Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO, 16 April 2006
GUANGZHOU, ibu kota Provinsi Guangdong, beberapa tahun lalu dikenal sebagai magnet ekonomi. Jutaan buruh tani dari desa berduyun ke wilayah selatan Cina itu mencari kerja. Namun, selama dua tahun terakhir, kawasan itu mulai mengalami krisis pekerja.
Sebagian besar pekerja meninggalkan Guangzhou dan bergerak ke delta Sungai Yangtze di kawasan Shanghai. Migrasi buruh secara massal juga dialami provinsi tetangga Guangdong, yaitu Fujian dan Zhejiang. Akhirnya, kementerian tenaga kerja Cina pun menurunkan tim untuk meneliti masalah di ketiga provinsi itu.
Ternyata, sebab utama migrasi adalah upah yang rendah dan kondisi kerja yang buruk. Pengusaha sepatu, boneka, barang elektronik, garmen, dan plastik berusaha menjual barang murah dengan cara memangkas upah dan mengeksploitasi jam kerja. Buruh bekerja 10-12 jam per hari, dengan bayaran sekitar 600 yuan (Rp 670 ribu) per bulan. Pekan lalu, seperti ditulis AFP, International Confederation of Free Trade Unions (ICFTU) melaporkan adanya eksploitasi buruh di balik keajaiban ekonomi Cina.
Namun, di tengah kritik eksploitasi atas buruh, tak bisa dimungkiri bahwa Cina adalah satu-satunya negara yang berhasil mempertahankan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia, yakni rata-rata 9 persen per tahun. Produk Cina membanjiri seluruh dunia. Indonesia pun tak lepas dari serbuan produk mereka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo