Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo, 22 Maret 1999
Keputusan yang kontroversial itu akhirnya datang juga. Pemerintah mencabut izin 38 bank, mengambil alih 7 bank, dan menetapkan 9 bank yang harus mengikuti program rekapitalisasi. Seolah tak percaya diri mengumumkan keputusan penting itu, Presiden Habibie merasa perlu didampingi wakil Bank Dunia Dennis de Tray dan Direktur Dana Moneter Internasional Hubert Neiss.
Betapa tidak, dari tujuh bank yang diambil alih itu, satu adalah Bank Nusa Nasional, milik Aburizal Bakrie. Sejak penundaan pengumuman keputusan itu, para analis sudah menduga bahwa bank yang satu ini merupakan ganjalan pemerintah untuk mengambil tindakan tegas. Ini pula yang menjadi ujian sejauh mana keseriusan pemerintah menyehatkan ekonomi Indonesia, meski harus mengorbankan kroni sendiri.
Toh, keputusan mengambil alih tetap dianggap kurang tepat. Seharusnya bank tersebut dilikuidasi. Bank ini jelas berbeda dengan Bank Danamon, yang diambil alih pemerintah karena jangkauan operasi bank ini sangat luas. Dan yang kemudian menjadi tanda tanya adalah apakah para pemilik bank yang diambil alih itu akan masuk "daftar hitam" dunia perbankan. Yang jelas, mereka ikut andil mendorong terjadinya krisis di negeri ini.
Hingga kini Ical, demikian ia biasa dipanggil, memang tidak tersentuh. Ia kembali membesarkan kelompok usahanya. Ia juga masuk ke jajaran kabinet pemerintahan SBY-Kalla. Tapi kali ini Ical kembali disorot karena PT Lapindo Brantas, perusahaan pengeboran minyak yang sebagian besar sahamnya dimiliki Grup Bakrie, membuat petaka di Sidoarjo. Menjual Lapindo menjadi solusi Ical untuk keluar dari masalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo