Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bahasa

Asal Asyik Bahasa Media Siber

Sifat penulisan berita media siber yang cenderung cepat pada akhirnya membuat wartawan acap tak kritis.

11 April 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Asal Asyik Bahasa Media Siber

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lestantya R. Baskoro*

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERLAHAN tapi pasti, mesin pencari Google “mempermak” bahasa Indonesia. Pahamkah Anda dengan kalimat ini? “Gubri ke Thailand, Ini Kerja yang Dilakukannya” atau “Alhamdulillah Gubsu Negatif Corona” atau lagi “Terduga Klitih Babak Belur Dikeroyok di Yogyakarta”. Jika bingung, carilah kata itu di Google dan tahulah kita: “Gubri” akronim dari Gubernur Riau, “Gubsu” berarti Gubernur Sumatera Utara, dan “klitih” istilah kejahatan jalanan yang dilakukan remaja.

Media siber di Sumatera Utara dan Provinsi Riau terbiasa memakai akronim “gubsu” dan “gubri”. Hal yang sama dilakukan media siber di Yogyakarta untuk kata “klitih”. Para wartawan media online di daerah tersebut mafhum—selain judul panjang “tak ramah Google”—“gubsu”, “gubri”, dan “klitih” lebih familiar di Google. Pembaca akan mengetik kata itu di Google jika mencari berita yang berkaitan dengan hal tersebut. Dan makin banyak yang mencari “gubsu,” “gubri”, atau “klitih”, “kata-kata” itu makin kuat “tertanam” di Google.

Media siber, yang kini jumlahnya sekitar 47 ribu—lewat Google—telah menjadi kekuatan yang “mengubah” bahasa Indonesia dan menyebarkan sekaligus mempopulerkan istilah baru atau bahasa lokal—kata dan istilah yang terkesan asal, tapi kadang asyik di kuping. Pengelolanya, yang membidik segmentasi pembaca warga daerah, tak peduli pembaca luar paham atau tidak. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, media siber lokal membuat judul semacam ini: “Gubernur VBL Terus Tancap Gas” dan “Gubernur VBL Berharap NTT Negatif Covid-19”. Apa itu VBL? Nama sang Gubernur, Viktor Bungtilu Laiskodat.

Hukum algoritma Google bahwa judul berita tak boleh lebih dari 50 karakter—jika lebih, ia tak terekam dengan baik di Google—membuat para redaktur media siber “menciptakan” kata seefisien mungkin. “Ideologi” soal ini: kata itu menarik dan singkat sehingga, jika disambung dengan predikat, jumlah total karakternya jangan sampai lebih dari 50. Istilah nyeleneh “begal payudara” untuk perbuatan asusila memegang payudara jelas dipopulerkan media siber. Polisi sendiri, untuk tindakan demikian, lebih sering menyebut “perbuatan cabul”.

Dengan “hukum” semacam ini pula tak mungkin redaktur yang paham teknik SEO—search engine optimization—membuat judul, misalnya, “Gubernur Nusa Tenggara Timur Viktor Bungtilu Laiskodat Berharap Nusa Tenggara Timur Negatif Covid-19”, yang dianggap “tak ramah Google”.

Karena itu pula tak perlu heran, misalnya, akronim yang biasa dipakai juru bicara kepolisian mendapat tempat di media siber. Misalnya “laka lantas” (kecelakaan lalu lintas), “pekat” (penyakit masyarakat), dan “sajam” (senjata tajam). “Istilah-istilah” ini makin memasyarakat—dan makin menjadi “bahasa umum”—karena kepolisian salah satu sumber utama berita bagi wartawan. Hampir setiap hari ada pencurian dengan kekerasan (yang diakronimkan “curas” oleh polisi) dan “laka lantas”. “Laka Karambol di Jalan Pantura, Satu Tewas”, demikian judul media siber di Jawa Tengah. “Karambol”? Artinya beruntun.

Sementara itu, sifat penulisan berita media siber yang cenderung cepat pada akhirnya membuat wartawan acap tak kritis. Lihatlah penulisan berita kriminal yang penuh dengan diksi “pelaku”, “korban”, atau “tersangka”. Para wartawan memindahkan begitu saja istilah dari keterangan atau siaran pers polisi. Padahal kata-kata itu, agar beritanya lebih jelas dan “enak dibaca”, semestinya diganti dengan nama atau inisial pelaku.

Ada pula gejala ini: alinea terakhir tulisan berupa kutipan yang diakhiri dengan kata “pungkasnya”. Padahal bisa jadi, saat wawancara, yang dikatakan narasumber masih panjang dan banyak, belum pungkas. Hanya karena kutipan itu terletak di alinea terakhir, sang wartawan secara asal menutupnya dengan “pungkasnya”. Bahasa jurnalisme siber boleh asyik, tapi sifat kritis wartawan tak boleh terkikis.

*) Mantan wartawan Tempo, dosen Fakultas Komunikasi Universitas Prof. Dr. Moestopo, penguji wartawan pada Lembaga Pers Dr. Soetomo
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus