MANUSIA pertama turun di bumi Kalimantan menggunakan bahtera
(banama). Dengan apa jasad leluhur di antar ke Lewu Liau (alam
baka)?. Dengan bahtera pula. Begitulah jawaban orang-orang Dayak
Ngaju di jantung Kalimantan yang masih menganut agama
Kaharingan.
Hal ini cukup mengherankan. Mengingat suku ini terutama bermukim
di belantara pulau terbesar di Nusantara, di hulu sungai
Kahayan, Kapuas, dan anak-anaknya. Di sana, alat angkutan yang
paling umum hanyalah sarnpan-sampan .dan perahu-perahu kecil,
yang harus digotong ke pinggir setiap kali perjalan an di sungai
terhambat oleh riam-riam atau batu padas nan tajam dan ganas.
Sedang di tengah-tengah belantara dan hutan perawan, alat
angkutan yang paling jempolan adalah sepasang kaki manusia
sendiri. Sebab kuda memang belum begitu dikenal di pedalaman
sana bahkan istilah bahasa daerah sana untuk kuda memang belum
ada.
Toh kisah-kisah tentang banarna cukup populer dalam tradisi
rakyat. Wanita dan lelaki pertama diturunkan ke bumi
masing-masing dengan menumpang Banama Bulau (bahtera emas) dan
Banama Hintan (bahtera intan). Kemudian, ada kisah-kisah
kepahlawanan panglima-panglima Dayak yang menyusuri
sungai-sungai Kahayan, Kapuas dan Barito dengan bahtera-bahtera
perang mereka, lengkap dengan bala-tentara dan hudak-budak
pendayungnya.
Makanya, perjalanan 'pulang' ke alam atas (Lewu Liau) dalam
kepercayaan Kaharingan juga dilukiskan dengan hahtera. Bahtera
khusus itu, disebut Banama Ruhun & Ciri khususnya, adalah
sandung (rumah-rumahan tempat menyimpan tulang-belulang leluhur)
di bagian depan bahtera. Perjalanan ke alam baka ini perlu juga
dikawal oleh prajurit dan budak-budak. Itu sebabnya dalam
upacara penguburan (tiwah) pada suku Dayak Ngaju zaman dulu, ada
tradisi memotong kepala orang-orang dad suku lain untuk menjadi
pengawal arwah sang panglima dalam perjalanan ke akhirat, serta
penguburan hidup-hidup budak-budak kesayangan sang panglima
untuk tetap melayaninya kelak di sana.
Damag Sailillah
Dengan masuknya agama Kristen dan Islam ke Kalimantan Tengah,
dan justru bermula di daerah Dayak Ngaju itu, cerita-cerita
banama itu pelan-pelan mati. Para juru dakwah dan umatnya saling
bekerjasama menumpas ekspresi seni religius asli yang
serta-merta dicap kafir itu. Untunglah sekitar tahun 1955, ada
seorang Kepala Adat (Damang) di Kualakapuas, yang berusaha
mengatasi erosi identitas itu. Damang Sailillah namanya adalah
seorang seniman Dayak Ngaju yang punya spesialisasi
ukir-mengukir. Dialah orang yang pertama kali mengabadikan
banama-banama dari cerita-cerita rakyat Dayak Ngaju itu dengan
suatu medium baru: getah merah dan getah putih.
Getah merah alias getah nyatu, tadinya hanya disadap oleh orang
Dayak di hulu dari pohon sambun di hutan rimba untuk diekspor
pedagang-pedagang di hilir ke Singapura. Sampai saatnya Damang
Sailillah menemukan teknik pelembutannya dengan air mendidih,
sehingga dapat dicetak atau diukir sekehendak hati. Maka
mulailah Damang dan anak-buahnya di desa Dahirang, Kualakapuas,
mengukir banama-banama Dayak dari getah nyatu itu. Sebagai
variasi, getah sambun itu dikombinasi pula dengan getah pohon
beringin yang berwarna lebih putih tapi lebih rendah
kwalitasnya. Yang lebih keras lagi dan mudah rapuh, adalah getah
jelutung. Bahan ini banyak juga digunakan sebagai bahan baku
tambahan alias campuran dalam pembuatan tongkat atau
burung-burungan Dayak.
Tapi dalam bulan April lalu di rumah Damang Sailillah di desa
Dahirang sudah sebulan lamanya para pengrajin tidak membuat
kerajinan getah. Alasannya? "Banjir di hulu Kapuas rupanya telah
memacetkan pengiriman getah ke hilir. Akibatnya harga getah
meloncat dari Rp 750 menjadi Rp 1500 sekilo. Dan masih untung
kalau bahannya ada", kata seorang anggota pengurus Koperasi
Kerajinan Tamunan Dare yang tinggal di rumah Damang Sailillah.
Padahal 1 kilo getah mentah kalau dibersihkan tinggal 3 kilo
getah murni, yang dalam waktu dua hari bisa dibentuk menjadi dua
bahteta (banama) yang laku dijual seharga Rp 2.000 per buah
ditempat.
Burung Tingang
Bentuk-bentuk banama hasil ukiran anak buah Damang Sailillah
macam-macam, disesuaikan dengan legenda-legenda kejadian
manusia, kematian dan kepahlawanan. Banama tingang misalnya,
adalah bahtera miniatur yang haluan dan buritannya dilengkapi
ukiran kepala dan ekor burung tingang (billhorn alias burung
enggang). Menurut mitologi Kaharingan, burung tingang jantan
alias bungai yang kadang-kadang juga disebut garuda adalah
lambang penguasaan tertinggi alam atas yang bergelar Raja
Tontong Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja
segenap penjuru matahari, pangeran kelengkapan bulan).
Berikutnya yang populer juga adalah banama berukir kepala dan
ekor naga. Naga, dalam mitolcgi Dayak juga disebut tambun,
adalah lambang dewa penguasa alam-bawah yang berkelamin betina
berjulukan Bawin Jata Balawang Bulau (wanita dewata berpintu
emas). Motif naga ini, juga digunakan dalam ukiran banama
ruhung, itu bahtera pengantar arwah ke alam baka. Selanjutnya,
jenis banama yang keempat adalah banama nyahu alias banama
lasang kilat yang di bagian depannya dilengkapi tonggak
penangkal petir. Bahtera ini, mungkin dulunya hanya boleh
dipakai oleh Kepala Adat. Sebab dialah perantara Raja Pali (dewa
kilat atau Batara Indra dalam mitologi Hindu) yang berwenang
menindak anggota-anggota suku yang dianggap mahalau hadat
(melanggar adat) berdasarkan keputusan sidang adat (basarra).
Selain keempat jenis banama itu, anggota koperasi 'Tahunan Dare'
kini juga sudah mahir membuat tongkat getah berukir pendekar
Dayak, burung-burungan dan aneka ragam hiasan dinding dan meja.
Juga ukiran kayu - yang lama ditinggalkan karena dicap "kafir"
pula - sudah ada yang mulai memadunya dengan ukiran getah. Malah
atas pesanan gereja setempat, seorang pengrajin di Dahirang
telah membuat ukiran salib dinding dengan patung Yesus dari
getah nyatu. Juga sandung miniatur dari kayu berukir -- lengkap
dengan belanai (guci tempat menyimpan tulang tengkorak nenek
moyang) - udah dapat diterima sebagai alat dekorasi ruang duduk,
tanpa embel-embel Kaihalingannya. Semuanya itu berkat
pendobrakan Damang Sailillah, seniman ang sering bertukar agama
dan kini bermukim di Palangkaraya selesai mengukir pavilyun
Kalimantan Tengah di TMII, Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini