Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Kabinet Dirundung Lumpur

27 November 2006 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERNYATA ada benarnya orang mengkritik peran ganda Aburizal "Ical" Bakrie. Sekarang terbukti ia sulit menarik garis pembatas antara tugasnya sebagai menteri anggota kabinet dan sebagai pengusaha yang memiliki konglomerasi bisnis Bakrie. Dan itu mengganggu citra kabinet. Kasus penjualan PT Lapindo Brantas Incorporated, perusahaan yang bertanggung jawab atas semburan lumpur panas di Sidoarjo, menunjukkan dengan jelas konflik kepentingan antara dua peran Ical itu. Dua hari berturut-turut pekan lalu, di gedung Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat dan di kantor kepresidenan, dua tempat yang mengharuskan ia berperan sebagai menteri, Ical mengkritik kebijakan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam). Ahmad Fuad Rahmany, Ketua Bapepam, menolak penjualan Lapindo, unit bisnis milik Grup Bakrie, kepada Freehold Group Ltd.

Ical berpendapat perubahan kepemilikan yang terjadi akibat penjualan Lapindo tidak perlu dipersoalkan. Sebab, Lapindo akan tetap menanggung semua kerugian yang muncul di Sidoarjo. Ical juga memastikan penjualan Lapindo yang dilakukan tanpa izin Bapepam itu tidak melanggar hukum.

Sejak Oktober lalu, Bapepam selalu jadi batu sandungan rencana penjualan Lapindo. Waktu itu Bakrie menyampaikan keinginan memisahkan Lapindo dari PT Energi Mega Persada Tbk., salah satu perusahaan andalan grup itu. Cara yang dipilih Bakrie unik. Saham dua induk perusahaan Lapindo, yaitu Pan Asia Enterprise dan Kalila Energy, dijual ke perusahaan Bakrie yang lain yaitu Bakrie Oil and Gas. Harga transaksi itu hanya dua dolar Amerika alias Rp 18 ribu saja.

Rencana ini gagal. Bapepam menolak memberikan lampu hijau penyelenggaraan rapat umum pemegang saham Energi Mega. Padahal, dalam rapat itulah transaksi akan disahkan. Alasan Bapepam, belum ada kepastian tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas kerugian di Sidoarjo.

Bakrie langsung potong kompas. Kedua induk Lapindo itu dijual kepada Freehold Group, yang berkedudukan di British Virgin Islands, seharga US$ 1 juta. Kali ini tanpa izin Bapepam. Argumen Bakrie, izin Bapepam tak diperlukan karena nilai transaksi itu sangat kecil, tidak termasuk transaksi material. Alasan lain, Freehold tidak punya kaitan kepemilikan dengan Grup Bakrie, sehingga yang terjadi bukan tergolong transaksi benturan kepentingan yang butuh persetujuan rapat pemegang saham.

Bapepam makin kencang menolak. Apalagi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tegas-tegas menyatakan setuju dengan sikap Bapepam. Pengawas pasar modal berpandangan pengeboran oleh Lapindo telah menimbulkan kerugian besar bagi masyarakat. Karena itu, pemisahan tetap tak diizinkan sampai urusan lumpur panas Sidoarjo jelas duduk soalnya. Bagian yang perlu diperjelas melalui serangkaian penelitian, misalnya, unsur kelalaian dalam proses pengeboran.

Memang belum ada kejelasan soal kelalaian itu. Sebab, meski bencana sudah berlangsung separuh tahun, belum secuil pun hasil penelitian didapat. Bahkan, setelah Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo dibentuk awal September lalu, lewat Keputusan Presiden Nomor 13 Tahun 2006, tim investigasi bentukan pemerintah itu tak lagi terdengar kiprahnya.

Hasil penyelidikan tim independen diperlukan. Itu bisa menjadi dasar penentuan besar tanggung jawab pemilik Lapindo. Berdasarkan Pasal 3 Ayat 1 Undang-Undang Perseroan Terbatas, pemegang saham hanya bisa dimintai pertanggungjawaban atas kerugian perseroan sebatas nilai saham yang dimilikinya. Namun, ayat 2 pasal itu menyiratkan, jika dari hasil penyelidikan terbukti adanya keterlibatan pemegang saham dalam bencana yang ditimbulkan Lapindo, terbuka kemungkinan meminta pertanggungjawaban yang lebih besar kepada pemilik.

Kalau Bakrie ingin menyelamatkan masyarakat sebagai pemegang saham minoritas PT Energi Mega Tbk. dari urusan Lapindo, ada cara yang lebih baik ketimbang menjual dua perusahaan ke Freehold. Bakrie bisa mendirikan sebuah perusahaan baru, special purpose vehicle, yang khusus dibentuk untuk menjamin biaya bencana di Sidoarjo. Di perusahaan itu Bakrie bisa menaruh dana penanggulangan bencana, kalau perlu diperkuat dengan jaminan pribadi Ical dan keluarga. Kemudian, dibuat letter of undertaking, surat jaminan kesanggupan menanggung beban bencana, dari perusahaan baru kepada PT Energi Mega. Dengan begitu, risiko yang harus ditanggung Energi Mega beralih ke perusahaan baru. Maka, Energi Mega tak terganggu, investor publik happy, dana bencana terjamin.

Jika itu semua bisa dikerjakan, agar kekompakan kabinet tak terganggu, harus dipastikan Aburizal tidak lagi ikut "beraksi" dalam kasus ini. Kalau ia tak sanggup menahan diri, akan lebih baik jika posisinya sebagai Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat untuk sementara waktu digantikan oleh orang lain. Ia sudah terbukti kerepotan menjaga "garis api" yang seharusnya terbentang jelas di antara dua peran gandanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus