Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Transmigrasi Kiayi

Kiyai mundir, guru gaji di desa ngapit, kab. ngawi memikirkan kesejahteraan pengikutnya. santrinya yang menetap di sum-sel menawarkan transmigrasi. setelah disurvai kiyai, penduduk lalu transmigrasi. (ds)

14 Januari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI lereng timur-laut gunung Lawu ada desa Ngapit. Di desa yang gersang ini ada seorang kiayi Mundir namanya. Sejak tahun 50-an ia mengajar ngaji (membaca al qur'an) hingga tak mengherankan bila banyak bekas santrinya yang kini sudah tua-tua. Tapi Mundir tetap dihormati. Mungkin lantaran ia selalu memikirkan kesejahteraan pengikutnya. Lumbung "Kemakmuran," misalnya, ia dirikan dengan modal dari pengumpulan zakat maal. Keuntungan dari simpan pinjam padi ini bisa digunakan untuk mendirikan madrasah tanpa membebani masyarakat dengan pungutan. Bahkan sebagian keuntungan juga disisihkan untuk membantu pengobatan santri miskin yang sakit. Tapi karena omzet lumbung ini memang tidak besar (tahun 1976 sebanyak 2.000 kwintal) peranan sosialnya juga kecil. Karena itu Mundir membuka usaha baru di bidang ternak potong dengan modal pertama 50 ekor sapi pinjaman dari Bupati Ngawi. Pemeliharaannya diserahkan pada petani yang tak punya sawah. Sayangnya usaha ini hanya berjalan setahun. "Keuntungannya sangat tipis, tidak sebanding dengan jerih payah memeliharanya" Mundir menjelaskan pada TEMPO. Ketika kiayi tamatan pesantren Banyu Biru ini sedang memikirkan usaha apa lagi yang bisa dikembangkan, seorang bekas santrinya yang kini menetap di Sumatera Selatan kembali ke Ngapit. Ia ceritakan kepada Mundir bahwa hidup di tempat yang baru tersebut lebih lumayan. Sejak saat itulah Mundir berfikir keras membuat pertimbangan untung ruginya bertransmigrasi. Berita-berita mengenai nasib sebagian transmigrasi yang terlantar membuat Mundir berhati-hati. Asal Kiayi Ikut Karena itu ia memerlukan berangkat ke Sum-Sel melihat daerah mana kira-kira yang tepat untuk itu. Walhasil ia menemukan daerah yang dirasa cocok untuk penduduk Ngapit, yakni di Baturaja. Pulang dari Sumatera, Mundir mengumpulkan pengikutnya menawarkan kemungkinan baru tersebut. Apa jawab mereka? "Asal pak kiayi ikut dan memimpin kami, kami semua mau ikut" jawab mereka seperti ditirukan Sarbi (60 tahun) kepada TEMPO. Seminggu kemudian, tercatat 79 kepala keluarga (377 jiwa) menyatakan akan nderek (ikut) pak kiayi. Mundir segera membawa daftar itu ke kantor transmigrasi setempat. Meskipun kiayi memilih sendiri lokasi yang akan ditempati, tapi pemerintah menghargai inisiatif tersebut. Direktorat Transmigrasi segera menyiapkan tempat baru itu dengan mendirikan perumahan dam membuka tanah. Tiap KK mendapat satu rumah berukuran 4 x 6 meter dan tanah 2 ha - separonya harus dibuka sendiri. Keperluan pokok mereka selama satu tahun juga ditanggung direktorat Transmigrasi, kecuali biaya perjalanan menuju tempat itu. Biaya yang terakl1ir ini kemudian ditanggung Gubernur Sunandar Priosudarmo sebesar Rp 3.700.000, dengan uang saku dari Bupati Ngawi Rp 3.000/KK. Penghormatan terhadap mereka juga agak luar biasa. Beberapa kali upacara diadakan. Pimpinan Pusat Pesantren Sabilil Muttaqin dan pihak kecamatan setempat mengantar sampai di Baturaja. Dua minggu lalu mereka dilepas pula oleh Laksamana Sudomo di Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus