Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bahtera-bahtera damang sailillah

Manusia pertama, menurut kepercayaan dayak ngaju, turun ke bumi dan kembali ke alam baka. menggunakan bahtera. oleh seniman dayak, cerita bahtera itu, menjadi kerajinan yang menghasilkan uang.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MANUSIA pertama turun di bumi Kalimantan menggunakan bahtera (banama). Dengan apa jasad leluhur di antar ke Lewu Liau (alam baka)?. Dengan bahtera pula. Begitulah jawaban orang-orang Dayak Ngaju di jantung Kalimantan yang masih menganut agama Kaharingan. Hal ini cukup mengherankan. Mengingat suku ini terutama bermukim di belantara pulau terbesar di Nusantara, di hulu sungai Kahayan, Kapuas, dan anak-anaknya. Di sana, alat angkutan yang paling umum hanyalah sarnpan-sampan .dan perahu-perahu kecil, yang harus digotong ke pinggir setiap kali perjalan an di sungai terhambat oleh riam-riam atau batu padas nan tajam dan ganas. Sedang di tengah-tengah belantara dan hutan perawan, alat angkutan yang paling jempolan adalah sepasang kaki manusia sendiri. Sebab kuda memang belum begitu dikenal di pedalaman sana bahkan istilah bahasa daerah sana untuk kuda memang belum ada. Toh kisah-kisah tentang banarna cukup populer dalam tradisi rakyat. Wanita dan lelaki pertama diturunkan ke bumi masing-masing dengan menumpang Banama Bulau (bahtera emas) dan Banama Hintan (bahtera intan). Kemudian, ada kisah-kisah kepahlawanan panglima-panglima Dayak yang menyusuri sungai-sungai Kahayan, Kapuas dan Barito dengan bahtera-bahtera perang mereka, lengkap dengan bala-tentara dan hudak-budak pendayungnya. Makanya, perjalanan 'pulang' ke alam atas (Lewu Liau) dalam kepercayaan Kaharingan juga dilukiskan dengan hahtera. Bahtera khusus itu, disebut Banama Ruhun & Ciri khususnya, adalah sandung (rumah-rumahan tempat menyimpan tulang-belulang leluhur) di bagian depan bahtera. Perjalanan ke alam baka ini perlu juga dikawal oleh prajurit dan budak-budak. Itu sebabnya dalam upacara penguburan (tiwah) pada suku Dayak Ngaju zaman dulu, ada tradisi memotong kepala orang-orang dad suku lain untuk menjadi pengawal arwah sang panglima dalam perjalanan ke akhirat, serta penguburan hidup-hidup budak-budak kesayangan sang panglima untuk tetap melayaninya kelak di sana. Damag Sailillah Dengan masuknya agama Kristen dan Islam ke Kalimantan Tengah, dan justru bermula di daerah Dayak Ngaju itu, cerita-cerita banama itu pelan-pelan mati. Para juru dakwah dan umatnya saling bekerjasama menumpas ekspresi seni religius asli yang serta-merta dicap kafir itu. Untunglah sekitar tahun 1955, ada seorang Kepala Adat (Damang) di Kualakapuas, yang berusaha mengatasi erosi identitas itu. Damang Sailillah namanya adalah seorang seniman Dayak Ngaju yang punya spesialisasi ukir-mengukir. Dialah orang yang pertama kali mengabadikan banama-banama dari cerita-cerita rakyat Dayak Ngaju itu dengan suatu medium baru: getah merah dan getah putih. Getah merah alias getah nyatu, tadinya hanya disadap oleh orang Dayak di hulu dari pohon sambun di hutan rimba untuk diekspor pedagang-pedagang di hilir ke Singapura. Sampai saatnya Damang Sailillah menemukan teknik pelembutannya dengan air mendidih, sehingga dapat dicetak atau diukir sekehendak hati. Maka mulailah Damang dan anak-buahnya di desa Dahirang, Kualakapuas, mengukir banama-banama Dayak dari getah nyatu itu. Sebagai variasi, getah sambun itu dikombinasi pula dengan getah pohon beringin yang berwarna lebih putih tapi lebih rendah kwalitasnya. Yang lebih keras lagi dan mudah rapuh, adalah getah jelutung. Bahan ini banyak juga digunakan sebagai bahan baku tambahan alias campuran dalam pembuatan tongkat atau burung-burungan Dayak. Tapi dalam bulan April lalu di rumah Damang Sailillah di desa Dahirang sudah sebulan lamanya para pengrajin tidak membuat kerajinan getah. Alasannya? "Banjir di hulu Kapuas rupanya telah memacetkan pengiriman getah ke hilir. Akibatnya harga getah meloncat dari Rp 750 menjadi Rp 1500 sekilo. Dan masih untung kalau bahannya ada", kata seorang anggota pengurus Koperasi Kerajinan Tamunan Dare yang tinggal di rumah Damang Sailillah. Padahal 1 kilo getah mentah kalau dibersihkan tinggal 3 kilo getah murni, yang dalam waktu dua hari bisa dibentuk menjadi dua bahteta (banama) yang laku dijual seharga Rp 2.000 per buah ditempat. Burung Tingang Bentuk-bentuk banama hasil ukiran anak buah Damang Sailillah macam-macam, disesuaikan dengan legenda-legenda kejadian manusia, kematian dan kepahlawanan. Banama tingang misalnya, adalah bahtera miniatur yang haluan dan buritannya dilengkapi ukiran kepala dan ekor burung tingang (billhorn alias burung enggang). Menurut mitologi Kaharingan, burung tingang jantan alias bungai yang kadang-kadang juga disebut garuda adalah lambang penguasaan tertinggi alam atas yang bergelar Raja Tontong Matanandau, Kanarohan Tambing Kabanteran Bulan (Raja segenap penjuru matahari, pangeran kelengkapan bulan). Berikutnya yang populer juga adalah banama berukir kepala dan ekor naga. Naga, dalam mitolcgi Dayak juga disebut tambun, adalah lambang dewa penguasa alam-bawah yang berkelamin betina berjulukan Bawin Jata Balawang Bulau (wanita dewata berpintu emas). Motif naga ini, juga digunakan dalam ukiran banama ruhung, itu bahtera pengantar arwah ke alam baka. Selanjutnya, jenis banama yang keempat adalah banama nyahu alias banama lasang kilat yang di bagian depannya dilengkapi tonggak penangkal petir. Bahtera ini, mungkin dulunya hanya boleh dipakai oleh Kepala Adat. Sebab dialah perantara Raja Pali (dewa kilat atau Batara Indra dalam mitologi Hindu) yang berwenang menindak anggota-anggota suku yang dianggap mahalau hadat (melanggar adat) berdasarkan keputusan sidang adat (basarra). Selain keempat jenis banama itu, anggota koperasi 'Tahunan Dare' kini juga sudah mahir membuat tongkat getah berukir pendekar Dayak, burung-burungan dan aneka ragam hiasan dinding dan meja. Juga ukiran kayu - yang lama ditinggalkan karena dicap "kafir" pula - sudah ada yang mulai memadunya dengan ukiran getah. Malah atas pesanan gereja setempat, seorang pengrajin di Dahirang telah membuat ukiran salib dinding dengan patung Yesus dari getah nyatu. Juga sandung miniatur dari kayu berukir -- lengkap dengan belanai (guci tempat menyimpan tulang tengkorak nenek moyang) - udah dapat diterima sebagai alat dekorasi ruang duduk, tanpa embel-embel Kaihalingannya. Semuanya itu berkat pendobrakan Damang Sailillah, seniman ang sering bertukar agama dan kini bermukim di Palangkaraya selesai mengukir pavilyun Kalimantan Tengah di TMII, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus