Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Siasat ARB

25 November 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Layakkah seorang konglomerat dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia? Pertanyaan ini perlu dicari jawabnya karena ada kemungkinan tahun depan nama seorang konglomerat terpampang di surat suara pemilihan Presiden RI periode 2014-2019.

Aburizal Bakrie, pengusaha besar yang dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya Indonesia pada 2007, sedang berjuang menjadi orang nomor satu negeri ini. Insinyur elektro berusia 67 tahun yang menyebut diri ARB ini sedang mengarungi jalan politik menuju Istana dengan ketekunan, semangat, dan gaya kepemimpinan yang sukses mengantarkannya ke posisi pengusaha top nasional.

ARB, misalnya, telah berhasil menjadi Ketua Umum Partai Golkar, partai besar yang berpeluang meraih cukup suara atau kursi Dewan Perwakilan Rakyat untuk menempatkannya sebagai calon presiden. Peluang ini, menurut berbagai jajak pendapat yang dilakukan lembaga yang kredibel, hanya ditandingi satu partai lain, PDI Perjuangan.

ARB bahkan berhasil membuat Partai Golkar menetapkannya sebagai calon presiden pada Juni tahun lalu. Tim sukses telah dibentuk dan kegiatan promosi pun sudah dimulai. Iklan di berbagai media telah ditayangkan. Ibarat rencana bisnis, produk sudah dibuat dan kini gencar dipasarkan.

Hasilnya? Berbagai jajak pendapat menyimpulkan keterpilihannya masih rendah—jauh lebih rendah ketimbang Prabowo Subianto, yang dicalonkan Partai Gerindra. Mungkin itu karena Prabowo telah melakukan upaya promosi di media lebih awal dan lebih rajin berkunjung ke berbagai daerah pemilihan.

Uniknya, keterpilihan kedua calon yang telah bekerja keras mempromosikan diri itu ternyata masih kalah oleh Joko Widodo. Padahal Gubernur DKI dari PDI Perjuangan ini belum menyatakan diri berminat menjadi kandidat presiden dan partainya memang belum menetapkan calon.

Kondisi itu membuat sebagian pengurus Partai Golkar mengusulkan agar penetapan ARB sebagai calon presiden dikaji ulang. Alasan utamanya adalah peluang terpilihnya amat rendah, bahkan di kalangan pemilih Partai Golkar pun ARB hanya mampu meraih sekitar sepertiga suara untuk mendukung ambisinya menjadi Presiden RI. Gerakan mengkaji ulang yang dimotori Akbar Tandjung ini ingin Partai Golkar mempunyai calon presiden yang lebih berpeluang memenangi pemilihan.

Belum jelas benar apakah upaya Akbar Tandjung dan kawan-kawannya itu akan berhasil. Apalagi budaya Partai Golkar sangat kental bernuansa politik transaksional dan ARB punya modal serta keterampilan yang jauh lebih besar dalam memenangi pertandingan transaksional ini. Walhasil, kemungkinan nama ARB terpampang di surat suara tahun depan tampaknya perlu diperhitungkan.

Layakkah konglomerat seperti ARB dipilih menjadi Presiden RI?

Ada contoh dari Amerika Serikat, yang telah memilih 44 presiden dengan latar belakang yang beragam. Rakyat Amerika pernah memilih dua konglomerat sebagai presiden: Herbert Hoover dan George W. Bush.

Herbert Hoover adalah insinyur pertambangan yang menjadi konglomerat karena kerja keras dan kelihaiannya berbisnis, terutama dalam memimpin perusahaan tambangnya. George W. Bush memulai kariernya sebagai pengusaha minyak dan kemudian menjadi pemilik klub bisbol Texas Rangers, yang menjadikannya jutawan.

Mereka dilantik sebagai penghuni Gedung Putih sehingga beberapa sejarawan Amerika menobatkan mereka dalam kategori "presiden berkinerja terburuk". Rupanya, kemampuan yang diperlukan untuk sukses di medan bisnis amat berbeda, bahkan berlawanan, dengan kemampuan yang diperlukan untuk sukses di dunia politik.

Hal itu juga terjadi di negara lain. Thaksin Shinawatra, konglomerat yang menjadi Perdana Menteri Thailand periode 2001-2006, membuat bangsanya terbelah hingga ia dijatuhkan oleh kudeta militer. Hingga kini dia berstatus buron dan berdiam di luar tanah airnya karena divonis dua tahun penjara untuk pidana korupsi.

Hal serupa terjadi pada Silvio Berlusconi, konglomerat media yang pernah dinobatkan majalah Forbes sebagai orang terkaya ke-194 di dunia. Ia menjadi perdana menteri selama empat periode dengan total masa jabatan sembilan tahun. Pria 77 tahun ini mewariskan ekonomi Italia yang jauh lebih remuk ketimbang sebelum ia berkuasa. Berlusconi divonis empat tahun penjara karena mengemplang pajak.

Contoh dari Italia dan Thailand itu menunjukkan betapa rawannya benturan kepentingan bisnis seorang konglomerat bila ia menjadi pemimpin politik. Godaan memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan bisnis pribadi ternyata begitu dahsyat, apalagi di negeri yang masih berkutat membenahi penyakit kronis korupsi seperti Indonesia.

Maka jelaslah, dengan tetap menghormati hak politik ARB untuk maju mencalonkan diri sebagai presiden, dan dengan penghormatan penuh pada hak setiap orang untuk memilih sesuai dengan hati nurani masing-masing, majalah ini menggunakan hak berpendapatnya bahwa ARB tak layak dipilih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus