MAHGRIB belum usai. Suasana tenang di kampung itu tiba-tiba
terganggu. Anak-anak kecil, juga yang berusia tanggung, bagaikan
kena setrum untuk keluar rumah dan menuju satu tempat titik
suara. Yaitu bunyi gitar listrik yang mendenging kencang,
meliuk-liukkan telinga irama dangdut.
Dalam waktu sekejap saja, pekarangan orang yang menanggap band
tersebut luber oleh pengunjung. Lalu lintas di jalan macet. Lagu
Pengalaman Pertama yang biasa dinyanyikan Rafiq, disambut oleh
Karena Lirikan menirukan suara Elvi Sukaesih. Usai dua lagu itu,
anak-anak kemudian berteriak "Lagi, lagi! Oma, sekarang " Dan
terlontarlah suara penyanyi lain yang menyanyikan Rupiah-nya Oma
Irama. Berhenti sebentar kemudian disusul dengan Begadang.
Gengsi Dong
Band yang menyedot pengunjung begitu cepat adalah tukang ngamen.
Macam dan jumlahnya band serupa ini cukup banyak di Jakarta. Ada
yang solo dengan gaya "berani maju" biarpun suaranya tak
ketolongan, ada yang duet atau trio yang rajin menghibur (atau
mengganggu) orang yang sedang makan di restoran sepanjang Jalan
Pecenongan. Tak kurang pula yang mengkhususkan lagu-lagu daerah
saja (Sunda atau Jawa) dan ada pula yang selalu merasa pas masuk
dalam musik jreng-jreng.
Tapi band atau tukang ngamen satu ini lain. Suaranya bisa
terdengar dalam radius 100 meter. Rumah-rumah sekitar situ
bahkan mengatakan suaranya terlampau keras. Apa ada pengeras
suara untuk band ngamen ini? Memang ada dan caranya pun dibuat
dengan unik. Sebuah kotak yang cukup besar dibuat seperti
pengeras suara yang bonafid. Didalamnya ada dua buah aki. Satu
aki untuk serep dan sebuah lagi dijadikan sentral setrum. Dari
aki tersebut ada beberapa kawat yang menghubungkan gitar
listrik, sebuah mikropon sederhana dan lampu pijar yang
diletakkan di atas kotak berfungsi menirukan lampu-lampu yang
ada di disko sungguhan. Karena begitu band lagi "pay" lampu itu
berpijar-pijar mengeluarkan warna merah hijau. "Aki ini bisa
tahan sekitar setengah malam," kata Benny yang rupanya jadi
pemimpin band dengan nama cukup meyakinkan: Ariesta. Aki 12
volts lainnya langsung menggantikan kerja aki yang sudah
pensiun. Ini kalau Ariesta lagi mendapat rezeki.
Anggota band ada 6 sampai 10 orang. Beberapa di antaranya -- dan
ini yang mungkin jadi daya penarik utama -- wadam yang
mengenakan pakaian wanita dalam bentuk yang cukup menggiurkan.
Karena mereka harus berkeliling tanpa batas kilometer, sandal
Jepang adalah alas kaki mereka. Tapi kalau ada yang manggil,
misalnya Sabtu malam, dandanan mereka akan lebih seronok lagi.
"Gengsi dong," kata Lisa, "kalau harus manggung baju kita
jelek."
Kecuali Kroncong
Lisa adalah salah seorang di antara para wadam tersebut.
Orangnya jangkung, kulitnya sedikit kelam, biarpun begitu alis
mata dan lingkaran matanya diolesnya dengan make-up tebal.
Bibirnya dioles gincu yang menyala. Kalau sedang nyanyi, si Lisa
ini tidak lupa memainkan lirikan mata dan lenggang-lenggok yang
hot. Dia bisa menyanyikan irama dangdut, bisa banting setir ke
beberapa lagu Barat, atau "Happy Birthday" kalau yang nanggap
ada hajat ulang tahun. "Asal jangan nyanyi kroncong," ujar Lisa.
Karena Lisa demikian juga beberapa temannya, tidak bisa
menyanyikan dan melagukan irama kroncong yang banyak
liku-likunya itu. Juga karena permintaan untuk kroncong nyaris
tidak ada.
Lisa dan kawan-kawan ini tadinya tidak turun ke jalanan.
"Pangkalan kami ada di Priok," ujar Lisa. Ketika didesak lagi,
barulah Lisa berkata sebenarnya, bahwa pangkalan mereka tadinya
di Kramat Tunggak, daerah resmi lampu merah untuk bilangan
Tanjungpriok Jakarta. "Tapi Kramtung sepi sekarang," ujar Lisa,
"dan kami 'kan harus makan." Untuk beberapa bulan setelah turun
ke jalanan masuk keluar kampung, grup band ngamen ini kini
menyewa sebuah pondok di bilangan rumah-rumah liar di Slipi
Jakarta. Di dinding sebelah luar rumah mereka (dinding yang
dibuat dari bekas-bekas tripleks dan papan butut) ada tulisan
besar Ariesta.
Penghasilan mereka? "Ya, cukup untuk makan saja," ujar Benny.
Karena biarpun mereka sering ditanggap untuk naik panggung kelas
RT dengan harga Rp 70.000 main semalam suntuk, "kami harus
bagi-bagi penghasilan kami," ujar Benny. Karena anggotanya cukup
banyak. Kalau mau nanggap jam-jaman, satu jam mereka pasang
harga Rp 3.000. Jika cicilan Rp 100 satu lagu. Harga ini lebih
tinggi kalau dibanding kelompok ngamen lain yang biasanya hanya
dengan ucapan: "Terserah a la kadarnya." Bukan saja anggota band
itu sendiri, tapi juga keluarga mereka yang turut membantu
memasak atau sesekali turut ngamen biarpun cuma membunyikan
kecrek-kecrek atau menggotong peti aki.
Kepinteran mereka main musik boleh dikata asal jadi saja.
Sekolahnya adalah mendengarkan radio transistor yang menyiarkan
lagu-lagu yang sedang digemar khalayak ramai. Yang main gitar
menirukan liuk-liuknya gitar, yang kepengin nyanyi Inggeris
mendengarkan dengar tuntas ucapan demi ucapan. "Sedikit sedikit
sih saya tahu," ujar Lisa, "dan saya menirukannya saja." Lisa
bisa menyanyi apa saja. Mulai dari irama dangdut, boogie-woogie
sampai ke lagu-lagu irama walza. Cita-cita mereka? "Mudah
mudahan kami ketiban rezeki sepert Usman." Grup Usman Bersaudara
tadi nya memang ngamen. Ditemukan oleh Nomo Kuswoyo, grup ini
kemudian mencuat namanya. Dan jadi kaya dan ternama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini