Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Pengantin Jawa Dan Dua Anak Musik

Sepasang penganten berhasil dibina seorang kiai menjadi pengikut islam yang saleh, kemudian membuat kelompok mengaji bagi ibu-ibu. Sementara itu 2 artis top ikut membina kelompok pengajian remaja. (ag)

9 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berikut ini profil tiga orang tokoh pengajian: seorang dari pengajian ibu-ibu dan dua orang dari kalangan musik pop. NYONYA H. TITIK HARTONO SEPASANG mempelai datang dari Yogya, dan menyewa paviliun di Jalan Cendana -- jalan di mana Kepala Negara sekarang ini berdiam. Di sebelah rumah tinggal pula Kyai Djaka Surya. Itu waktu tahun 1958. Rupanya, lewat omong-omong, sang kyai diam-diam "membina" suami muda yang dari kultur Jawa itu. Sampai suatu hari, ketika anak mereka yang pertama (dan ternyata satu-satunya anak mereka) lahir, Ny. Titik terkejut melihat suaminya shalat malah pada kesempatan lain memberikan buku tuntunan sembahyang pula kepadanya. Waktu itu sambutan Ny. Hartono hanya "Alah, ndak usah sembahyang begitu kalau kita baik, ya baik. Tapi kemudian, tuturnya, ia sering merasa takut mati. Karena itu diam-diam dipelajarinya buku kecil itu. "Kalau suami saya nongol, ya saya sembunyikan -- malu," katanya. Akhirnya? Tahun 1974 mereka pergi haji. Sekarang rumah Nyonya Haji, kini 45 tahun, sudah seperti mesjid saja oleh ramainya menjadi markas pusat gabungan 50 pengajian ibu-ibu di Jakarta. Jabatan ketua itu dipegangnya untuk dua tahun. Apa sebenarnya yang mendorong ibu-ibu giat berpengajian sekarang ini? "Tentunya untuk mencari ketenteraman," katanya. "Saya sendiri begitu. Suami saya sudah cukup nafkahnya, tapi kami tak punya nafkah batin." Tapi mengapa harus Islam? Saya takut mati, lalu ada ayat: "Jangan mati sebelum Islam." KEENAN NASUTION Lepas isya, Keenan duduk di kursi (biasanya di tikar) menghadapi jemaahnya. Kitab Qur'an di meja, celana digulung di bawah, baju pangsi, ia mulai membahas keimanan. Yang datang lerlambat, shalat dulu. Tapi mereka yang punya keperluan, mengacungkan tangan lalu ngacir. Orang tua, anak muda, duduk tersebar. Wanita dan laki terpisah. Gaya pengajian Keenan persis cara ngomong anak muda jemaah pun kadang nyeletuk, menyambut dengan seloroh. Keenan lagi menerangkan keadaan zaman jahiliah -- sampai-sampai Nabi Ibrahim dan Ismail "dibikinin" patung. "Dulu siriknya lebih sadis dibanding sekarang. Sekarang yang paling keras kan cuman main jaelangkung." Tiba-tiba seorang remaja puteri melemparkan beberapa keping uang logam seratus perak ke dekat kakinya. Seorang ibu melempar lembaran seratus juga. Keenan tetap bicara. Seorang cowok menggaruk uang itu . . .Itu amal buat langgar. Dan langgar ini, tempat pengajian yang diberi karpet hijau, dulunya dapur. Dulu ceritanya Si Debby, adik Keenan persis, yang suka ngaji ke sana ke mari. Daripada pindah-pindah, kan lebih baik punya tempat tetap Kebetulan di halaman belakang rumah orang tuanya yang luas di Pegangsaan itu, ada dapur tak terpakai. Lalu langgar mungil tercipta. Dulu, tahun 1974 itu, Debby sendiri bersama adiknya Odink yang merekrut teman-temannya. Keenan masih di New York, ngamen di Restoran Ramayana. "Biarlah anak-anak itu mendapat tempat yang layak," kata Saidi Hasyim Nasution, ayah mereka. Ia merasa tak terganggu oleh hilir-mudiknya mobil dan motor dari pengikut pengajian anak-anak mereka. "Tapi saya sebenarnya lebih senang bila anak-anak yang tak punya, ikut juga di sini." Keenan sedang berpikir untuk sekali waktu mengundang mubaligh yang layak. Tapi mengapa ia sendiri tidak pergi ke Gontor misalnya? "Wah kalau saya ke Gontor nggak bisa cari duit dong. Bagaimana pendapat anda tentang da'wah para muballigh sekarang. Banyak yang nggak jelas. Kelanjutan dari bicara itu mau apa, nggak jelas. Padahal agama itu kan jelas. Bagaimana tentang poligami. Setuju, meskipun tidak semudah seperti yang dibayangkan orang. Kewajiban suami terhadap para isteri, dan sebaliknya, banyak yang tidak tahu. GURUH SUKARNO Sudah sebulan ini pengajiannya terhenti. Guruh sedang berlatih untuk pementasan grupnya 'Swara Mahardhika'. Biasanya ia mengajar Ahad pagi-kepada anak-anak grupnya yang kebanyakan duduk di SLA dan berjumlah besar itu. Guruh lebih senang menamakannya "pembicaraan". Orang menceritakan bahwa Guruh dulu, waktu naik haji (bersama Wim Tomasoa dan Adji Damais, orang Dinas Pemugaran DKI) tak mau naik kendaraan dari Arafat ke Mekah. Ia ingin 'merasakan benar' --sambil mendoakan almarhum ayahnya. Ia mengaku minatnya kepada agama didorong 'dari dalam' -- meskipun teman-temannya seperti Ronny Harahap (pianis) atau Keenan Nasution (penyanyi dan pemain drum eks Gypsy) seolah memberi cambuk. Sebagai pengajar (atau "pembicara"), ia melihat para peserta itu pada tahap permulaan menganggap pengajian seperti hobi. Mereka itu "harus dicekoki Qur'an dan Hadis," katanya. Disiplinkah ia dalam sembahyang? "Lebih baik nggak makan sehari daripada tinggal sembahyang," katanya. Tapi ia mengakui kadang masih ke disko. "Karena diajak teman. Padahal hati saya tertekan." Tapi apakah mengajar tidak mengganggu waktunya? "Sama sekali tidak. Persoalannya kita percaya akhirat atau tidak!" Anda tak ingin mempunyai jemaah yang banyak? Ya, ingin juga. Tapi biarlah saya mulai dengan yang ini saja. Ini kan belum apa-apa. Coba pandangan anda tentang sikap keagamaan di lingkungan anda. Wah kalau di kalangan anak gedongan payah. Saya tak tahu mengapa begitu. Apa perbedaan orang yang "Islam KTP" dan yang taat benar. Yah . . . orang hidup itu kan seperti gambling. Tapi orang beriman tahu persis, misalnya bahaya apa yang di balik tembok akhir kehidupan. Tapi bagi yang tidak beriman? Tembok besar! Dia tidak tahu bahaya di baliknya, terus saja dilanggarnya. Akibatnya pikul sendiri. Bagaimana tentang poligami. Setuju sekali -- selama tetap berada dalam garis Qur'an.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus