Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tim peneliti menemukan tujuh tengkorak manusia di Flores.
Temuan itu merupakan rangkaian dari penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh peneliti Eropa
Meski belum teridentifikasi, ada dugaan tengkorak itu mirip dengan penemuan sebelumnya pada 1954 yang menyatakan itu kerangka manusia negrito
TEKA-TEKI fosil manusia purba yang ditemukan di Maros, Sulawesi Selatan, pada 2015 terjawab sudah. Akhir Agustus lalu, tim peneliti mengungkapkan lewat analisis genetik bahwa kerangka remaja perempuan yang hidup 7.200 tahun lalu tersebut identik dengan kerangka penduduk asli Australia dan Papua saat ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penemuan manusia purba di Sulawesi bukan yang pertama kali. Sejak manusia Jawa pertama kali ditemukan pada 1891, para arkeolog lokal dan mancanegara menggali fosil di berbagai daerah, termasuk di Nusa Tenggara Timur. Media 1970, seperti yang tersaji dalam artikel majalah Tempo berjudul “Tengkorak di Liang Bua”, fosil manusia purba ditemukan di NTT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh fosil tengkorak dan kerangka Melanesoid—nenek moyang rumpun Melanesia yang juga menghuni Irian, Maluku, dan NTT—telah ditemukan di Flores, Juli lalu. Jenis Homo sapiens ini diduga hidup di zaman neolitik atau zaman bercocok tanam, kira-kira 3000-2000 sebelum Masehi.
Tempatnya di Liang Bua, gua kapur yang waktu tempuhnya lima jam jalan kaki dari Ruteng, ibu kota Kabupaten Manggarai, Flores Barat. Penemunya adalah R.P. Soejono, Kepala Pusat Penelitian Purbakala dan Peninggalan Nasional yang memimpin penggalian itu bersama 24 anggota tim dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta, dan Bali.
Meskipun jawaban pasti tentang apa dan siapa tengkorak itu belum diperoleh, langkah Soejono disambut dengan gembira lingkungan penelitian purbakala. Sebab, setelah ekspedisi Van Heekeren dan Basuki dari Dinas Purbakala 1952, baru kali ini ada ekspedisi dari Jakarta lagi ke pulau yang kaya fosil tersebut.
Setelah Th. Verhoeven ditarik kembali ke Belanda, penelitian purbakala di NTT praktis terhenti. Verhoeven, yang kini sudah menanggalkan jubah pastornya di Belanda, memang cukup besar andilnya dalam penelitian kepurbakalaan NTT. Liang Bua yang baru saja digali Soejono itu pertama kali dilaporkan oleh Verhoeven dalam jurnal ilmu-ilmu kemanusiaan Anthropus terbitan Jerman No. 48/1953.
Verhoeven juga sudah lebih dulu memikirkan kaitan kebudayaan lempeng batu kecil dengan jenis manusia pendukung kultur tersebut. Sekali lagi, dia tak meninjau pulau Flores secara terpisah. Ia mengaitkannya dengan penemuan fosil manusia dan peralatan batu di daerah Toala, Sulawesi, dan penemuan fosil di Gua Lava, Jawa.
Fosil manusia itu mempunyai ciri-ciri tengkorak seperti orang Melanesia ataupun penduduk asli Australia (aboriginals). Karena itu, dengan teori nenek moyang orang-orang berkulit hitam dan rambut keriting itu pernah juga menghuni Flores, Verhoeven dan murid-muridnya kembali menjelajahi gua-gua kapur di Flores.
Kali ini sasarannya adalah gua-gua di Ngada, Flores Tengah, dekat perbatasan dengan Manggarai. Tahun itu juga, penemuan itu dikirimnya ke Jakarta agar diidentifikasi oleh Dinas Purbakala. Namun sampai tulisannya terbit di Anthropos No. 53/1958, tulang-tulang itu hanya tergeletak di Jakarta.
Dia tak putus asa. Penggalian dilanjutkan lagi. November 1954, anak-anak seminari Mataloko yang dipimpin oleh guru bahasa dan antropologinya itu menemukan kerangka manusia dewasa yang tingginya 1,46 meter. Kerangka tertimbun di bawah tumpukan lempeng batu kecil di Liang Toge, dekat perbatasan Manggarai dan Ngada.
Tengkorak fosil itu mempunyai rahang menonjol, tulang alis yang maju ke depan, dan bentuk tengkorak dolichocehal. Kerangka manusia purba itu dikirim ke Belanda untuk diteliti oleh ahli-ahli di Leiden dan Utrecht. Di antaranya Prof Von Koenigswald, yang juga dikenal karena penemuan fosil Manusia Jawa.
Dua tahun kemudian, datang jawaban dari Prof Huizinga dan Prof Von Koenigswald: “Itu betul kerangka seorang Negrito (Negro kecil).” Tapi, karena usianya yang sangat tua, manusia purba itu diberi nama “Proto-Negrito” oleh Huizinga, dan diduga dulu juga menghuni Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
Fosil Proto-Negrito yang diduga umurnya jauh lebih tua dari fosil Melanesoid—sekitar 200 ribu tahun, atau sebaya dengan Homo neanderthal yang ditemukan di Eropa—kini masih tersimpan di Utrecht, Belanda.
https://majalah.tempo.co/edisi/1996/1978-08-19
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo