IRAMA Melayu berkumandang. Kemudian muncul peragawati-peragawati
Nany, Dhany, Ria Saha dan Ria Juwita berbaju kurung putih, merah
muda, kuning dan ungu, terbuat dari sutera impor. Para
peragawati itu tampak sulit berjalan. Mungkin karena kain yang
dipakai sarat diperada benang emas penuh.
Dari keempat kain untuk stelan baju kurung, dua dirancang dari
motif kain Palembang yang dibatik, kemudian diperada. Dua
lainnya, motif batik, sawunggaling dan nagaraja, juga diperada
emas. Kain-kain itu memang tampak gemerlapan dan hanya cocok
dipakai untuk pesta kenegaraan atau kerajaan.
Kalaupun dijual, karena pembuatannya menelan waktu beberapa
bulan, niscaya hanya diperoleh dengan harga selangit. Dan
sudahlah pasti, kaum bangsawan dari Kerajaan Malaysla terpesona
menyaksikan kain-kain panjang batik perada emas itu. Karena
sekali ini, Iwan Tirta memang diundang Pengerusi dan Ahli-ahli
Jawatankuasa Pengelola Majlis Pemulehan Malaysia (Ketua dan
anggota Panitia Pelaksana Dewan Rehabilitasi Malaysia) untuk
memeriahkan-malam derma 11 Maret lalu di ruang Nirwana, Hotel
Hilton Kualalumpur. Acara ini berkaitan dengan Tahun
Internasional Untuk Cacat PBB. Peragaan percobaannya diadakan di
Hotel Mandarin Jakarta 9 Maret lalu.
Karena di Malaysia banyak orang India, Iwan juga menampilkan
sari. Yaitu melalui batik motif pisang Bali kraton Yogya dan
semen klewer. Terbuat dari sutera halus, panjang sari batik ini
8,20 meter. Walaupun tak dijual, pastilah sari ini berharga
mahal.
Setelah melewati proses mencoba-coba, Iwan Tirta kini mulai
membatik bukan saja di atas mori primissima tapi juga berbagai
bahan baju kelas tinggi. Seperti crepe de chine, satin sutera,
georgette dan kain voile Swiss -- yang banyak digemari
orang-orang kaya.
Batik tulis dari kain-kain halus dan tipis tersebut paling
rendah berharga Rp 35.000/meter -- untuk motif yang sederhana
pembuatannya. Harga demikian bukan karena bahannya harus diimpor
dan ditulis (canting), juga karena bahan yang serba halus dan
tipis itu sulit dibatik.
Kaya dengan motif dan dituangkan di atas bahan baju yang halus
tipis maupun wol, itulah yang menonjol pada karya Iwan Tirta
sekali ini. Tapi ciptaan-ciptaannya untuk baju-baju Barat,
tampak biasa saja. Bahkan hampir-hampir tak bermutu.
Di antara batik yang akan diboyong Iwan ke Kualalumpur, terdapat
juga yang mengambil motif hokokai (Jepang). Sehingga kembang
sakura yang besar-besar seperti pada model puspawarna, sulit
dibedakan dengan bahan baju dari Hawai.
Iwan rupanya juga menggemari gaun-gaun tanpa peramping badan
(korset), serba los, tanpa kupnat dan kalau mungkin, tanpa
pelapis (voering). Karena, katanya, dia beranggapan wanita
sekarang tidak punya waktu membuat atau memakai baju berpotongan
rumit. "Saya cenderung menciptakan baju yang enak dipakai dan
model yang sederhana pula," begitu dia pernah berkata.
Mungkin karena itulah, pada gaungaun panjangnya dalam peragaan
itu, Iwan sering menampilkan dua lembar kain yang dililitkan
begitu saja bagaikan pakaian orang hendak pergi mandi ke
pancuran. Misalnya gaun yang dikenakan peragawati Nani Sakri
dalam motif parang rusak barong seling parang modang. Tapi untuk
model ini, apa boleh buat, tubuh harus langsing semampai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini