Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kutipan & Album

Hakim Khusus Perkara Narkotik

Arsip majalah Tempo edisi 24 Juli 1976.

30 Mei 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Hakim Khusus Perkara Narkotik

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Indonesia menjadi pasar narkotik terbesar di Asia Tenggara.

  • Sebagian besar narkotik diselundupkan dari luar negeri.

  • Pemerintah Indonesia pernah membentuk hakim khusus perkara penyelundupan dan peredaran narkotik.

PENYELUNDUPAN dan narkotik seperti dua sisi mata uang yang tidak terpisahkan di Indonesia. Narkotik untuk konsumsi ilegal masuk melalui penyelundupan. Berbagai jenis narkotik, dari sabu hingga morfin, diimpor dari berbagai negara melalui jalur-jalur tikus yang minim pengawasan di perbatasan. Akibatnya, Indonesia menjadi pasar narkotik terbesar di Asia Tenggara dengan jumlah pecandu mencapai 3,6 juta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertengahan Mei lalu, satuan tugas khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian Republik Indonesia membongkar jaringan narkotik Indonesia-Pakistan. Polisi menemukan sekitar 821 kilogram sabu yang disimpan di sebuah rumah toko di Jalan Raya Takari, Kota Serang, Banten.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Majalah Tempo edisi 24 Juli 1976 menulis berita bertajuk “Awas: Hakim Khusus” yang mengulas langkah pemerintah membentuk hakim khusus untuk mengadili perkara penyelundupan dan narkotik.

Maraknya penyelundupan serta peredaran narkotik membuat pemerintah geram. Dewan Perwakilan Rakyat telah menyetujui Rancangan Undang-Undang Narkotika (selanjutnya menjadi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika) yang salah satu pasalnya mengatur  ancaman hukuman mati bagi bandar atau pengedar narkotik. Pemerintah Indonesia mengikuti langkah pemerintah Singapura menerapkan hukuman mati bagi pengedar narkotik. Di Negeri Singa itu, hukuman mati pertama untuk kasus narkotik dijatuhkan kepada Teo Hook Seng yang mengedarkan 46,38 gram morfin pada Januari lalu.

Tidak berhenti di situ, Departemen Kehakiman juga membentuk hakim khusus untuk mengadili para penyelundup dan bandar narkotik. Sebanyak 40 hakim khusus diangkat pada Juni 1979.

Para hakim khusus itu diangkat dari hakim yang tengah bertugas di beberapa kota di Indonesia. Di antaranya 15 hakim dari Jakarta. Di samping mengadili perkara di wilayah sendiri seperti biasa, para hakim khusus itu berwenang mengadili perkara penyelundupan dan narkotik di kota lain. Atau, kalau perlu, mereka bisa meminta terdakwa dari kota lain dihadapkan di kantor pengadilannya. Pokoknya, mereka hakim yang punya wewenang mengadili perkara penyelundupan dan narkotik di seluruh pelosok Tanah Air. Mereka tidak terikat pada ketentuan yurisdiksi seperti lazimnya.

Perkara penyelundupan dan narkotik memang sedang mendapat perhatian khusus—dari penyidikan permulaan, penindakan, hingga penuntutannya. Di luar 40 orang itu, tak seorang pun hakim punya wewenang menangani dua perkara khusus tersebut.

Pembentukan hakim khusus dengan segala kewenangan istimewa mereka itu memantik perdebatan di kalangan hakim. Sebagian hakim setuju terhadap konsep baru tersebut. Salah satu alasan mereka adalah aturan baru itu bisa menjaga obyektifitas hakim dalam mengadili perkara. Sebab, terlalu lama seorang hakim bertugas di suatu tempat, lalu menjadi terlampau akrab dengan lingkungan terdakwa, akan sulit baginya untuk tetap obyektif.

Sebagian hakim tidak setuju. “Itu berarti tidak mempercayai kami lagi,” kata salah seorang hakim dari daerah. “Kalau kami sudah dianggap sulit bertindak obyektif dan malah sudah mementingkan urusan pribadi, itu bukan soal yang baru dan khusus untuk perkara penyelundupan dan narkotik saja.”

Menurut dia, persoalan hakim yang terlalu lama bertugas di suatu daerah juga bukan soal sekarang-sekarang ini saja. Namun pemerintah jarang memutasi hakim, terutama hakim di Jakarta dan di sejumlah kota besar lain.

Tidak jelasnya mekanisme perekrutan 40 hakim khusus itu juga memantik protes para hakim yang tidak terpilih. Sebagian hakim merasa dianggap tidak cukup mampu bekerja seperti rekannya yang terpilih. “Toh, selama ini juga saya tak pernah ditegur oleh atasan,” ujar salah satu hakim di daerah. Atasan yang dia maksud adalah para hakim agung.

Menghadapi polemik di kalangan hakim tersebut, baik Ketua Mahkamah Agung maupun Menteri Kehakiman belum bersedia berkomentar banyak. Menteri Kehakiman Mochtar Kusumaatmadja hanya menyatakan bahwa pembentukan hakim khusus itu bertujuan mengatasi persoalan maraknya penyelundupan dan peredaran narkotik di Indonesia. “Kebijaksanaan itu diambil untuk membuktikan bahwa pemerintah telah menganggap persoalan itu serius.”

 


 

Artikel lengkap terdapat dalam Tempo edisi 24 Juli 1976. Dapatkan arsip digitalnya di:

https://majalah.tempo.co/edisi/1942/1976-07-24

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus