Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Para pengidap human immunodeficiency virus (HIV) di Indonesia kesulitan memperoleh antiretroviral (ARV)
Kementerian Kesehatan berencana membeli antiretroviral dari India, tapi terganjal wabah virus corona
Pada 2008 Indonesia juga pernah mengalami kelangkaan antiretroviral
SEJAK awal 2020, para pengidap human immunodeficiency virus (HIV) di Indonesia kesulitan memperoleh antiretroviral (ARV) fixed-dosed combination (FCD). Padahal ARV FCD adalah obat kombinasi tenofovir, lamivudine, dan efavirenz yang wajib mereka konsumsi setiap hari seumur hidup untuk memperkuat sistem kekebalan tubuh. Jika putus, akibatnya fatal. Virus yang menggerus kekebalan tubuh mereka bakal lebih resistan terhadap obat sehingga lebih sulit ditangani hingga berisiko kematian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Maret lalu, Kementerian Kesehatan berencana membeli antiretroviral dari India. Namun upaya tersebut belum bisa dilakukan karena terganjal pembatasan penerbangan dari India akibat wabah virus corona. Majalah Tempo pernah menulis laporan berjudul “Bila Penyambung Nyawa Langka” tentang kelangkaan antiretroviral pada 1 Desember 2008.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Suatu pagi di awal November 2008, Anton Sugiri menenggak neviral dan duviral. Obat yang namanya seperti anak kembar itu merupakan dua jenis antiretroviral, obat untuk pengidap HIV. Rutinitas menelan obat itu dijalani pria 30 tahun ini sejak 2005. Namun, tak seperti biasanya, setelah meminum obat pagi itu, Anton merasa pusing dan mual.
Malamnya, pria yang tahun lalu baru menikah ini menyesap tablet yang sama. Tiba-tiba ia merasa sekelilingnya berputar, lalu muntah-muntah. Badannya pun lemas. Anton lalu mengecek kemasan obat. Ternyata pada bungkusnya tercantum waktu kedaluwarsa November 2008. Ia menduga masa berlaku obat yang hampir habis itulah penyebab timbulnya efek samping tersebut. Mendekati akhir masa pakai, biasanya kualitas obat sudah menurun. “Apalagi kita tak tahu kualitas penyimpanan di sini,” ujarnya.
Anton tak sendiri. Menjelang peringatan Hari AIDS (acquired immunodeficiency syndrome) Sedunia pada 1 Desember ini, keluhan serupa diterima pengurus Jaringan Orang Terinfeksi HIV Indonesia di Jakarta. Menurut Abdullah Denovan, koordinator nasional organisasi ini, kejadian tersebut terkait dengan kelangkaan stok antiretroviral beberapa bulan terakhir. Karena ketiadaan stok, “Ada yang terpaksa berhenti minum obat, ada pula yang menerima obat berkualitas tak baik,” kata Denovan.
Kelangkaan terjadi di seluruh daerah. Di luar Jawa, kondisi lebih parah. Mengapa antiretroviral langka? Menurut Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Tjandra Yoga Aditama, hal itu terjadi karena dua hal: distribusi yang terganggu dan soal biaya. Selama ini, obat yang di dalam negeri diproduksi Kimia Farma itu dikirim Departemen Kesehatan pusat langsung ke rumah sakit di daerah. Namun, dia menambahkan, kini jumlah orang terinfeksi HIV terus meningkat sehingga obat yang dikirim tak cukup dibagi untuk semua penderita.
Mengenai kurangnya dana, Tjandra menyatakan, meski setiap tahun ditingkatkan, anggaran antiretroviral tetap saja tak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan obat pasien yang jumlahnya setiap tahun meningkat. Departemen Kesehatan lantas mengalihkan sisa dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta menggunakan dana bantuan sosial departemen itu untuk pengadaan antiretroviral. ”Stok dijamin aman sampai Maret 2009,” begitu dia meyakinkan.
Berdasarkan data UNAIDS—lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menangani masalah AIDS—jumlah orang yang terinfeksi HIV di Indonesia hingga Agustus 2008 mencapai 270 ribu. Ini menempatkan Indonesia di urutan kelima dalam hal jumlah pengidap HIV/AIDS di dunia, sesudah India, Cina, Thailand, dan Vietnam.
Pada 2003, Badan Kesehatan Dunia (WHO) mencanangkan program penggunaan antiretroviral secara luas. Pada 2004, pemerintah memberikan subsidi penuh untuk antiretroviral. Pada tahun itu juga, melalui keputusan presiden dan Menteri Kesehatan, Kimia Farma ditugasi memproduksi antiretroviral untuk kebutuhan dalam negeri. Namun itu belum cukup. Pemerintah masih butuh mengimpor antiretroviral dari India yang telah diakui WHO. Dananya diperoleh dari lembaga Dana Global untuk AIDS, Tuberkulosis, dan Malaria atau GFATM.
Persoalannya, Dana Global mensyaratkan obat antiretroviral masuk tanpa pajak karena tergolong bantuan kemanusiaan. Departemen Kesehatan harus mengurus surat bebas pajak dari Departemen Keuangan setiap kali obat itu datang. Biasanya, urusan itu makan waktu sebulan. Walhasil, selama masa itu, antiretroviral impor ini kerap tertahan di bandar udara. Padahal pasien sudah menjerit kekurangan obat.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo