Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PUTUSAN Pengadilan Negeri Bengkalis, Riau, yang menghukum Bongku bin Jelodan sungguh mengusik rasa keadilan. Hanya karena menebang pohon di hutan milik PT Arara Abadi, petani 58 tahun itu dihukum satu tahun penjara. Sebaliknya, dari data putusan lima tahun terakhir, pengadilan ini justru beberapa kali membebaskan pelaku pembakaran hutan, termasuk perusahaan. Vonis terhadap Bongku makin menguatkan anggapan penegakan hukum di negeri ini tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan Bongku diketuk majelis hakim yang dipimpin Hendah Karmila Dewi dengan anggota Aulia Fhatma Widhola dan Zia Ul Jannah Idris pada 18 Mei 2020. Majelis menghukum warga suku Sakai di Dusun Suluk Bongkal, Desa Koto Pait, Kecamatan Pinggir, Bengkalis, ini dengan pidana penjara satu tahun dan denda Rp 200 juta. Hakim menilai Bongku terbukti menebang pohon di dalam kawasan hutan tanpa memiliki izin dari pejabat berwenang. Dalam putusan tersebut, majelis bersandar pada bukti dua pohon eukaliptus bekas ditebang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Putusan ini menunjukkan betapa jauh jarak hukum dan keadilan dengan orang kecil seperti Bongku. Majelis hakim menegakkan hukum secara kaku, arogan, dan hitam-putih. Bahkan, dalam putusannya, majelis terkesan tidak menghiraukan keterangan saksi dan ahli yang meringankan terdakwa. Putusan ini juga ironis karena barang bukti perkara hanyalah dua batang pohon eukaliptus. Barang bukti ini tidak klop dengan dakwaan jaksa yang menyebutkan Bongku menebang 200 pohon eukaliptus dan akasia dalam konsesi PT Arara Abadi.
Majelis hakim juga terkesan enggan melihat permasalahan secara menyeluruh dan menelusuri kasus ini dengan jernih. Hakim sama sekali tidak melihat soal alasan Bongku menebang pohon, yang semata-mata untuk membuka lahan agar bisa menanam ubi manggalo atau ubi racun sebagai makanan pokok suku Sakai yang sudah hidup di dalam dan sekitar kawasan hutan itu sejak dulu. Tak ada niat dia merusak hutan. Bongku menganggap lahan itu tanah ulayat. Sangat disesalkan hakim mengabaikan status adat ini lebih karena pertimbangan formalitas, bukan fakta mereka sudah turun-temurun tinggal di kawasan itu.
Penerapan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Perusakan Hutan dalam putusan hakim juga tidak tepat. Bongku adalah bagian dari masyarakat adat suku Sakai yang bukan merupakan subyek hukum undang-undang tersebut. Dalam bagian penjelasan umum undang-undang tersebut jelas disebutkan subyek hukum aturan ini adalah pelaku kejahatan hutan terorganisasi dan korporasi. Apalagi di persidangan terbukti Bongku menebang pohon seorang diri, bukan bagian dari sindikat.
Ketidakadilan sesungguhnya sudah terjadi sejak awal. Polisi begitu trengginas mengusut kasus ini. Hanya butuh sehari polisi menerima laporan pengaduan dari pihak Arara Abadi, menetapkan tersangka, hingga menahan Bongku. Perlakuan hukum berbeda diterapkan polisi terhadap belasan laporan dugaan kejahatan pembakaran hutan oleh korporasi yang dilayangkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau sejak 2015. Sebagian sudah dihentikan, sisanya tak ada kejelasan. Jaksa sesungguhnya punya hak menolak kasus Bongku karena tidak layak diteruskan. Tapi jaksa memilih melanjutkan kasus ini ke pengadilan hingga akhirnya Bongku divonis bersalah oleh hakim.
Masih ada upaya bagi Bongku untuk mendapatkan keadilan. Putusan pengadilan negeri ini bisa dikoreksi di tingkat banding hingga Mahkamah Agung. Komisi Yudisial dan Badan Pengawas MA juga tak boleh tinggal diam melihat ketidakadilan ini. Kedua lembaga tersebut harus memeriksa majelis hakim atas putusan mereka yang sesat dan salah kaprah.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo