Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Banjir mulai menghampiri sebagian wilayah Jakarta, terutama area di bantaran Sungai Ciliwung dan Kali Krukut. Upaya mengatasi banjir di dua sungai yang melintasi Jakarta itu bukan tak ada. Salah satunya pembuatan sodetan antara Sungai Ciliwung dan Kanal Banjir Timur. Namun pembangunan itu mengalami kendala pembebasan lahan. Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama bertekad membereskan masalah banjir. Demikian juga Gubernur Ali Sadikin, seperti ditulis di majalah Tempo edisi 3 April 1971.
Hujan yang menyiram Jakarta hari Minggu itu tidaklah seberapa. Tapi, pada Senin pagi, dari jendela pesawat terbang kelihatan rumah-rumah seperti kotak geretan yang terapung di atas kolam. Itu di beberapa tempat. Hari berikutnya semacam air melimpah dari Kali Krukut, menyerbu rumah penduduk dan mencapai rekor tinggi hampir dua meter. "Pintu rumah kami ketutup air," ujar seorang gadis. Sekitar pukul delapan malam, ia telah mengungsi ke rumah tetangga yang lebih kering. Tapi, semakin larut malam, air semakin merajalela. Bagi penduduk sepanjang tepi Kali Krukut, menginapnya air di rumah mereka selama satu malam sungguh di luar dugaan.
Tapi tidak bagi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jaya. "Bukan di luar dugaan," kata Ir G. Panjaitan, Wakil Kepala II DPU. Sambil menarik napas dalam-dalam, matanya dilayangkan ke peta yang menggambarkan aliran-aliran kali di seluruh Jakarta. Panjaitan mencoba menjelaskan mengapa bukan di luar dugaan, melainkan mengapa pula banjir tidak bisa dicegah. "Volume air dari Bogor memang melampaui ukuran normal, 186 meter kubik per detik, padahal angka normal di bawah 100, minimal sekitar 50 meter kubik per detik."
"Lebih dari 100 meter kubik itu berarti berbahaya, 180 meter kubik kritislah," ujar Panjaitan, yang tidak bisa menyembunyikan dialek Medannya. Lalu, "Waktu banjir itu air sampai 186 meter kubik per detik. Maka tanggul-tanggul pun bobollah." Yang dimaksud bobol ialah bahwa air melampaui ketinggian tanggul. Dalam kegawatan seperti ini, Gubernur Ali Sadikin telah bertindak sebagai mandor pintu air, sedangkan Wakil Gubernur Wiriadinata bertindak selaku mandor tanggul.
Begitu besar kesibukan yang ditimbulkan oleh air dari Bogor yang melampaui ukuran normal itu, sehingga M. Mudakir BE, Kepala Humas Proyek Pengendalian Banjir Jakarta (Projaya), menciptakan satu istilah tersendiri. "Banjir di Jakarta ini adalah banjir kiriman," ia berkata. "Artinya, banjir yang disebabkan oleh air yang datang dari luar Jakarta, karena daerah luar Jakarta itu mengalami hujan." Jakarta bisa mengalami banjir oleh dua sebab: dari hujan di kota sendiri dan yang datang dari luar kota.
Oleh Panjaitan dijelaskan bahwa sampai di pintu air Manggarai, air Bogor disalurkan ke Kanal Banjir Barat 166 meter kubik dan ke Kali Ciliwung lama 20 meter kubik. Tapi, apa mau dikata, Kanal Banjir juga masih harus menampung air yang datang dari Kebayoran lewat Kali Krukut. Karena itu, volume air Kanal Banjir bertambah besar sehingga tidak tertahan, lalu melimpah sampai jauh. Dan, tanpa permisi, air sekonyong-konyong menginap begitu saja di rumah penduduk yang berdiam di kedua tepi kali.
Tentang air yang menginap, Mudakir berkata, "Salah penduduk sendiri. Mereka membangun rumah di tepi kali atau bahkan di dalam kali. Ketika kali kering memang rumah tidak tergenang. Tapi, kalau banjir datang, dengan sendirinya tergenang. Sedangkan air yang meluap adalah wajar, karena memang saluran air itu tertutup. Pencegahannya memerlukan perencanaan dan pelaksanaan yang memakan waktu dan uang."
Makro dan mikro. Jadi soalnya masih sekitar uang. Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik Ir Sutami, yang rupanya kesal karena departemennya selalu dijadikan kambing hitam, menjelaskan kepada pers bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1953, tugas penjagaan dan pengamanan banjir di Pulau Jawa diserahkan ke pemerintah daerah. Departemen hanya menyediakan biaya. Untuk 1970-1971, kepada Jakarta Raya telah diserahkan Rp 200 juta. Karena toh terjadi banjir, untuk keperluan perbaikan tanggul dan saluran didrop lagi Rp 335 juta. Sedangkan untuk periode 1971-1972, Jakarta akan mendapat bantuan lebih besar, yakni Rp 350 juta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo