Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Indonesia dikagetkan oleh kabar penyadapan Australia terhadap sejumlah pejabat, termasuk Presiden Susilo Bambang YuÂdhoyono. Informasi penyadapan itu terkuak setelah The ÂGuardian, ABC, dan Sydney Morning Herald melansir berita bahwa Australian Signal Directorate menyadap percakapan telepon Yudhoyono. Informasi ini berdasarkan dokumen yang dibocorkan mantan analis badan intelijen Amerika Serikat, National Security Agency (NSA), Edward Snowden.
Presiden Yudhoyono mengecam dan menyatakan kekecewaannya terhadap Australia. Indonesia menarik Duta Besar Indonesia untuk Australia dan mengancam menghentikan sejumlah kerja sama. Namun semua kecaman dan kekecewaan itu tak membuat Perdana Menteri Australia Tony Abbott segera meminta maaf.
Heboh dokumen bocor di Australia juga pernah ditulis rubrik Nasional majalah Tempo edisi 4 Juni 1977. Pembicaraan Andrew Peacock—ketika itu Menteri Luar Negeri Australia—dengan Jusuf Wanandi dan Harry Tjan Silalahi di Bali pada 1975 bocor dan disiarkan National Times Australia.
Para redaktur surat kabar, radio, dan televisi di Australia masih belum bosan dengan berita tentang Timor Timur yang bergabung menjadi provinsi di Indonesia pada 1976. Dan setiap kali beritanya muncul, reaksi pun segera datang, terutama dari kalangan partai politik. Di Canberra, anggota parlemen kontan bersuara dalam sidang, bertanya kepada pemerintah.
Australia riuh dan menggugat sikap Peacock. Di Bandara Ngurah Rai, Bali, Peacock dan istri disambut oleh dua tokoh Centre for Strategic and International Studies (CSIS)—Harry Tjan Silalahi dan Jusuf Wanandi (dahulu Lim Bian Kie). Keduanya disebut di Canberra sebagai pejabat resmi Indonesia.
Pertemuan Peacock-Tjan-Wanandi itu sudah lama dianggap seperti angin lalu saja. Tapi mendadak tersiar dokumen intel pada April 1977 di National Times, yang menyebutnya berasal dari Indonesia. Menurut dokumen tersebut, Peacock dalam percakapan dengan kedua "pejabat" Indonesia itu menyebut Partai Liberal, ketika itu masih sebagai oposisi, tidak akan memprotes bila Indonesia memasuki Timor Timur. Kebetulan pada Desember 1975 sukarelawan Indonesia menduduki Dili dan menghalau Fretilin.
Peacock tentu saja membantah isi dokumen itu, tapi mengaku telah bertemu dengan Harry dan Wanandi secara tidak diduga. Namun suatu telegram dari Duta Besar Australia di Jakarta, Richard Woolcott, ke Canberra, yang juga tersiar, meninggalkan kesan bahwa pertemuan di Bali untuk Peacock itu sudah diatur.
Bekas perdana Âmenteri Gough Whitlam dari Partai Buruh menuduh Peacock telah "menyesatkan" parlemen hingga ia memajukan suara tidak percaya. Maka timbul analisis politik di Australia bahwa dokumen itu sengaja dibocorkan Indonesia karena jengkel terhadap pemerintah Liberal sehubungan dengan Timor Timur. Australia belum mengakui kekuasaan RI di Timor Timur secara resmi, sedangkan pengakuan itu sudah ada dari Selandia Baru dan Amerika Serikat.
Timbul pula pertanyaan di parlemen Canberra tentang kemungkinan pemerintahnya mengangkut sejumlah orang Timor Timur ke Australia. Peraturan imigrasi Australia, yang biasanya ketat terhadap orang kulit sawo matang dan non-Eropa lainnya, akan diperlunaknya untuk Timor Timur.
"Ini adalah untuk alasan kemanusiaan belaka, mengizinkan orang Timor Timur bergabung dengan keluarga mereka yang sudah berada di Australia," pihak Kedutaan Besar Australia di Jakarta menjelaskan kepada Tempo.
Timor Timur lepas dari Indonesia dan menjadi negara Timor Leste pada 20 Mei 2002. Dan Australia masih repot dengan tetangganya sehingga harus melakukan penyadapan seperti sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo