Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Vaksin hepatitis B yang akan datang ke Indonesia pertama kali bakal digunakan hanya untuk tenaga medis
Harga vaksin impor terlalu mahal untuk masyarakat umum
Tenaga medis dinilai paling berisiko tertular hepatitis dari kontak langsung dengan pasien
HEPATITIS masih menjadi momok bagi Indonesia. Jumlah pasien pengidap hepatitis berkisar 30 juta per 2017. Adapun pada pertengahan 2019 diumumkan ada 1,5 juta ibu hamil yang terinfeksi hepatitis B. Padahal pemerintah menargetkan 0 penularan pada 2022.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Achmad Yurianto mengatakan Agustus nanti obat hepatitis bakal tersedia di Indonesia. “Sempat ada kendala dalam impor karena negara asalnya kena lockdown, tapi sekarang ada kepastian,” katanya pada Selasa, 28 Juli lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tempo pada edisi 7 Januari 1984 menulis “Selamat Datang bagi Si Kuning” yang mengabarkan rencana kedatangan vaksin hepatitis B ke Indonesia. Saat itu, vaksin dari tiga negara sedang berlomba masuk ke Tanah Air. Vaksin dari Jepang akan diujicobakan di Rumah Sakit Tjipto Mangunkusumo (RSTM—sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) pada Januari, sedangkan vaksin dari Amerika Serikat dan Prancis sedang diproses izin impornya.
Meski begitu, Direktur Jenderal Pengawas Obat dan Makanan Midian Sirait mengatakan vaksin ini tak akan langsung diberikan kepada masyarakat luas. “Mungkin terbatas pada kelompok elite,” ujarnya. Kelompok elite yang ia maksud adalah para petugas kesehatan.
Pendapatnya ini didukung oleh dokter spesialis gastroenterologi dan hati, Nurul Akbar. “Sebanyak 90 persen dokter gigi dan bedah mulut telah tertular hepatitis,” ucapnya. Sebuah penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Irian Jaya menunjukkan petugas medis berpeluang terinfeksi empat kali lebih besar daripada yang bekerja di luar di bidang kesehatan. Demi menghindari penularan, beberapa petugas medis secara mandiri telah mendapat vaksinasi dengan merogoh kocek sebesar Rp 250 ribu.
Namun rencana memberikan vaksin tahap awal hanya kepada kaum elite ini mendapat kritik. Menurut data Palang Merah Indonesia, sebanyak 4,5 persen penduduk Indonesia terinfeksi penyakit kuning ini. Sedangkan harga vaksin impor ini diperkirakan sangat mahal.
Melalui impor tak resmi, harganya bisa mencapai Rp 70 ribu per ampul. Idealnya, untuk vaksinasi, seseorang memerlukan tiga kali vaksin selama satu bulan. Artinya, diperlukan biaya total Rp 210 ribu per orang untuk menjalani vaksinasi. “Ongkos sebanyak ini tak akan mampu dijangkau oleh masyarakat,” kata seorang apoteker perusahaan farmasi yang akan mengimpor vaksin dari Merck Sharp & Dohme (MSD), Amerika Serikat.
Namun rencana uji vaksin pertama untuk kalangan elite tetap tak goyah. Sjaifoellah Noor, ahli hepatitis RSTM, menegaskan vaksin bakal diberikan kepada petugas medis yang berisiko tinggi tertular hepatitis lewat kontak langsung dengan pasien. “Masyarakat umum di Indonesia belum perlu vaksinasi secara mendesak,” tuturnya. Vaksin yang bakal diujikan kepada para dokter di RSTM ini buatan Palang Hijau Osaka, Jepang.
Jejak pembuatan vaksin ini dimulai oleh Palmer Beasley dari University of Washington, Amerika Serikat, yang pertama kali menemukannya pada 1972 dari darah pasien di Cina. Serum darah pasien dimasukkan ke mesin yang berputar ribuan kali per menit sehingga darah murni berada di atas, zat beracun di tengah, dan virus di dasar. Vaksin dibuat dari kulit virus tersebut.
Setelah bertahun-tahun, vaksin baru dikomersialkan pada 1981, dengan harga selangit. Sampai-sampai masyarakat di Hong Kong yang berpenghasilan rata-rata Rp 2 juta per tahun merasa harga vaksin MSD yang sekitar Rp 100 ribu terlalu mahal. Karena itu, University of Hong Kong bekerja sama dengan Palang Merah Belanda membuat vaksin yang lebih murah, Rp 20 ribu per dosis lengkap.
Harga yang terlalu murah itu menimbulkan polemik dan perang pena para ahli di dunia. Ahli kimia Albert Edward Chung dari University of Pittsburgh, Amerika Serikat, misalnya, khawatir terhadap kemungkinan serum dari Belanda tersebut membawa penyakit acquired immunodeficiency syndrome atau AIDS. Sementara itu, di Indonesia, Midian mengatakan, baru Bio Farma yang mengadakan penjajakan hak produksi di Indonesia demi mendapatkan vaksin murah untuk masyarakat.
Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 7 Januari 1984. Dapatkan arsip digitalnya di:
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo