Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Politik-Bisnis Surya Paloh

24 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEMAMPUAN membaurkan politik dan bisnis membuat Surya Paloh perkasa berselancar melewati pergantian rezim demi rezim. Tumbuh dan besar dalam naungan keluarga penguasa Orde Baru, semakin kuat pada periode setelahnya, kini kukuh di belakang pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Surya membangun bisnisnya dengan konek­si lingkaran Bambang Trihatmodjo, anak ketiga Soeharto. Mereka aktif di Forum Komunikasi Putra-Putri Purnawirawan Indonesia atawa FKPPI dan Golongan Karya, yang secara politik sangat berpengaruh pada zaman Orde Baru. Kongsi bisnis kelompok ini menghasilkan, antara lain, stasiun televisi Metro, yang kelak membantu jalan politik Surya.

Ketika rezim otoriter itu tumbang, sembari terus menjaga lobi dengan pemerintah baru, Surya memperkokoh niaganya melalui pembelian aset-aset murah dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Ia menguasai rupa-rupa properti dari transaksi dengan lembaga yang dibentuk untuk mengelola aset bank-bank sakit itu.

Pada 2004, ketika Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla memenangi pemilihan presiden dan wakil presiden, Surya berada dalam barisan awal politikus Golkar yang mendukung pasangan itu. Kolega-kolega separtainya ketika itu masih memihak Megawati Soekarnoputri, pesaing Yudhoyono dalam pemilihan. Bersama Aburizal Bakrie, Surya menopang pencalonan Jusuf Kalla menjadi Ketua Umum Golkar sekaligus menarik partai ini ke koalisi pemerintah. Bisnis Surya semakin kuat pada periode itu, antara lain dengan memperluas penguasaan minyak dan batu bara.

Kongsi politik itu pecah lima tahun kemudian, ketika Aburizal memimpin Golkar. Surya meninggalkan partai beringin, lalu mendirikan organisasi kemasyarakatan, Nasional Demokrat, yang kemudian bersalin rupa menjadi Partai NasDem. Dengan bantuan pemberitaan dan pariwara di stasiun televisi miliknya, Surya membawa partai itu meraih 6,72 persen suara pemilihan legislatif.

Ia kemudian membaca politik dengan sangat tepat: berkoalisi dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, mendukung Jokowi-Kalla pada pemilihan presiden. Dengan mantra "berkoalisi tanpa syarat", NasDem tidak terang-terangan meminta jatah posisi di kabinet. Mereka "seolah-olah" hanya bekerja keras—lebih keras daripada PDI Perjuangan, menurut sejumlah analis—mengumpulkan suara untuk Jokowi-Kalla.

Langkah bisnis Surya justru lebih cepat. Sebelum Jokowi resmi memerintah, ia membawa kolega lamanya: Sam Pa alias Ghui Ka Leung. Bersama pebisnis dari Cina itu—menurut investigasi sejumlah media internasional banyak terlibat dalam kegiatan ilegal di Afrika—ia membicarakan peluang impor minyak dari perusahaan Angola, Sonangol. Berkali-kali bertemu dengan Jokowi di rumah dinas Gubernur DKI, mereka juga membicarakan peluang investasi di sektor lain, termasuk infrastruktur.

Tawaran Surya dan Sam Pa cukup mengena: impor minyak dari Sonangol berpotensi menghemat pengeluaran pemerintah Rp 12 triliun per tahun. Penghematan merupakan isu utama Jokowi. Tak aneh, gubernur yang kemudian naik menjadi presiden ini menyetujui proposal Surya. Dua hari setelah melantik kabinetnya, Jokowi, di Istana Kepresidenan, menerima Wakil Presiden Angola Manuel Domingos Vicente, yang sekaligus Chief Execu­tive Officer Sonangol.

Surya kemudian juga memanen investasi politiknya. Jokowi memberi tempat yang layak bagi NasDem: tiga kursi penting di Kabinet Kerja, yakni Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Menteri Agraria dan Tata Ruang, serta Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Mungkin tak hanya kebetulan jika dua posisi terakhir banyak berhubungan dengan bisnis Surya di pertambangan batu bara, perkebunan sawit, properti, juga pertanahan.

Jokowi memberi satu kursi lain untuk NasDem, pekan lalu, dengan menunjuk Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Mantan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum yang terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat 2014-2019 itu merupakan calon yang disorongkan Surya. Betapa hormatnya, Prasetyo dua kali menghadap Surya pada hari pelantikannya, Jumat pekan lalu.

Sejauh ini, belum terlihat pelanggaran aturan dari politik-bisnis Surya di sekitar Jokowi. Namun Presiden semestinya memastikan posisi-posisi yang diperoleh partai Surya tidak menimbulkan benturan kepentingan. Ia harus mengawasi dengan ketat agar kementerian-kementerian yang dipimpin politikus NasDem tidak memberikan perlakuan istimewa bagi kepentingan bisnis Surya. Juga Jaksa Agung harus dijauhkan dari intervensinya.

Dalam hal ini, Presiden sepatutnya memiliki pembantu yang cakap di Istana guna mencegah masuknya aneka kepentingan ke urusan pemerintahan. Lembaga kepresidenan, seperti yang ia janjikan, kelak harus mampu mengontrol potensi penyelewengan sekecil apa pun di setiap kementerian. Tak terkecuali kepentingan bisnis dan politik Surya Paloh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus