Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PRESIDEN Joko Widodo sepatutnya jujur dan terbuka mengenai kondisi terakhir penanganan pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia. Hanya dengan transparansi, publik dapat menyadari risiko dari setiap tindakan mereka, terutama ketika situasi normal baru kini di depan mata. Pemerintah tidak boleh bersembunyi di balik statistik epidemiologi dengan basis data yang amburadul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia kehilangan momentum berharga di awal periode penyebaran virus corona. Ketika Badan Kesehatan Dunia (WHO) mengumumkan Covid-19 sebagai situasi darurat pada akhir Januari 2020, Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto tak cepat bertindak. Setidaknya dua bulan pertama di awal tahun ini lewat begitu saja.
Periode penting itu seharusnya bisa dipakai untuk mempersiapkan segala perlengkapan dan prosedur yang dibutuhkan buat menekan laju penularan pandemi mematikan ini. Hari-hari krusial tersebut juga semestinya digunakan untuk mensosialisasi informasi dasar yang penting tentang cara menahan wabah agar tak menyebar ke mana-mana. Nyatanya, baru pada Maret 2020 pemerintah bergerak. Itu pun masih dengan koordinasi yang gagap.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, dua bulan setelah pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar di sejumlah wilayah, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan sudah ada sedikitnya 25 ribu kasus positif corona di seluruh Indonesia. Jumlah yang meninggal, sampai 30 Mei 2020, mencapai 1.520 jiwa. Penambahan jumlah kasus positif per hari masih berkisar pada angka 600-an.
Jika berpatokan pada data itu, sepintas situasi tak seburuk prediksi Pusat Pemodelan Matematika dan Simulasi Institut Teknologi Bandung pada akhir Maret lalu. Ketika itu, tanpa upaya pengendalian apa pun, diperkirakan pada Mei akan ada 60 ribu kasus positif corona di Indonesia, dengan 2.000 kasus baru setiap hari. Dengan tes usap yang masih terbatas, kita tidak bisa memastikan apakah prediksi Pusat Permodelan ITB itu terbukti benar atau salah. Tak konsistennya penelusuran kontak penularan membuat pengendalian wabah ini juga tak optimal. Dengan jumlah pengujian yang minim, kurva penularan di Indonesia belum melandai.
Di tengah situasi macam itulah pemerintah memperkenalkan wacana normal baru. Jeritan pengusaha yang kian tercekik akibat penurunan pendapatan, serta kondisi kas negara yang terancam bolong, pastilah berperan mendorong kebijakan tersebut. Meski pemerintah berkali-kali menegaskan tak akan mengorbankan kesehatan masyarakat demi memutar lagi roda ekonomi, fakta di lapangan menunjukkan situasi tak akan sesederhana itu.
Ketiadaan data hasil tes yang sahih dan komprehensif bakal menyulitkan skenario buka-tutup ekonomi sesuai dengan faktor reproduksi epidemi (R0) yang digagas pemerintah. Jeda antara pengambilan sampel pasien dan pengumuman hasil tes Covid-19 yang cukup panjang akan menjadi tantangan tersendiri. Banyak laboratorium mengaku kewalahan karena minimnya pereaksi kimia (reagen) alat tes dan keterbatasan sumber daya. Meski ideal di atas kertas, tanpa basis data yang solid, koordinasi antarlembaga yang rapi, dan aparat birokrasi yang responsif, rencana itu tampaknya bakal terhambat.
Presiden Joko Widodo tak punya banyak pilihan. Keterbukaan dan kejujuran adalah kebijakan terbaik di era krisis seperti ini. Tak ada gunanya menutupi keadaan yang compang-camping karena teknologi informasi kini membuat rahasia sulit dibekap di tempat gelap. Justru dengan adanya sikap terbuka, publik akan lebih berdaya karena punya informasi untuk mengambil tindakan yang tepat. Naik-turun kurva penularan di setiap wilayah dan derajat validitas setiap data harus diumumkan dengan terbuka.
Walhasil, sekarang kita dihadapkan pada realitas yang pahit. Sudah terlambat bagi pemerintah untuk memilih menyelamatkan ekonomi atau kesehatan masyarakat. Meski kelak memasuki masa normal baru, pemerintah mesti terus memperbaiki pola penanganan pandemi. Menggenjot pelaksanaan tes, menelusuri semua kontak penularan, dan merawat mereka yang sakit adalah kewajiban mutlak pemerintah di masa pandemi ini. Ancaman gelombang kedua bisa dihindari jika semua pihak waspada dan tak bertindak sembrono.
Covid-19 memang membuat semua hal harus berubah. Adaptasi tak akan mudah dan menuntut banyak pengorbanan. Hendaknya pemerintah tak membuat situasi yang sulit ini kian pelik dengan kebijakan yang salah arah. Memberangus kritik, membungkam perbedaan, dan mengerahkan tentara di pusat-pusat keramaian jelas membahayakan demokrasi dan supremasi sipil. Jangan sampai publik merasa harga untuk melalui pandemi ini terlampau mahal buat ditanggung bersama.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo