Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Ariesta eks kramat tunggak

Grup ngamen ariesta sering ditanggap naik panggung pada acara hajatan. nyanyian yang disajikan dipelajari hanya dengan mendengarkan radio transistor. (ils)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MAHGRIB belum usai. Suasana tenang di kampung itu tiba-tiba terganggu. Anak-anak kecil, juga yang berusia tanggung, bagaikan kena setrum untuk keluar rumah dan menuju satu tempat titik suara. Yaitu bunyi gitar listrik yang mendenging kencang, meliuk-liukkan telinga irama dangdut. Dalam waktu sekejap saja, pekarangan orang yang menanggap band tersebut luber oleh pengunjung. Lalu lintas di jalan macet. Lagu Pengalaman Pertama yang biasa dinyanyikan Rafiq, disambut oleh Karena Lirikan menirukan suara Elvi Sukaesih. Usai dua lagu itu, anak-anak kemudian berteriak "Lagi, lagi! Oma, sekarang " Dan terlontarlah suara penyanyi lain yang menyanyikan Rupiah-nya Oma Irama. Berhenti sebentar kemudian disusul dengan Begadang. Gengsi Dong Band yang menyedot pengunjung begitu cepat adalah tukang ngamen. Macam dan jumlahnya band serupa ini cukup banyak di Jakarta. Ada yang solo dengan gaya "berani maju" biarpun suaranya tak ketolongan, ada yang duet atau trio yang rajin menghibur (atau mengganggu) orang yang sedang makan di restoran sepanjang Jalan Pecenongan. Tak kurang pula yang mengkhususkan lagu-lagu daerah saja (Sunda atau Jawa) dan ada pula yang selalu merasa pas masuk dalam musik jreng-jreng. Tapi band atau tukang ngamen satu ini lain. Suaranya bisa terdengar dalam radius 100 meter. Rumah-rumah sekitar situ bahkan mengatakan suaranya terlampau keras. Apa ada pengeras suara untuk band ngamen ini? Memang ada dan caranya pun dibuat dengan unik. Sebuah kotak yang cukup besar dibuat seperti pengeras suara yang bonafid. Didalamnya ada dua buah aki. Satu aki untuk serep dan sebuah lagi dijadikan sentral setrum. Dari aki tersebut ada beberapa kawat yang menghubungkan gitar listrik, sebuah mikropon sederhana dan lampu pijar yang diletakkan di atas kotak berfungsi menirukan lampu-lampu yang ada di disko sungguhan. Karena begitu band lagi "pay" lampu itu berpijar-pijar mengeluarkan warna merah hijau. "Aki ini bisa tahan sekitar setengah malam," kata Benny yang rupanya jadi pemimpin band dengan nama cukup meyakinkan: Ariesta. Aki 12 volts lainnya langsung menggantikan kerja aki yang sudah pensiun. Ini kalau Ariesta lagi mendapat rezeki. Anggota band ada 6 sampai 10 orang. Beberapa di antaranya -- dan ini yang mungkin jadi daya penarik utama -- wadam yang mengenakan pakaian wanita dalam bentuk yang cukup menggiurkan. Karena mereka harus berkeliling tanpa batas kilometer, sandal Jepang adalah alas kaki mereka. Tapi kalau ada yang manggil, misalnya Sabtu malam, dandanan mereka akan lebih seronok lagi. "Gengsi dong," kata Lisa, "kalau harus manggung baju kita jelek." Kecuali Kroncong Lisa adalah salah seorang di antara para wadam tersebut. Orangnya jangkung, kulitnya sedikit kelam, biarpun begitu alis mata dan lingkaran matanya diolesnya dengan make-up tebal. Bibirnya dioles gincu yang menyala. Kalau sedang nyanyi, si Lisa ini tidak lupa memainkan lirikan mata dan lenggang-lenggok yang hot. Dia bisa menyanyikan irama dangdut, bisa banting setir ke beberapa lagu Barat, atau "Happy Birthday" kalau yang nanggap ada hajat ulang tahun. "Asal jangan nyanyi kroncong," ujar Lisa. Karena Lisa demikian juga beberapa temannya, tidak bisa menyanyikan dan melagukan irama kroncong yang banyak liku-likunya itu. Juga karena permintaan untuk kroncong nyaris tidak ada. Lisa dan kawan-kawan ini tadinya tidak turun ke jalanan. "Pangkalan kami ada di Priok," ujar Lisa. Ketika didesak lagi, barulah Lisa berkata sebenarnya, bahwa pangkalan mereka tadinya di Kramat Tunggak, daerah resmi lampu merah untuk bilangan Tanjungpriok Jakarta. "Tapi Kramtung sepi sekarang," ujar Lisa, "dan kami 'kan harus makan." Untuk beberapa bulan setelah turun ke jalanan masuk keluar kampung, grup band ngamen ini kini menyewa sebuah pondok di bilangan rumah-rumah liar di Slipi Jakarta. Di dinding sebelah luar rumah mereka (dinding yang dibuat dari bekas-bekas tripleks dan papan butut) ada tulisan besar Ariesta. Penghasilan mereka? "Ya, cukup untuk makan saja," ujar Benny. Karena biarpun mereka sering ditanggap untuk naik panggung kelas RT dengan harga Rp 70.000 main semalam suntuk, "kami harus bagi-bagi penghasilan kami," ujar Benny. Karena anggotanya cukup banyak. Kalau mau nanggap jam-jaman, satu jam mereka pasang harga Rp 3.000. Jika cicilan Rp 100 satu lagu. Harga ini lebih tinggi kalau dibanding kelompok ngamen lain yang biasanya hanya dengan ucapan: "Terserah a la kadarnya." Bukan saja anggota band itu sendiri, tapi juga keluarga mereka yang turut membantu memasak atau sesekali turut ngamen biarpun cuma membunyikan kecrek-kecrek atau menggotong peti aki. Kepinteran mereka main musik boleh dikata asal jadi saja. Sekolahnya adalah mendengarkan radio transistor yang menyiarkan lagu-lagu yang sedang digemar khalayak ramai. Yang main gitar menirukan liuk-liuknya gitar, yang kepengin nyanyi Inggeris mendengarkan dengar tuntas ucapan demi ucapan. "Sedikit sedikit sih saya tahu," ujar Lisa, "dan saya menirukannya saja." Lisa bisa menyanyi apa saja. Mulai dari irama dangdut, boogie-woogie sampai ke lagu-lagu irama walza. Cita-cita mereka? "Mudah mudahan kami ketiban rezeki sepert Usman." Grup Usman Bersaudara tadi nya memang ngamen. Ditemukan oleh Nomo Kuswoyo, grup ini kemudian mencuat namanya. Dan jadi kaya dan ternama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus