Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Seorang anggota pasukan perdamaian Indonesia meninggal tertembak di Republik Demokratik Kongo.
Indonesia rutin mengirimkan pasukan perdamaian ke negara-negara yang sedang berkonflik.
Pasukan perdamaian Indonesia pernah berprestasi saat menjaga perdamaian di Kamboja.
SEORANG anggota Tentara Nasional Indonesia yang bertugas menjaga perdamaian di Republik Demokratik Kongo tewas tertembak pada pertengahan Juni lalu. Jenazah Pembantu Letnan Dua Anumerta Rama Wahyudi sampai di Indonesia dan dimakamkan pada Jumat, 3 Juli 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rama adalah anggota pasukan Satuan Tugas Kompi Zeni Tentara Nasional Indonesia Kontingen Garuda XX-Q yang merupakan bagian dari pasukan perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa di Kongo. Majalah Tempo edisi 5 Desember 1992 menurunkan laporan panjang berjudul “Menjaga Damai di Negeri Orang” yang mengulas cerita pasukan Indonesia saat menjaga perdamaian di Kamboja. Berikut ini ulasannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Provinsi Kompong Thom, bagian tengah Kamboja, dua perwira Indonesia sama-sama berpangkat kapten, sama-sama bernama Djoko, sama-sama anggota batalion Garuda XII-B, kontingen militer dalam pemerintah peralihan PBB di Kamboja yang dikenal dengan singkatan UNTAC (United Nations Transitional Authority in Cambodia). Meski memiliki banyak kesamaan, mereka ditempatkan di wilayah kekuasaan dua pihak yang bermusuhan. Kapten (Marinir) Djoko bertugas di Desa Salavichey, wilayah yang dikuasai faksi Phnom Penh, yang dipimpin Hun Sen. Sedangkan Kapten (Infanteri) Djoko berada di Kndal Thmei, di tengah kubu faksi Khmer Merah.
Memang, mendamaikan faksi-faksi yang berebut kekuasaan di Kamboja bukan cuma masalah penandatanganan di meja perundingan. Setahun setelah gencatan senjata dan kesepakatan bersama diteken di Paris, Oktober tahun lalu, mereka yang kemudian diberi tugas di lapangan oleh Dewan Keamanan PBB harus menghadapi ulah tiap-tiap faksi tak hanya dengan kesabaran, tapi kadang-kadang diperlukan “tipu muslihat”.
Tidak mudah menjadi penjaga perdamaian di dua kubu yang bertikai. Memperoleh kepercayaan adalah hal yang paling sulit. Berkali-kali Khmer Merah menolak pasukan UNTAC dari wilayah yang mereka kuasai. Pernah kontingen Belanda di Provinsi Battambang diusir oleh pasukan Khmer Merah. Bahkan pesawat helikopter UNTAC yang mengangkut pasokan ke daerah-daerah terpencil ditembaki. Namun pasukan dari Indonesia adalah pengecualian. Khmer Merah lebih terbuka, bahkan menerimanya.
Menurut Letnan Kolonel Erwin Sudjono, komandan Garuda XII-A, pasukan Indonesia sudah lama mendekati Khmer Merah dan masyarakat di daerah konflik. “Kami bantu masyarakatnya dengan beras, kami membuka klinik pengobatan,” tutur Erwin. Tiga anggota batalion, yaitu seorang dokter umum, seorang ahli bedah, dan seorang dokter gigi, melayani sekitar 200 pasien setiap hari. Pendekatan ini terbukti manjur. Bertahun-tahun hidup sebagai gerilyawan, banyak orang Khmer Merah boleh dikata tak pernah bertemu dengan dokter, meski memerlukannya.
Pernah pada suatu malam, pasukan Indonesia terbangun oleh kedatangan sejumlah orang Khmer Merah. Si pemimpin kelompok minta tangannya yang sering terasa sakit diperiksa. Dokter Budi, ahli bedah, lantas mengambil pecahan peluru di tangan orang itu. Belakangan, baru diketahui bahwa pasien dokter Budi itu adalah perwira tinggi Khmer Merah, Jenderal Chu Chin. Sejak saat itu, pasukan Indonesia berhubungan baik dengan Khmer Merah. Erwin bahkan berhasil bertemu dengan Jenderal Menh Ron, panglima divisi Khmer Merah yang berkuasa di Kompong Thom. Maka hanya di Kompong Thom proses pendaftaran pemilihan umum berjalan lancar tanpa gangguan. Di tempat lain, mereka yang melakukan pendaftaran itu diganggu, bahkan ada yang luka ditembak.
Begitu akrabnya mereka hingga kadang-kadang Khmer Merah tak lagi sungkan-sungkan meminta sesuatu kepada anggota Pasukan Garuda, sampai pada soal yang gawat. Umpamanya, suatu hari seorang komandan Khmer Merah menemui wakil komandan Indonesia. “Tolong,” kata komandan Khmer Merah itu, “kamu perintahkan tentaramu di tempat itu untuk meninggalkan pos sebentar. Kami mau menyerang tentara rezim Phnom Penh di sana.” Tentu saja permintaan itu ditolak secara halus.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 5 Desember 1992. Dapatkan arsip digitalnya
dihttps://majalah.tempo.co/edisi/1216/1992-12-05
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo