Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

prelude

Vaksin Flu

Jauh sebelum corona muncul, dunia terkena wabah penyakit flu pada awal abad ke-19. Setelah berkali-kali meneliti, para ahli akhirnya menemukan obat dari penyakit yang disebabkan oleh virus influenza itu pada 1993.

28 Maret 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Gejala corona mirip dengan gejala influenza.

  • Para ahli menemukan obat influenza setelah meneliti 75 tahun.

  • Sempat gagal berkali-kali, peneliti akhirnya menemukan kelemahan virus influenza.

VIRUS corona (Covid-19) menyerang dunia. Sejak pertama kali muncul di Wuhan, Cina, pada Desember 2019, virus itu telah menyebar ke 197 negara per Rabu, 25 Maret 2020. Lebih dari 18 ribu dari 422 orang yang terinfeksi meninggal oleh serangan Covid-19. Semua orang bisa terinfeksi oleh virus yang gejalanya mirip dengan terkena virus influenza, seperti flu, demam, dan batuk-batuk, itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski gejalanya mirip, penyakit flu bisa disembuhkan lantaran para ahli sudah menemukan vaksin penangkal virus. Berbeda dengan corona, yang hingga saat ini para ahli masih berjibaku menemukan penangkal Covid-19. Artikel majalah Tempo berjudul “Virus Dijerat, Obat Dibuat” edisi 25 Desember 1993 mengulas bagaimana para ahli berupaya menemukan obat flu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ketika itu, dokter Peter Colman dan dokter Jose Varghese dari Organisasi Riset Ilmiah dan Industri Australia, bersama dokter Graeme Laver dari Australian National University, berhasil menemukan titik kelemahan virus influenza. Penemuan ini merupakan tonggak baru sejak virus itu dikenal oleh dunia kedokteran pada 1918.

Melacak virus influenza tidaklah mudah. Para ahli yang getol “mengejar” virus ini acap tertipu. Dan, bila dibuatkan vaksinnya, virus influenza bisa begitu cepat mengubah diri, sehingga zat penangkal itu mubazir. Sampai sepuluh tahun, Colman, Varghese, dan Laver melacak cara kerja virus influenza.

Hasil pengamatan mereka menunjukkan virus yang juga menyerang berbagai hewan menyusui dan burung itu terdiri atas beberapa gen yang dibungkus mantel dari dua jenis protein sialidase dan hemaglutinin. Sewaktu virus itu memasuki tubuh calon penderita, hemaglutinin-lah yang memegang kunci.

Begitu berada di dalam sel, virus segera memperbanyak diri, membentuk jutaan partikel yang disebut virion. Virion- virion ini lalu menyebarkan infeksi dan memasuki sel-sel di sekitarnya. Pada tahap ini, pemilik tubuh mulai merasakan sakit kepala, batuk-batuk, dan ngilu di persendian.

Meskipun beberapa percobaan—pada pertengahan 1970-an—dengan sialidase gagal, Colman dan Varghese tetap ngotot. Sialidase ternyata sejenis enzim. Dalam tubuh, enzim adalah pembuat energi berkapasitas tinggi. Menurut Colman, kalau energi ini dapat dimanfaatkan sebagai energi perekat, secara teori orang harus dapat membuat obat yang menempel lebih kuat pada sialidase daripada hemaglutinin.

Sudah diketahui bahwa virus influenza sangat pandai menyesuaikan diri dengan bagian tubuh yang ditempelinya. Colman dan Varghese lalu mencari pola yang konstan dari molekul protein sialidase yang berubah-ubah ini. Mereka mengambil virus influenza, kemudian mengkristalkannya.

Dalam bentuk kristal ini, mereka mendapat gambar tiga dimensi dari sialidase. Protein ini ternyata molekul berbentuk jamur yang mencuat dari inti virus. Para peneliti menemukan bahwa pada kepala jamur selalu ada belahan seperti saku. Ternyata unsur belahan ini memegang peran utama dalam interaksi virus pada sel tubuh yang dimasukinya.

Tak mengherankan bila sistem kekebalan tubuh gagal mengenali bagian aktif molekul sialidase. Itulah sebabnya kenapa mekanisme kekebalan tubuh kewalahan mencari kelemahan virus influenza. Untuk itu, perlu prototipe yang dapat menyumbat belahan molekul sialidase. Prototipe ditemukan dokter Wen Yang Wu, warga Australia keturunan Cina, yang merupakan tiruan asam sialik. Cara kerjanya ialah menyumbat belahan seperti saku yang menyembunyikan bagian aktif dari sialidase.

Jadi obat ini tidak mencegah infeksi, tapi membiarkannya. Sesudah infeksi terjadi, sebelum jutaan virion yang diciptakan virus yang masuk ke sel lendir menyebar, mereka diperangkap. Sementara itu, mekanisme tubuh bereaksi membasmi mereka dalam perangkapnya. Obat ini telah diuji pada musang dan sukses.

Tahun depan, menurut produsen obat Biota dan mitranya, Glaxo Australia, ramuan obat influenza ini akan dites pada manusia. Hidung sekitar 8.000 sukarelawan akan disemprot dengan obat ini, lalu mereka dilepas ke lapangan untuk menerima virus influenza. Berapa lama tes ini akan berjalan? “Mungkin sekitar tiga tahun lagi,” kata Ken Windall, Direktur Utama Glaxo Australia.


 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus