Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Surat Pembaca

Bantahan hindu kaharingan

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam awal tulisan "Gadut, Tumbal Tiwah" (TEMPO, 5 Januari 1991, Kriminalitas) tertulis, "Pembunuhan khas Dayak kembali muncul menjelang upacara Tiwah. Kepala berharga Rp 1,5 juta plus 50 gram mas itu dikuliti." Tulisan tersebut, yang menyangkut upacara Tiwah, sangat merugikan umat Hindu Kaharingan. Juga, telah timbul keresahan di kalangan pemimpin Hindu Kaharingan karena sangat menyinggung perasaan dan mengandung penghinaan dan fitnahan terhadap acara Keagamaan yang mereka sucikan dan junjung tinggi. Untuk itu, kami dari Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan perlu meluruskan informasi menyangkut upacara keagamaan Tiwah tersebut, sebagai berikut: 1. Upacara Tiwah merupakan upacara keagamaan Hindu Kaharingan yang sakral, yakni pelaksanaan upacara kematian tingkat yang terakhir. Upacara itu nengandung nilai dan tujuan hidup tertinggi, baik bagi mereka yang telah meninggal untuk mencapai kesempurnaan rohani dan moksa (Lewu Tatau Je Dia Rumpang Tulang, Rundung Raja Isen Kamalesu Uhat), maupun bagi manusia yang hidup untuk membangun kehidupan di dunia yang lebih baik, sejahtera, bahagia, dan aman atau "jagathita" (Belum panju-panju, Tatau-sanag, Ureh-ngalawan, Kilau Bulan Matanandau, tanggeran Lewu Mandareh danum, tingkah bintang patendu langit tangkilik Rundung hapamantai Menteng sintel kilau karangan danum, ureh ngalawan kilau asang suhun danum, belum papanjewung kilau pisang tanggan tarung, Raja manggigi tingkah ampah lawang baun andau). Kematian salah seorang anggota keluarga bagi umat Hindu Kaharingan, menimbulkan Pali dan Rutas, atau pantang-pantangan. Pali bagi keluarga yang masih hidup, dan barutas bagi alam lingkungan tempat manusia hidup. Keduanya merupakan hambatan untuk mencapai moksa dan "jagathita". Untuk membebaskan diri dari "pali" dan "rutas" tersebut, maka dilaksanakanlah upacara Tiwah. Dengan upacara Tiwah ini, maka: a. Manusia yang telah meninggal bebas dari "pali", yang diperbuatnya sewaktu masih hidup. b. Bagi keluarga yang masih hidup, bebas dari pali-belum dan barutas. c. Bagi alam lingkungan tempat manusia itu hidup, bebas dari "pali" dan "barutas", dan selanjutnya akan memberikan kehidupan yang lebih baik dan lestari. ("Barutas" artinya segala perbuatan kita selalu mendapat gangguan, hati kita selalu merasa waswas, dan tidak menghasilkan nilai-nilai yang kita harapkan). 2. "Upacara kematian" bagi umat Hindu Kaharingan, terdiri atas: a. Tingkat pertama, yaitu upacara penguburan. b. Tingkat kedua, yaitu upacara Tantulak Ambun Rutas Matei. c. Tingkat ketiga, yaitu upacara Tiwah. Pada pelaksanaan upacara Tiwah, tulang-tulang mereka yang telah meninggal diupacarai: diambil dari kuburan, disucikan/dibakar, dan kemudian disimpan dalam "sandung" melalui upacara Ngakean. Melalui upacara inilah, tulang-tulang mereka yang telah meninggal dibawa kembali ke lingkungan keluarganya karena telah bebas dari hukum "pali" dan "barutas". 3. Selama dilakukan kegiatan upacara, dilarang membuat huruhara, pertengkaran, perkelahian, perzinaan, dan pembunuhan terhadap manusia. Bagi mereka yang melanggar itu dikenakan sanksi yang berat, antara lain membayar denda dua kali lipat segala biaya upacara dan sanksi-sanksi lainnya. Bila terjadi pembunuhan, yang ceritanya selalu dikaitkan dengan Tiwah, itu adalah keterangan dari orang-orang yang tidak mengerti ajaran agama Kaharingan. Atau, ada tendensi lain dari orang-orang tak bertanggung jawab untuk menyudutkan penganut Kaharingan. Itu adalah sisa-sisa dari zaman kolonial, sebagai alat ampuh untuk memecah belah dan memurtadkan iman umat Kaharingan. Dengan cerita itu, mereka menakut-nakuti supaya pelaksanaan upacara keagamaan yang suci itu selalu dicurigai. 4. Dari keterangan di atas, tulisan di majalah TEMPO yang menyebutkan bahwa tanpa kepala segar Tiwah tidak sah dan diyakini bukan dosa, adalah tidak benar. Itu adalah fitnahan belaka, dan bertentangan dengan arti upacara Tiwah itu sendiri. Juga dalam pengalaman hidup umat Hindu Kaharingan, sejak dulu kala sampai sekarang, suku Dayak pada umumnya tidak pernah minum tuak bercawan tengkorak manusia atau kerbau, apalagi dalam upacara Tiwah. Suku Dayak adalah suku bangsa kita yang beradab dan berbudaya tinggi, jauh dari apa yang dituduhkan itu. Memang, ada kebiasaan minum dengan menggunakan cawan yang dibuat dari tanduk kerbau yang telah dibersihkan, tapi itu tak ada kaitannya dengan Tiwah atau keyakinan agama tertentu. Demikianlah tanggapan kami, agar tulisan yang tidak benar bisa diluruskan, sehingga masyarakat pembaca TEMPO pada khususnya atau bangsa Indonesia pada umumnya bisa memahaminya. Dan, tidak perlu takut menghadiri upacara Tiwah- upacara keagamaan Hindu Kaharingan. LEWIS. KDR, B.B.A. Ketua Umum Majelis Besar Agama Hindu Kaharingan Jalan Tambun Bungai No. 5 Palangkaraya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus