Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka adalah orang yang berani, rela mengorbankan tenaga, bahkan mempertaruhkan nyawa, buat menolong sesama. Para pahlawan bencana itu menjadi tumpuan masyarakat di tengah buruknya mitigasi yang dikelola lembaga pemerintah.
Di tengah petaka tsunami Selat Sunda yang menerjang Banten dan Lampung pada 22 Desember lalu, ada pula sosok yang gigih: Epi Sahepi, 38 tahun. Kepala Dusun Sumber Jaya, Kecamatan Sumur, Kabupaten Pandeglang, Banten, ini tekun menjaga kampung dari serbuan para penjarah yang merajalela pascatsunami. Ia menyulap sebuah warung di bibir pantai menjadi pos jaga dan tanpa mengenal lelah berpatroli keliling kampung.
Liputan edisi khusus majalah ini menyandingkan Epi dengan empat tokoh lain yang berasal dari Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah. Mereka adalah Muhammad Abdul Aziz, Abdul Basir, Amir Said Mustafa, dan Shirley Chowindra. Kisah kelima tokoh yang kami tampilkan menggambarkan perjuangan dan semangat hidup masyarakat yang tak pernah redup saat ditimpa bencana dahsyat.
Abdul Aziz, yang tinggal di Desa Selengen, Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat, amat sibuk saat serentetan lindu mengguncang pada Juli-Agustus lalu. Tak kenal lelah dia mengajak warga di kampungnya tetap berada di luar rumah selama berhari-hari. Setelah gempa reda, Aziz bersama penduduk setempat kompak membikin rumah berbahan kayu seperti rumah tradisional Lombok. Rumah jenis ini terbukti lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah semen.
Adapun Abdul Basir dan Amir Said Mustafa berjasa menolong sejumlah korban gempa 7,4 magnitudo di Sulawesi Tengah pada 28 September lalu. Tanpa takut, Basir menyelamatkan warga di perumahan Balaroa, Palu, yang hancur lebur diguncang gempa. Perumahan mereka lenyap ditelan bumi. Amir Said Mustafa, yang tinggal di Desa Langaleso, Kabupaten Sigi, juga gigih membantu korban gempa. Kisah mengharukan pun muncul saat Amir menyelamatkan seorang bocah yang agamanya berbeda dengan dia dari seretan lumpur likuefaksi.
Di tengah intoleransi beragama yang cenderung menguat, bencana justru mengajarkan pentingnya kebersamaan. Kisah Shirley Chowindra, pemilik sebuah restoran di Palu, menyemburatkan hikmah yang sama. Perempuan keturunan Tionghoa ini membagikan makanan untuk para korban gempa tanpa memandang latar belakang mereka. Ia juga membuat dapur umum dan memasak ribuan porsi makanan untuk para pengungsi.
Kisah para penolong sesama itu semestinya mengilhami kita semua. Kecepatan dan keterpaduan kerja pemerintah pusat dan daerah sangat dibutuhkan para korban. Kita harus siap hidup bersama bencana karena negeri ini berada di jalur gunung vulkanis yang paling aktif di dunia. Indonesia juga berada di tumbukan lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik, yang setiap saat melepaskan gempa tektonis.
Pemerintah pusat dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana tak boleh kedodoran dalam menolong korban bencana. Begitu pula pemerintah daerah dan badan penanggulangan bencana daerah. Penduduk selalu menyelamatkan diri secara naluriah, tanpa panduan pemerintah, ketika terjadi gempa atau tsunami. Jangankan melatih warga untuk mengantisipasi bencana, masih banyak daerah yang hingga kini belum memasukkan soal mitigasi dalam muatan lokal kurikulum sekolah.
Sistem peringatan dini, terutama untuk bahaya tsunami, pun kurang bisa diandalkan. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahkan tidak mengeluarkan peringatan dini tsunami Selat Sunda yang disebabkan oleh erupsi Anak Krakatau karena keterbatasan alat pendeteksi. Kita belum memiliki peranti yang bisa mencium longsoran di laut akibat gempa -vulkanis.
Peringatan dini tsunami yang dirilis BMKG selama ini hanya didasari sistem pemodelan berbasis data gempa tektonis dan lokasinya. Sistem peringatan dini yang lebih andal seharusnya bertumpu pada alat pendeteksi gelombang (buoy) yang dipasang di tengah laut. Pemerintah juga perlu menyiapkan peranti yang lebih canggih untuk mendeteksi longsoran di teluk yang bisa memicu tsunami seperti yang terjadi di Palu dan Donggala.
Masyarakat kita cukup tabah dan selalu siap bergotong-royong saat menghadapi bencana. Kisah lima tokoh penolong sesama yang kami tampilkan pun mencerminkan daya tahan dan kekuatan masyarakat yang luar biasa.
Para pengais keuntungan pascabencana selayaknya berkaca pada ketulusan kelimanya. Membantu korban seraya mencari keuntungan elektoral—seperti yang dilakukan sejumlah partai politik dan calon legislator—tentu tak ada salahnya. Tapi alangkah indahnya jika untuk sementara motif non-kemanusiaan ditanggalkan saat menolong korban bencana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo