Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Turnamen Piala Presiden 1981 minim kejutan.
Hampir tidak ada bakat baru yang dapat dipanen untuk memperkuat tim nasional.
Klub daerah dilucuti oleh aksi perampokan bakat oleh klub-klub Galatama.
MESKI semua kompetisi di Tanah Air sedang libur karena pandemi, sorotan terhadap Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tak padam. Polemik dengan pelatih tim nasional yang berasal dari Korea Selatan, Shin Tae-yong, memang telah reda, tapi konflik terus terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Salah satunya dari Simon McMenemy, mantan pelatih timnas Indonesia asal Skotlandia yang juga pernah duduk di bangku pelatih Mitra Kukar, Pelita Bandung Raya, dan Bhayangkara FC. McMenemy mengatakan sepak bola Indonesia berkelindan dengan hal lain, seperti kekuasaan, politik, pengaruh, dan uang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Sebagai pelatih, Anda harus siap berdamai dengan hal itu jika Anda ingin bekerja di negara ini,” katanya seperti dikutip media Inggris, The Press and Journal, 8 Juli 2020. Tempo edisi 27 Juni 1981 menulis artikel “Akar PSSI Ternyata Kropos” yang mengupas buruknya performa sepak bola Indonesia dalam turnamen Piala Presiden.
Meski disebut-sebut sebagai turnamen bergengsi dengan menyajikan pertarungan sembilan klub terkuat dari berbagai daerah di Indonesia, jalannya turnamen di luar harapan. Tak ada klub yang trengginas melibas juara tahun lalu, PS Mandala, inti dari klub Persipura. Sepanjang turnamen antarklub elite PSSI ini, PS Mandala yang diisi delapan bekas pemain timnas yang sudah uzur tak pernah kalah.
Mencari bakat baru pun sulit dilakukan. Padahal banyak orang menunggu pemain-pemain muda yang bakal menjadi mesin baru sepak bola Indonesia. Walhasil, enam orang pemburu bakat hampir pulang dengan tangan hampa. Tak sampai 10 orang yang dibidik dari total 153 pemain yang bertanding di sepanjang turnamen. “Klub-klub benar-benar terkuras oleh Galatama,” ujar Maulwi Saelan, ketua panitia turnamen.
Galatama adalah akronim dari Liga Sepak Bola Utama, liga semiprofesional yang memperebutkan Piala Galatama. Wahab Abdi, pembina klub Bintang Utara dan Bintang Selatan—dua klub bond PSMS Medan—mengalami sendiri peliknya “pencurian” bakat oleh klub-klub Galatama. Wahab sudah mengeluarkan kocek sebesar Rp 6 juta untuk membina pemain muda di klub Bintang Selatan. “Selesai kejuaraan PSSI Junior tahun lalu, empat pemain dicuri Mercu Buana dan Arseto (keduanya klub Galatama), ya habislah Bintang Selatan, turun dari kelas utama ke kelas satu,” katanya.
Untuk mencegah “perampokan bakat”, para pengurus memakai segala cara. Komisaris Daerah Irian Jaya Brigjen C.I. Santoso sejak tiga tahun lalu berjaga-jaga dengan memberi pekerjaan untuk pemain di kantor pemerintah daerah dan dilarang pindah ke Galatama. Namun PS Mandala tetap kecolongan juga.
Mettu Duaramuri diboyong oleh pelatih Harry Tjong ke Warna Agung, salah satu klub Galatama. Padahal ia telah dipanggil ke pelatnas PSSI Utama. Mettu baru dikembalikan setelah diprotes keras dalam Sidang Paripurna PSSI pada November lalu.
Ulah klub Galatama merampok bakat juga membuat Beringin Putra dari Ujung Pandang terempas dari turnamen Piala Presiden. Padahal klub itu masuk empat besar turnamen tahun lalu. Gara-garanya pemain utama dicolong oleh Makassar Utama. Posisinya untuk bertarung dalam turnamen diisi oleh Kertago Goa.
Kertago Goa sendiri tak luput dari aksi pencurian pemain. Tapi Harri Sugianto, Bupati Mamuju yang menjadi manajer klub, memilih tak lagi ambil pusing jika ada pemain utamanya yang ingin pindah ke Galatama. “Kalau anak-anak mau pindah, silakan. Kan, sudah ada peraturan PSSI tentang ganti rugi transfer pemain,” ujarnya. Ia memberi contoh Jusuf Malle yang ditebus klub Galatama, NIAC Mitra, sekitar Rp 1 juta.
Turnamen ini menyisakan satu fenomena menarik. Posisi empat besar, PS Mandala, Bintang Utara, Kertago Goa, dan Maesa Manado, semuanya berasal dari luar Jawa. “Jelas sekali klub-klub di Jawa sudah dikikis habis oleh Galatama,” kata Maulwi Saelan. Saking tak menariknya kompetisi, Kamaruddin Panggabean dan pelatih timnas Endang Witarsa tak tertarik menonton final Piala Presiden ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo