Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tiada Kuda Hitam, Tiada Kambing ...

Secara kuantitatif, pemilih di Jakarta bertambah pada pemilu th 1977. Kebanyakan para pemilih baru adalah pemuda, tak heran PPP mendapat tambahan 78%. Tak perlu mencari kambing hitam.

21 Mei 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SOAL hasil pemilu 77 di Jakarta. Beberapa kali teman bertanya dan minta saya bikin analisa. Sebagai juru perangkaan, apa yang bisa saya kerjakan selain mengotak-atik angka hasil penghitungan suara? Apalagi hasil ini sebenarnya toh sudah diramal banyak orang. Dan ramalan itu banyak miripnya dengan kenyataan. Sepertinya semua sudah diduga. Tidak ada kuda hitam atau kuda putih muncul di arena pemilu di Jakarta minggu lalu. Tetapi baiklah, permainan angka saya ini barangkali dapat membantu meredakan teka-teki, rasa gemas atau gegetun yang tidak perlu. Apalagi kalau lantas mencari-cari karnbing hitarn. Salah-salah pemilu yang sukses ini bisa jadi ruwet. Sebab kambing hitam enak sekali disate. Analisa Kwantitatip Sampai tulisan ini diturunkan, sudah lebih dari 97% suara dari TPS di Jakarta berhasil dihitung. Perbandingan hasil pemilu 1977 dan 1971 adalah seperti berikut: (angka untuk DPRD, dibulatkan dalam ribuan): *** 1977 1971 kenaikan ================================================================= P.P.P 1.070 679 391 Golkar 947 904 43 P.D.I. 422 355 67 Jumlah 2.439 1.938 501 Pemilih terdaftar 2.820 2.222 598 Yang nyoblos tahun ini terdiri dari pemilih lama (1971) dan pemilih baru. Pemilih lama, selama lima tahun ini tentu ada yang mati. Dari 2.222 ribu itu saya taksir dengan bim salabim yang mati kira-kira 175 ribu. Jadi sisanya tinggal 2.047 ribu pemilih. Pemilih baru sebanyak 774 ribu orang yaitu pemilih yang terdaftar sekarang dikurangi pemilih lama yang masih hidup. Pemilih baru ini terdiri dari dua kelompok. Pertama, penduduk Jakarta yang pada tahun 1971 berumur 12 - 16 tahun, sekarang menjadi 17 - 21 tahun dan punya hak pilih untuk pertama kali. Berdasarkan sensus mereka ini ditaksir ada sebanyak 530 ribu orang. Kedua, pendatang baru dari daerah lain dan sudah menjadi penduduk Jakarta selama lima tahun terakhir serta sudah berumur 17 tahun ke atas. Jumlahnya 244 ribu orang, yaitu semua pemilih baru dikurangi 530 ribu. Angka ini relatip kecil, karena sebagian besar mereka masih lebih senang nyoblos di kampung halamannya. Kebanyakan Muda Tetapi di antara pendatang uni pun, menurut sensus kira-kira 41% nya atau 100 ribu berumur antara 17 - 25 tahun. Jadi pemudalah. Dengan gambaran pemilih baru yang kebanyakan (80%) muda itu, bisa ditebak kenapa dari tambahan pemilih ini, PPP mendapat 78,0%, Golkar 8,6% dan PDI 13,4%. Cocok seperti perhitungan sementara pimpinan kontestan, wasit yang jeli dan pers jujur yang mengamati anak-anak muda ini mengumandangkan pilihan yang mau dicoblos sejak sebelum hari pemungutan suara. Yang lebih menarik ialah bahwa imbangan suara Parpol Golkar (78% - 22%) di antara pemilih baru yang muda itu, bagaikan pantulan karma di cermin, dibanding dengan imbangan pemilih Golkar-Parpol di TPS di sekitar kantor. Cuma: refleksi cermin tangan kiri jadi tanan kanan. Skenario ini dengan anggapan, pergeseran di antara pemilih lama tidak seberapa. Jadi mereka kebanyakan tidak mencla-menclelah. Anggapan ini boleh dipercaya, boleh tidak. Sebab di Amerika pun banyak orang percaya, bagian terbesar pemilih akan ikut saja apa kata kakeknya. Kalau dari sononya Demokrat, ya besar kemungkinan selamanya, malah keturunannya jadi Demokrat. Kalau Republik, ya lepublik. Sehingga peranan bahagian kecil rakyat yang rajin nguping, punya waktu untuk berfikir dan peduli tentang pilihannya dalam pemilu secara kritis, jadi sangat menentukan. Kalau mau skenario yang lebih cermat, bisa saja. Cuma mesti lebih banyak angka terperinci (perbandingan perkelurahan, kelompok sosial dan lain-lain) dan atau banyak praanggapan. Saya sekarang belum punya banyak angka dan tidak berani banyak-banyak bikin praanggapan. Analisa Kwalitatip Tetapi kawan-kawan saya yang sok politico biasanya kurang puas dengan santapan angka-angka yang bikin pusing mereka itu. Mereka minta supaya saya membuat santapan yang lebih spekulatip, dengan mereka-reka serba keterbatasan pengetahuan, keterangan. apalagi otoritas. Apa boleh buat, saya terpaksa kutip pendapat orang-orang yang saya anggap masuk di akal. Menurut bekas sekretaris eksekutip komisi pemilu Pilipina, Belen Abreu, penduduk metropolitan itu biasanya lebih ngetop mutu tuntutannya. Sebab tiap hari sudah lihat jalan beraspal, gedung tinggi dibangun, kali diturap, masjid ada di mana-mana, pasar rame, dagangan lengkap dan terjangkau daya beli, listrik, ledeng apa saja. Jadi mereka minta yang lain. Seringkali yang diminta itu sulit dan merepotkan. Misalnya supaya menteri, gubernur dan pejabat negara bisa seperti malaekat. Supaya kebebasan mereka tidak diusik, tidak mau digurui, dikasih pidato, apalagi dipaksa. Supaya omongan dan tingkah laku penggede diatur terus. Padahal penggede itu juga manusia yang di samping punya otak juga punya hati dan perut. Kebanyakan rakyat tidak mau mengerti bahwa penggedenya itu adalah produk dan cermin dari tatanan masyarakatnya. Karena itu, orang kota besar, khususnya kaum mudanya, cenderung mengambil sikap sebagai oposisi (opositional). Lain lagi dengan komentar sejarawan politik kita dari LEKNAS, Bung Taufik Abdullah. Ia punya formula buat Jakarta. Banyaknya suara yang diberikan untuk tiap kontestan, berbanding lurus dengan arus publisitas bagi masing-masing mereka baik publisitas makian, pujian, maupun gontokannya. Soalnya bagi masyarakat Jakarta yang sudah sangat luas jangkauan yang bisa dicapai media massa, publisitas itu pentingnya bukan main. Di Ibukota sebagian terbesar rakyatnya baca koran, dengar radio, menonton TV, mendengarkan kuliah subuh, khotbah dan selalu dapat kabar dan berita dari tetangga. Formula kedua, ampuhnya penyampaian pesan tidak semata-mata ditentukan oleh isinya (positip atau negatip), tetapi lebih-lebih pada berapa sering, berapa intensip pesan itu dijejalkan di benak pendengar atau pembaca. Ingat falsafah iklan. Setelah mengamati suasana masa kampanye ternyata pesan itu disampaikannya seperti gayung bersambut, kata terjawab. Rakyat Jakarta jadi bertambah asyik dibikin seperti nonton dongeng Bang Jahit saja. Tetapi barangkali secara tak sengaja, pesan bersambut itu ternyata tak seimbang kadar publisitasnya untuk masing-masing kontestan. Siapa yang paling banyak diteriaki, meneriaki, diprotes, memprotes silih berganti oleh wasit, oleh kontestan lain dan oleh pemuda dan mahasiswa itu dia yang untung. Belum berita gontokannya. Semua secara cerdik, rangkaian pesan itu dioleh menjadi sangat bermutu berita, sehingga dapat merenggut ruang dan waktu media massa secara murah dan efektif. Nah, terserah! Masih ada satu lagi pendapat. Dari isteri teman saya. Banyak di antara orang Jakarta itu kan seperti penonton yang berada di dalam panggung, di balik layar, katanya. Sebelum pemain keluar di arena, dengan dandanan dan peran yang dilakukan, penonton di panggung itu sudah tahu aslinya sang wayang. Mereka tahu pemain yang berpanu, bopeng, ompong atau bengek. Juga tahu berapa utangnya di tukang rokok, walaupun ia main Gatutkaca. Mereka juga suka dengar (overheard) sutradara menyusun lakon. Karena itu, kalau mereka tahu pemain sumbang yang tidak disukai untuk sesuatu peran, sang penonton macam ini, maunya ingin mengganti saja itu pemain. Padahal calon penggantinya masih di luar panggung dan belum tentu lebih baik dari si sumbang. Tetapi karena diberi hak suara, merekapun memilihlah. Sementara itu banyak juga penonton dalam panggung yang lebih suka memperhatikan gubahan cerita, lelucon dan merdu tembang pemain. Peduli amat urusan bisulnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus