AIR Manis masih seperti dulu-dulu juga. Perkampungan nelayan
miskin di pantai selatan dan merupakan kampung bernomor 13 di
Kota Padang itu masih saja ramai dikunjungi turis domestik.
Terutama hari Minggu dan hari libur. Pantainya yang indah dan
kapal si Malin Kundang yang membatu itu masih saja ditapaki
jejak pasangan remaja untuk bercumbu rayu.
Terletak 5 Km di selatan Padang, Air Manis dari dulu memang
tersohor sebagai tempat rekreasi pantai. Ke arah laut membentang
pemandangan indah samudera Indonesia. Di sisinya berdiri
pebukitan hijau. Di sebelah yang lain di ujung pantai terdapat
sisa kapal Malin Kundang yang durhaka itu.
Tapi malangnya keramaian Air Manis itu tak banyak membawa arti
bagi penduduk kampung itu. Artinya para pendatang, jarang yang
menjatuhkan rupiah di sana. Selain memang tidak disediakan
tempat tempat berdagang, pengunjung memang kurang berselera
untuk mampir di tempat-tempat yang ada. Tak bisa lain,
pengunjung memang lebih senang membawa minuman sendiri dan
mencicipi sepanjang jalan dari Gunung Padang sampai ke kaki
Bukit arah ke Teluk Bayur di ujung selatan.
Dengan begitu, warga Air Manis tidak bisa berusaha lain, kecuali
terus menekuni kehidupan mereka seperti selama ini sebagai
nelayan tradisionil. Tetapi belakangan ini kehidupan sebagai
nelayan itu pun makin susah. "Dulu di sini ada 80 biduk, kini
tinggal biji," kata Muchtar St. Mudo pemuka Air Manis.
Bagan Dan Motor
Pasal mundur jumlah armada biduk warga Air Manis tak bisa lain
disebabkan makin merajalelanya armada perahu bermotor dengan
alat penangkal yang lebih modern. Ada pula bagan yang sudah
ditanam di beberapa bagian pantai. Kemajuan peralatan nelayan
lain rupanya telah mengutik ketenangan para nelayan pribumi di
sana. Akibatnya nelayan miskin itu tambah miskin. "Sebagian
sudah berusaha sebagai kuli di pelabuhan Muara dan Teluk Bayur,"
kata Muchtar St. Mudo.
Cerita begitu memang menyedihkan. Tentu saja cucu- cucu si Malin
Kundang ini mengutuki nasib mereka yang begitu. Dan pula sejauh
ini mereka merasa tidak diberi kesempatan berkembang, misalnya
dengan memperoleh bantuan dan bimbingan Dinas Perikanan.
"Jangankan bantuan, bimbingan saja belum kami peroleh," begitu
kata seorang nelayan di sana. Dan tudingan mereka alamatkan ke
yihak Dinas Perikanan yang justru berpusat tidak jauh dari Air
Manis. Pihak Dinas Perikanan yang berkantor di Muara rupanya
belum sempat mencek keadaan nelayan di Air Manis. "Masih kita
cek dulu hagaimana keadaan mereka," kata ir. Panjaitan orang
perikanan yang dihubungi melalui Humas Pemda Tk. I Sumatera
Barat. Nelayan Air Manis merasa sawah ladang mereka sudah
dirampas oleh kemajuan penangkapan nelayan lain. Untung saja
pukat harimau belum sempat menjamah pantai Air Manis. "Jika itu
terjadi. biduk kami benar-benar sudah karam" kata nelayan yang
lain.
Jalan
Kesulitan begitu mereka keluhkan kepada tim DPRD Kodya Padang
yang turun ke sana Oktober dan Nopember silam. Merasa bahwa
urusan nelayan adalah urusan dinas perikanan, para warga
setempat cuma minta prasarana jalan dan kesehatan kepada tim
DPRD. Tentu saja wakil rakyat Kota Padang itu menjanjikan akan
menyalurkan keinginan tadi lewat APBD Kota Padang tahun ini.
Tapi tahun lalu Air Manis sudah menerima bantuan desa. Bangunan
kantor Musyawarah Desa yang akan berfungsi pula sebagai kantor
Kepala Kampung berhasil dirampungkan, biayanya Rp 2 juta.
Bantuan desa Rp 900 ribu pemerintan kota Rp 600 ribu dan sisanya
sekitar Rp 500 ribu berasal dari swadaya masyarakat. "Jalan ke
Air Manis akan kita rehabilitir tahun ini lewat APBD 77/78,"
kata Walikota Padang drs. Hasan Basri Durin waktu menjenguk
warganya di Air Manis pertengahan Desember yang silam.
Perbaikan jalan agaknya memang akan melepaskan penduduk Air
Manis dari keterisolirannya. Dengan begitu arus kemajuan kampung
lain secara berangsur-angsur bakal menyentuh pula kampung yang
satu ini. Dan itu juga berarti Air Manis yang berpenduduk 2000
orang itu dengan luas areal 3 km persegi akan mudah mencari
pekerjaan di kota Padang, sepanjang kehidupan sebagai nelayan
macam sekarang masih suram.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini