Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Derita Panjang Perusahaan Setrum

Kondisi keuangan PLN memburuk. Komplikasi akibat kebijakan listrik nasional yang buruk.

1 Agustus 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Derita Panjang Perusahaan Setrum

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PANDEMI Covid-19 dan anjloknya nilai tukar rupiah tak pantas dijadikan kambing hitam atas memburuknya kondisi keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero). Kantong PLN yang kini kian berdarah jelas merupakan buah dari praktik bisnis buruk di PLN sejak puluhan tahun silam, yakni perjanjian jual-beli listrik dengan klausul take or pay: butuh tak butuh, PLN tetap harus membeli listrik swasta. Praktik ini masih berlangsung hingga sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keuangan PLN pada semester pertama 2020 memang babak-belur. Penjualan listrik hanya naik 1,6 persen menjadi Rp 140 triliun dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Laba bersih malah terjun bebas 96 persen menjadi cuma Rp 252 miliar, dari tahun lalu sebesar Rp 7,3 triliun. Situasi ini memang tak lepas dari pandemi Covid-19. Permintaan listrik tahun ini hanya 1,5 persen. Padahal, selama lima tahun terakhir, permintaan listrik rata-rata tumbuh 6 persen.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penurunan tersebut terjadi karena banyak industri yang kolaps akibat pandemi. Pusat-pusat belanja dan perkantoran juga tutup hampir tiga bulan lantaran pembatasan sosial berskala besar. Dampaknya terhadap PLN cukup besar karena kontribusi konsumsi listrik untuk industri dan bisnis lebih dari separuh. Karena itu, peningkatan konsumsi rumah tangga lantaran orang bekerja dan belajar di rumah tak mampu mengimbangi penurunan tersebut.

Namun, jika ditelisik lebih dalam, ada faktor mendasar yang membuat keuangan PLN senantiasa tertekan, yakni beban pembelian listrik swasta. Swasta terlibat dalam pemasokan listrik sejak 1994, ketika pemerintah mengajak mereka ikut membangun pembangkit listrik karena pemerintah tak punya duit. Ketika itu, pertumbuhan konsumsi listrik lebih tinggi dibanding kenaikan pasokan. Paiton Energy Corp merupakan investor pertama di pembangkitan listrik.

Untuk menarik swasta itulah pemerintah Presiden Soeharto mengiming-iming klausul take or pay. Butuh tak butuh, PLN tetap harus membeli listrik swasta, dengan patokan harga dalam dolar Amerika Serikat. Dalam kondisi shortage (defisit pasokan), klausul ini memang tak terasa dampaknya. Namun, pada saat listrik berlimpah seperti sekarang, klausul ini menjadi beban berat. Hal itu terlihat dari beban pembelian listrik swasta pada semester pertama 2020 yang naik hampir 30 persen menjadi Rp 25,83 triliun.

Situasi pandemi ini boleh jadi masih akan lama. Ekonomi memang mulai menggeliat, tapi tetap dengan bayang-bayang pandemi yang kelam. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2020 bisa dipastikan negatif. Artinya, sektor industri dan bisnis belum akan pulih dalam waktu cepat. Dampaknya terhadap PLN sudah bisa dibayangkan akan memanjang, setidaknya hingga tahun depan. Masalahnya, program listrik 35 ribu megawatt masih menggunakan klausul tersebut.

Klausul itulah yang kemudian mendorong banyak perusahaan terjun ke bisnis pembangkitan. Dengan skema seperti itu, faktor risiko sepenuhnya berada di tangan PLN. Celakanya, PLN seperti cicak yang kepalanya dilepas tapi ekornya tetap dipegangi. Di satu sisi, PLN tidak bisa mengendalikan biaya produksi karena adanya klausul take or pay dan beban produksi didasari harga pasar. Di sisi lain, untuk kelas konsumen tertentu, pemerintahlah yang menentukan harga jual listrik.

Itu sebabnya, pemerintah Presiden Joko Widodo dan PLN harus berani merevisi perjanjian jual-beli listrik yang berat sebelah tersebut dengan alasan force majeure. Nantinya, PLN hanya membeli listrik jika memang membutuhkannya. PLN juga akan memiliki kebebasan memilih pembangkit yang harganya murah. Jika persoalan tak diselesaikan, borok PLN akan terus membesar. Beban ini akan membuat berbagai langkah efisiensi PLN, terutama di bidang pembelian bahan bakar untuk pembangkit, seolah-olah tak ada gunanya.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus