Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BADAI PASTI BERLALU Sutradara: Teddy Soeriaatmadja Skenario: Titien Wattimena Berdasarkan novel karya Marga T. Pemain: Vino G. Bastian, Winky Wiryawan, Raihaanun, Slamet Rahardjo Produksi: Astral
Di tepi pantai, di bawah langit Uluwatu, Siska menyendiri. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam membaca novel Casanova. Perempuan yang tengah patah hati itu kemudian mengempaskan diri ke atas sofa di dalam vila bergaya minimalis itu. Membiarkan dirinya terseret lamunan.
Dulu adegan ”kesunyian Siska” itu berlokasi di sebuah vila di Puncak, dan kini di sebuah vila di Uluwatu, Bali. Inilah keputusan sutradara Teddy Soeriaatmadja membuat sebuah rekaan ulang dari film legendaris karya Teguh Karya, Badai Pasti Berlalu. Sebuah keputusan yang menarik dan berani; apalagi para pembaca Marga T. dan penonton film Teguh Karya masih hidup dan masih punya ingatan melekat pada adegan-adegan besutan maestro film Indonesia itu. Hingga kini kami masih ingat adegan Christine Hakim yang hatinya koyak berlari-lari dengan iringan musik yang mengiris; apa iya adegan itu bisa disingkirkan dari benak? Oke. Yuk, kita nonton tanpa prasangka.
Saat itu Teguh menampilkan Christine Hakim, Roy Marten, dan Slamet Rahardjo sebagai Siska, Leo, dan Helmi, adapun Teddy menampilkan Raihaanun, Vino G. Bastian, dan Winky Wiryawan. Tentu saja sah dan terpuji jika Teddy mencoba melepaskan diri dari pengaruh Teguh Karya. ”Saya menyaksikan film Teguh hanya sekali saat mau shoot,” katanya kepada Tempo. Karena itu, gaya Teddy dalam penggarapan Badai lebih memiliki benang merah dengan film terdahulunya, Banyu Biru dan Ruang, yang menekankan panorama indah, lanskap bening laut Jimbaran dan Uluwatu. Saat Siska mengejar Leo ke halte, yang terlihat sebuah lukisan. Vino yang tampan duduk berlaga ngambek dengan latar langit biru yang membingkai. Gambar yang menakjubkan. Tapi semua itu bak lukisan tanpa roh. Tanpa jiwa.
Raihaanun sebagai Siska (tanpa membandingkannya dengan Christine Hakim yang terlalu kuat) sama sekali tak mengirim rasa haru; tak meyakinkan bahwa ia gadis dingin yang te-ngah patah hati oleh tunangan sialan. Setiap Siska tampil, kami jadi mulai menyender malas. Layar itu tak hidup dengan kehadirannya.
Vino G. Bastian ditonjolkan Teddy sebagai lelaki manis, berkarakter sopan dengan tubuh six-pack yang bikin ngiler. Ganteng, tapi tak penting. Lebih penting jika Teddy meyakinkan penonton bahwa Vino adalah mahasiswa kedokteran.
Perjuangan Teddy sungguh berat bukan hanya karena kebesaran karya Teguh Karya dan pemain utama yang lemah, tetapi juga karena skenario Titien Wattimena yang kurang kuat memberikan motif yang melatari terjadinya konflik. Dialog datar tanpa greget. Semua agak terbantu karena Teddy seorang sineas yang memiliki pemahaman bagus dalam hal visual. Kilas balik masa lalu Siska, misalnya, tampil seperti sebuah mimpi buruk. Di bagian ini, Teddy berhasil memagut penonton.
Namun Teddy akan sulit merangkul penonton dengan cerita yang memang milik generasi 1970-an: misalnya soal penyakit diabetes yang diderita Siska. Teddy ingin menggantinya, karena kini diabetes bukan lagi momok yang menakutkan. Marga T., konon, berkeras mempertahankan cerita sesuai dengan novel. Dan itu memang haknya. Akibatnya, film ini tak berhasil menyodorkan problem yang kontekstual. Siska diabetes? So? Semangat kami sudah sangat kendur meski diakui suara Andy /rif sungguh seksi menyanyikan Angin Malam.
Tunggu dulu. Masih ada pencerahan. Tokoh ayah Siska yang kini diperankan Slamet Rahardjo (dulu dipe-rankan oleh Rahmat Hidayat) sungguh berwarna, flamboyan, dan mesum. Adegannya bersama Marina (Davina) bikin mata melek bukan karena pikiran jorok, tapi karena akting Slamet yang wajar. Winky Wiryawan sebagai Helmi juga membuat penonton betah dan membuktikan bahwa aktor bagus bukan cuma Nicholas Saputra dan Tora Sudiro.
Helmi berhasil merayu Siska. Lalu Helmi membeberkan rahasia tentang hubungan gelap antara sang ayah dan Marina. Helmi mengancam, bila Siska tak menerima lamaran kawinnya, ia akan membeberkan aib itu kepada ibu Siska. Adegan stereotip. Lalu adegan Teguh Karya terbayang dalam benak kami: Siska (Christine Hakim) diancam oleh Helmi di rumahnya yang kumuh, lalu Siska dengan marah dan putus asa berlari menyusuri gang-gang, hingga sepatunya hampir copot, terjeblos genangan air....
Sementara Siska versi Christine pada akhir film cukup memberikan tatapan dingin kepada Helmi dan mengatakan ”saya ingin cerai”, Siska versi Raihaanun memberikan ceramah panjang lebar tentang rasa sakit yang dideritanya, untuk minta diceraikan.
Di akhir cerita, klimaks film Teguh yang tak tertandingi, Leo menyusul ke Puncak. ”Kita kejar yang tertinggal…,” katanya kepada Siska sembari mengulurkan tangan.
Teddy kembali pada kekuatan gambar (belaka). Ke mana jiwanya? Siska kembali ke Bali. Sendiri, ia duduk di atas ayunan menyaksikan kemesraan pasangan kekasih di pantai. Tiba-tiba Leo sudah ada di sampingnya. Kejutan yang tak mengejutkan. Teddy mengatakan ini sebuah tribute pada Te-guh Karya. Yang dilakukan Teddy sesungguhnya sebuah pembuktian bahwa Teguh Karya adalah seorang maestro yang menghasilkan karya yang terus melekat di benak dan hati penontonnya.
Seno Joko Suyono dan Andi Dewanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo