu. Mereka menggunakan kapal riset Jean Charcot yang khusus dibangun untuk penelitian Selat Sunda, sebuah penelitian gabungan ahli dari Prancis dan Indonesia.
Ekspedisi itu bernama Operasi Krakatau. Koordinator penelitian berada di bawah kendali Profesor Le Pichon dari Universitas Marie Curie, Paris, dan Profesor M.T. Zen, yang kala itu menjabat Deputi Ketua Bidang Pengembangan Kekayaan Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT). “Saya membicarakannya dengan Prof. Le Pichon sejak 1981, sedangkan desainnya kami siapkan pada 1983,” kata Zen. Kerja sama ini sudah dijalin sejak 1980.
Selama sepuluh hari pada Januari 1985, Jean Charcot meneliti geodinamika di Selat Sunda dan kawasan tenggara di tepian Palung Jawa. Menurut teori tektonik lempeng jagat, Lempeng Sa-mudra Hindia menukik ke bawah Lempeng Eurasia. Ia juga memiliki beberapa ciri khas. Misalnya, lokasi perubahan arah penukikan dari frontal di selatan Pulau Jawa menjadi miring di barat Pulau Sumatera. Di situ juga terdapat Anak Krakatau, pulau vulkanis yang sangat aktif. Sang anak ini yang belakangan intens diawasi BMKG dan para peneliti lain.
Tim peneliti Jean Charcot juga mengamati Selat Sunda sebagai zona transisi antara Pulau Jawa dan Sumatera. “Dari segi geologi, geofisika, dan vulkanologi, Selat Sunda dan bagian barat Banten lebih mempunyai kesamaan dengan Sumatera,” kata Zen. Di bawah Sumatera, terdapat jalur penyusupan dengan sudut yang landai sekali. Sedangkan di Jawa, lantai penyusupan itu sangat terjal. Transisi itu, selama ini, diperkirakan terjadi di Selat Sunda.
Tujuan operasi ini, menurut Zen, secara praktis untuk pengamanan daerah dan secara teoretis untuk membuktikan hipotesis yang menyatakan kawasan penelitian itu “daerah engsel” yang rawan bencana. Mereka menduga letusan Krakatau di masa depan akan berakibat lebih fatal. “Seabad yang silam, penduduk di sekitar kawasan ini masih langka,” kata Zen. Kini di sana sudah muncul pusat-pusat permukiman dan industri serta pariwisata.
Operasi ini juga mengaitkan program mitigasi yang berusaha melunakkan akibat bencana alam. Bila, misalnya, gerak-gerik lantai dasar Selat Sunda mulai mencurigakan, BPPT bisa mengusulkan masyarakat di sekitar kawasan itu diungsikan untuk sementara.
Pelayaran Jean Charcot juga menemukan graben (terbanan), yang selama ini tidak diketahui. Sementara itu, Sesar Besar Sumatera bersifat aktif dan selalu bergerak. Pengukuran triangulasi gerakan ini direncanakan sebagai proyek penelitian dengan bantuan kapal Prancis, yang dilengkapi peralatan laser.
Jean Charcot dilengkapi peralatan modern terkomputerisasi, antara lain alat penangkap sonar (sounder) dengan akurasi hingga kedalaman 6 kilometer. Kapal ini juga memiliki dua baling-baling pembantu, di samping dua baling-baling utama. Baling-baling pembantu itu bekerja otomatis untuk menjaga posisi dari arus laut selama penelitian.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 16 Februari 1985. Dapatkan arsip digitalnya di:
https://store.tempo.co/majalah/detail/MC201406240011/robohnya-kraton-kami-keraton-solo#.XCdiLs8zaV6
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo