Berikut ini profil tiga orang tokoh pengajian: seorang dari
pengajian ibu-ibu dan dua orang dari kalangan musik pop.
NYONYA H. TITIK HARTONO
SEPASANG mempelai datang dari Yogya, dan menyewa paviliun di
Jalan Cendana -- jalan di mana Kepala Negara sekarang ini
berdiam. Di sebelah rumah tinggal pula Kyai Djaka Surya. Itu
waktu tahun 1958. Rupanya, lewat omong-omong, sang kyai
diam-diam "membina" suami muda yang dari kultur Jawa itu.
Sampai suatu hari, ketika anak mereka yang pertama (dan ternyata
satu-satunya anak mereka) lahir, Ny. Titik terkejut melihat
suaminya shalat malah pada kesempatan lain memberikan buku
tuntunan sembahyang pula kepadanya. Waktu itu sambutan Ny.
Hartono hanya "Alah, ndak usah sembahyang begitu kalau kita
baik, ya baik.
Tapi kemudian, tuturnya, ia sering merasa takut mati. Karena itu
diam-diam dipelajarinya buku kecil itu. "Kalau suami saya
nongol, ya saya sembunyikan -- malu," katanya. Akhirnya?
Tahun 1974 mereka pergi haji. Sekarang rumah Nyonya Haji, kini
45 tahun, sudah seperti mesjid saja oleh ramainya menjadi markas
pusat gabungan 50 pengajian ibu-ibu di Jakarta. Jabatan ketua
itu dipegangnya untuk dua tahun.
Apa sebenarnya yang mendorong ibu-ibu giat berpengajian sekarang
ini? "Tentunya untuk mencari ketenteraman," katanya. "Saya
sendiri begitu. Suami saya sudah cukup nafkahnya, tapi kami tak
punya nafkah batin." Tapi mengapa harus Islam? Saya takut mati,
lalu ada ayat: "Jangan mati sebelum Islam."
KEENAN NASUTION
Lepas isya, Keenan duduk di kursi (biasanya di tikar) menghadapi
jemaahnya. Kitab Qur'an di meja, celana digulung di bawah, baju
pangsi, ia mulai membahas keimanan. Yang datang lerlambat,
shalat dulu. Tapi mereka yang punya keperluan, mengacungkan
tangan lalu ngacir. Orang tua, anak muda, duduk tersebar.
Wanita dan laki terpisah.
Gaya pengajian Keenan persis cara ngomong anak muda jemaah pun
kadang nyeletuk, menyambut dengan seloroh. Keenan lagi
menerangkan keadaan zaman jahiliah -- sampai-sampai Nabi Ibrahim
dan Ismail "dibikinin" patung. "Dulu siriknya lebih sadis
dibanding sekarang. Sekarang yang paling keras kan cuman main
jaelangkung."
Tiba-tiba seorang remaja puteri melemparkan beberapa keping uang
logam seratus perak ke dekat kakinya. Seorang ibu melempar
lembaran seratus juga. Keenan tetap bicara. Seorang cowok
menggaruk uang itu . . .Itu amal buat langgar. Dan langgar ini,
tempat pengajian yang diberi karpet hijau, dulunya dapur. Dulu
ceritanya Si Debby, adik Keenan persis, yang suka ngaji ke sana
ke mari. Daripada pindah-pindah, kan lebih baik punya tempat
tetap Kebetulan di halaman belakang rumah orang tuanya yang
luas di Pegangsaan itu, ada dapur tak terpakai. Lalu langgar
mungil tercipta. Dulu, tahun 1974 itu, Debby sendiri bersama
adiknya Odink yang merekrut teman-temannya. Keenan masih di New
York, ngamen di Restoran Ramayana.
"Biarlah anak-anak itu mendapat tempat yang layak," kata Saidi
Hasyim Nasution, ayah mereka. Ia merasa tak terganggu oleh
hilir-mudiknya mobil dan motor dari pengikut pengajian anak-anak
mereka. "Tapi saya sebenarnya lebih senang bila anak-anak yang
tak punya, ikut juga di sini."
Keenan sedang berpikir untuk sekali waktu mengundang mubaligh
yang layak. Tapi mengapa ia sendiri tidak pergi ke Gontor
misalnya? "Wah kalau saya ke Gontor nggak bisa cari duit dong.
Bagaimana pendapat anda tentang da'wah para muballigh sekarang.
Banyak yang nggak jelas. Kelanjutan dari bicara itu mau apa,
nggak jelas. Padahal agama itu kan jelas.
Bagaimana tentang poligami.
Setuju, meskipun tidak semudah seperti yang dibayangkan orang.
Kewajiban suami terhadap para isteri, dan sebaliknya, banyak
yang tidak tahu.
GURUH SUKARNO
Sudah sebulan ini pengajiannya terhenti. Guruh sedang berlatih
untuk pementasan grupnya 'Swara Mahardhika'. Biasanya ia
mengajar Ahad pagi-kepada anak-anak grupnya yang kebanyakan
duduk di SLA dan berjumlah besar itu. Guruh lebih senang
menamakannya "pembicaraan".
Orang menceritakan bahwa Guruh dulu, waktu naik haji (bersama
Wim Tomasoa dan Adji Damais, orang Dinas Pemugaran DKI) tak mau
naik kendaraan dari Arafat ke Mekah. Ia ingin 'merasakan benar'
--sambil mendoakan almarhum ayahnya. Ia mengaku minatnya kepada
agama didorong 'dari dalam' -- meskipun teman-temannya seperti
Ronny Harahap (pianis) atau Keenan Nasution (penyanyi dan pemain
drum eks Gypsy) seolah memberi cambuk.
Sebagai pengajar (atau "pembicara"), ia melihat para peserta
itu pada tahap permulaan menganggap pengajian seperti hobi.
Mereka itu "harus dicekoki Qur'an dan Hadis," katanya.
Disiplinkah ia dalam sembahyang? "Lebih baik nggak makan sehari
daripada tinggal sembahyang," katanya. Tapi ia mengakui kadang
masih ke disko. "Karena diajak teman. Padahal hati saya
tertekan." Tapi apakah mengajar tidak mengganggu waktunya? "Sama
sekali tidak. Persoalannya kita percaya akhirat atau tidak!"
Anda tak ingin mempunyai jemaah yang banyak?
Ya, ingin juga. Tapi biarlah saya mulai dengan yang ini saja.
Ini kan belum apa-apa.
Coba pandangan anda tentang sikap keagamaan di lingkungan anda.
Wah kalau di kalangan anak gedongan payah. Saya tak tahu mengapa
begitu. Apa perbedaan orang yang "Islam KTP" dan yang taat
benar.
Yah . . . orang hidup itu kan seperti gambling. Tapi orang
beriman tahu persis, misalnya bahaya apa yang di balik tembok
akhir kehidupan. Tapi bagi yang tidak beriman? Tembok besar! Dia
tidak tahu bahaya di baliknya, terus saja dilanggarnya.
Akibatnya pikul sendiri.
Bagaimana tentang poligami.
Setuju sekali -- selama tetap berada dalam garis Qur'an.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini