Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Ada pembaca yang punya gagasan membayar bunga utang dari uang Rp 11 ribu triliun di kantong Jokowi.
Korupsi dana desa yang merampas hak masyarakat miskin untuk mendapatkan kesejahteraan.
Ide kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 dengan segala keruwetan situasi politik hari ini.
SAYA meminta kartunis Tempo menggambar kartun pemerintah Indonesia yang bakal membayar bunga utang Rp 500 triliun. Seharusnya kita tak perlu khawatir karena utang pemerintah itu dibuat pada era Joko Widodo dan Jokowi mengantongi uang Rp 11 ribu triliun. Pakai saja uang Rp 500 triliun dari Rp 11 ribu triliun itu, lalu sisa Rp 10.500 triliun bisa dibagi-bagi ke seluruh rakyat kelas menengah ke bawah di Indonesia yang katanya sedang anjlok itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hardi Yan
Tembilahan, Riau
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kembali ke UUD 1945
ADA baiknya para pemangku kepentingan membatalkan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dan mengembalikannya ke naskah aslinya. Pada 5 Juli 1959, pemerintah Indonesia juga kembali ke UUD 1945 setelah beberapa kali terjadi perubahan sejak masa kemerdekaan pada 1945.
Selain itu, kedudukan dan fungsi Majelis Permusyawaratan Rakyat harus dikembalikan sebagai lembaga tertinggi negara, bukan sekadar sebagai lembaga tinggi setingkat Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Padahal MPR merupakan gabungan DPR dengan DPD.
Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) juga perlu dihidupkan kembali agar pembangunan sumber daya manusia, ekonomi, politik, hukum, dan sosial mempunyai arah yang jelas serta bisa dikontrol dan mempunyai tolok ukur keberhasilan. GBHN merupakan key performance area dan key performance indicator bagi presiden dalam menjalankan tugas sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan.
Pada masa Orde Baru, presiden merupakan mandataris MPR karena dipilih oleh MPR dan menjalankan GBHN yang ditetapkan MPR. Setiap lima tahun pada akhir masa jabatannya, presiden harus menyampaikan pertanggungjawaban kinerjanya di depan sidang MPR. Namun, dengan sistem pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, tentunya GBHN harus disesuaikan dan dibuat lebih tajam serta terarah, tidak multitafsir. Hal ini terutama penting untuk memastikan presiden tidak melenceng dalam melakukan tugas dan tanggung jawabnya.
Samesto Nitisastro
Depok, Jawa Barat
Korupsi Dana Desa
KITA sering mendengar dan melihat berita bahwa ada warga desa yang terlunta-lunta tinggal di gubuk reyot. Ada juga yang tidak punya penghasilan dan menjadi beban tetangganya. Masih banyak pula masalah di desa, seperti jalan rusak parah dan bendungan jebol. Siapa yang bertanggung jawab dan berada di posisi terdekat dengan warga desa? Tentu dia adalah kepala desa dan aparaturnya.
Ada data yang menyatakan aparatur desa paling banyak berada di pusaran kasus korupsi. Sungguh ini satu hal yang sangat memprihatinkan sekaligus mengecewakan bagi masyarakat. Dana desa untuk pembangunan warga banyak diselewengkan aparatur desa. Sebanyak 591 kasus korupsi dana desa pada 2014-2024 melibatkan 640 terdakwa aparatur desa dan menimbulkan kerugian negara Rp 598,13 miliar. Nilai ini setara dengan dana desa untuk 744 desa (dengan asumsi Rp 800 juta untuk tiap desa).
Banyak kepala desa terjerumus praktik korupsi akibat minimnya pemahaman tata kelola keuangan, kurangnya pengawasan, serta rendahnya integritas. Faktor pendidikan aparatur desa juga berpengaruh karena pada umumnya mereka hanya lulusan sekolah menengah atas, bahkan setingkat sekolah dasar.
Modus korupsi yang paling sering terjadi adalah penggelembungan nilai pengadaan barang dan jasa, manipulasi surat pertanggungjawaban, serta penggelapan dana yang dipicu minimnya digitalisasi sistem keuangan desa. Korupsi dana desa paling banyak terjadi di sektor infrastruktur, seperti proyek fiktif, pengurangan spesifikasi proyek, penggelembungan harga material, manipulasi lapangan proyek, dan penyalahgunaan wewenang. Namun korupsi di luar sektor ini pun banyak terjadi, walaupun nilainya lebih kecil.
Korupsi dana desa memang harus ditangani dengan cepat dan tegas serta dituntaskan. Diperlukan evaluasi kebijakan dan penegakan hukum yang lebih ketat. Diperlukan pula pendamping desa dalam pengawasan serta penguatan sistem laporan keuangan. Transparansi pencairan dana desa secara terbuka juga dibutuhkan.
Kejaksaan harus mendorong digitalisasi laporan keuangan desa untuk memastikan dana desa dikelola dengan transparan dan akuntabel. Indonesia Corruption Watch mendeteksi lima titik kerawanan dana desa, yaitu perencanaan yang rentan dikuasai kaum elite (elite capture), pelaksanaan anggaran dengan nepotisme dan transparansi rendah, pengadaan barang yang mudah dimanipulasi, adanya laporan fiktif, serta evaluasi yang terlambat mendeteksi korupsi yang tengah terjadi.
Semoga masyarakat desa diikutsertakan mengawasi penyaluran dana desa sehingga tidak terjadi lagi korupsi yang menyengsarakan mereka dan tak memberikan kesejahteraan.
Kosmantono
Banyumas, Jawa Tengah
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo