Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IKTIKAD memberantas mafia migas terdengar kembali—secercah kabar baik dari pemerintah Presiden Joko Widodo. Apalagi kalau kelak Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Amien Sunaryadi dan Ketua Tim Reformasi Tata Kelola Migas Faisal Basri berhasil membebaskan, setidaknya meminimalkan, kerugian negara akibat mafia itu. Keduanya selama ini dikenal sebagai figur antikorupsi.
Korupsi pada bisnis sebesar minyak dan gas mustahil dilakukan satu-dua orang. SKK Migas, sebagai contoh, menangani penjualan minyak dan gas negara setiap tahun lebih-kurang Rp 300 triliun. Angka itu belum termasuk cost recovery sekitar Rp 100 triliun. Kejahatan pada bisnis migas pasti melibatkan komplotan yang bekerja tali-temali. Selama ini, mafia itu terkesan dibiarkan menjadi "wujud" misterius dan tak terjamah hukum. Tidak terlihat usaha sungguh-sungguh pemerintah untuk mengungkap, apalagi menghentikan, sepak terjangnya.
Dahlan Iskan, Menteri Badan Usaha Milik Negara dalam kabinet Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pernah berbicara tentang pembubaran Petral—Pertamina Energy Trading Limited—yang diduga salah satu sarang penyelewengan impor minyak. Tapi usaha Dahlan berhenti pada wacana. Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa setuju Petral diaudit, bukan dibubarkan.
Keengganan pemerintah menyentuh permafiaan itu menimbulkan syak wasangka: jangan-jangan ada "tangan" pemerintah yang terlibat. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Jero Wacik, September lalu, memang ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka korupsi pengadaan proyek di kementeriannya, tapi masih terlalu dini mengaitkan Wacik dengan mafia migas. Kasus Rudi Rubiandini, bekas Kepala SKK Migas yang April lalu divonis penjara tujuh tahun, lebih "dekat" sangkutannya dengan mafia migas itu. Dia menerima miliaran rupiah dari PT Kernel Oil Singapura dan Fossus Energy. Penelusuran lebih lanjut kasus Rudi pasti banyak gunanya untuk menguak pola kerja mafia migas itu.
Mafia tak hanya malang melintang di sektor penjualan, tapi juga dalam pembelian minyak dari luar negeri. Kasus impor minyak Zapati, yang terjadi pada 2009 ketika Ari Soemarno menjadi Direktur Utama Pertamina, merupakan salah satu buktinya. Toh, mafia migas hanya seperti bayangan. "Sosok"-nya diukur para pengamat dengan memprediksi kerugian negara. Ditaksir negara rugi Rp 25-50 triliun setahun. Tim Reformasi Tata Kelola Migas mesti menguak lebih pasti kerugian negara akibat ulah "kongsi hitam" minyak itu.
Dengan lingkup kerja begitu luas, Tim Reformasi pada dasarnya melakukan audit proses bisnis industri migas Indonesia. Selain meninjau ulang perizinan dari hulu ke hilir, Tim akan mengusulkan penataan ulang kelembagaan migas. Tim juga membedah Undang-Undang Migas dan—ini yang terpenting—merekomendasikan revisi proses bisnis untuk menangkal aksi barisan pemburu rente. Tindak lanjut rekomendasi itu merupakan salah satu kunci perbaikan industri migas. Dan itu banyak bergantung pada SKK Migas. Perombakan postur regulator industri migas itu, seperti dijanjikan kepala barunya, Amien Sunaryadi, merupakan keharusan.
Selain soal mafia migas, kerja Menteri Energi Sudirman Said masih bertumpuk. Ia perlu membenahi kilang Pertamina yang tak efisien, memperbanyak cadangan konsumsi minyak dalam negeri, juga menyiapkan infrastruktur industri gas. Bukan tugas ringan, tentu. Tapi para pejabat baru itu wajib menjawab harapan orang banyak. Ingatlah, rakyat sudah berkorban menanggung kenaikan harga bahan bakar minyak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo