TENTULAH Arif Wibisono, Direktur Indonesian Gemeraft tidak
berpikir tentang berbagai tahjul dan chasiat batu-batuan ketika
ia memutuskan untuk banting stir dibidang karir dan mata
pentjaharian. Dia beladjar disatu college di Hongkong tatkala
matanja terpesona memandang batu-batu permata, terutama jade
jang berubah bentuk mendjadi perhiasan dan antik-antik lainnja.
Serta merta ia memutuskan untuk mentjari peruntungan didunia
batu. Sedjak umur belasan tahun Arif sudah berminat kesana tapi
hanja "burung jade dalam sangkarj ade jang dipahat dari batu
tunggal" kiranja jang berhasil memantepkan hatinja. Sekarang
sesudah belasan tahun kemudian, ia sendiri punja gong jang djuga
dipahat dari batu tunggal. Bedanja batu itu bukan jade, tapi
Yaman atau Sulaiman dari keluarga akik jang dalam bahasa permata
dunia dikenal sebagai agate. Warnanja ibarat pelangi, merona
dari putih bening, kekuning-kuningan, kemerah-merahan dan
ketjoklat-tjoklatan. Hampir seluruhnja transparan, tembus
tjahaja. Mutu kristalnja tidak perlu disangsikan lagi. Harganja
apalagi Rp. 200 .000 !
Sunglap. Dan Arif jang tekun tidak kelihatan bangga, walaupun
ia mengakui untuk menemukan batu, orang harus menggali paling
sedikit 200 meter kedalam perut bumi. Bisa sadja habis uang
puluhan ribu untuk gali-menggali, batu jang ditjari tidak
ditemukan. Sesudah itu mulai menggali lagi ditempat lain. Dengan
risiko jang sama. Tetapi sekarang Arif biasa menggali didua
tempat, digunung Delepe (Djawa Tengah) dan gunung Sarwo (Djawa
Timur).
Memang berat djuga pekerdjaan menjunglap batu gunung mendjadi
batu permata. Lebih berat lagi kalau diingat bahwa peralatan
jang dipakai masih sederhana, tidak mekanis. Dan mata-mata
intan, satu-satunja mata pisau jang bisa menjajat batu, ternjata
makin mahal harganja. Tapi kemauan Arif sama keras dengan batu
jang dipahatnja. Karena itu Indonesian Gemeraft djalan terus
sementara permintaan dari dalam dan luar negeri kealamatnja
didjalan Gembong Sawah 43 Surabaja, mulai merupakan satu hal
jang biasa. Pemuntjulannja dipameran permata achir Djuni jang
lalu dalam rangka ulangtahun Djakarta, telah mendapat perhatian
lumajan. Nj. Nani Ali Sadikin pada upatjara pembukaan pameran,
telah pula mengenakan gelang akik jang kalau tidak salah adalah
hasil biptaan Indonesian Gemeraft.
Sarang tawon. Satu podjok dan dua kotak katja besar telah
menampung batu-batu akik asal Surabaja itu, satu penampilan
paling besar dari 9 penampilan jang ikut dalam pameran. Dinding
podjok diisi dengan potongan batu Yaman jang besar dimasukkan
dalam rangka kaju djati berbentuk kemudi kapal. Maka djadilah
lampu dan perhiasan dinding sekaligus. Dekat situ berdiri sebuah
medja djati berbentuk segi 8, permukaannja berlobang-lobang
dalam bolongan segi 8 ketjil-ketjil. Mengingatkan pada sarang
tawon. Dari puluhan bolongan itu memantjar batu akik transparan
kuning muda. Mungkin sekali dari begitu banjak tjiptaan Arif
Wibisono maka medja itu akan dihargai paling mahal, sedang
sebentuk tjintjin ketjil dihargai paling murah. Hanja Rp 500.
Sementara gelang jang semodel dengan gelang jang dikenakan Nani
Sadikin, diluar dugaan berharga Rp 15.000, dan konon banjak
menghias tangan gadis-gadis Surabaja.
CV Tiasky jang djuga menggarap batu-batuan mengikat dan
menggantungkan batu-batu jang sewarna ditatah dalam bentuk
pohon, atau djambangan bunga. Ada djuga keping papan jang
ditaburi berbagai batu warna warni lalu digantung sebagai
perhiasan dinding. Mirip keping papan jang bertabur batu giok
dari Taipeh. Berbeda dengan Indonesian Gemeraft jang menggali
batu-batunja sendiri, maka CV Tiasky sebagian besar membeli
batu-batu permata dari orang lain. Karena itu pula agak terbatas
daja tjiptanja sebab tidak bisa 100% bebas dalam menggunakan
batu jang merupakan bahan baku. Mengenai bahan baku ini, baik
Jack pembantu Ibu Suwadji (pemimpin CV Tiasky) dan Arif Wibisono
berpendapat sama: bahwa bumi Indonesia sangat kaja dengan
batu-batu. Persoalannja bagaimana mengeluarkan dari perut bumi?
Bila nama Tiongkok tidak bisa dipisahkan dari batu giok maka ini
tidak lain karena tradisi dibidang batu permata jang dimiliki
bangsa itu telah berumur puluhan abad, sedang Indonesia baru
sadja mulai. Arif Wibisono, merasa ketinggalan, tidak bisa pula
tergesa-gesa. Ia ingin memindahkan design wajang keatas batu
akik, ia djuga ingin menggunakan tenaga-tenaga designer jang
terdidik. Tapi ia djuga punja keinginan tambahan, karena
kesanggupan modalnja belum memungkinkan: sponsorship, apakah itu
berupa kredit dari bank atau keringanan dalam memasukkan
peralatan untuk sanggarnja.
Asmat diasbak. Sebaliknja F. Spiro, djauhari jang sangat kesohor
di Djakarta, terutama dikalangan tingkat tinggi, tidak perlu
menunggu kesempatan dan nasib baik, karena djustru langganannja
jang harus menunggu. Pesanan untuk menata perhiasan konon datang
kepadanja bertubi-tubi, tapi njonja-njonja harus antri. Spiro
menggunakan banjak tukang, tapi karena seluruh pekerdjaan
dilakukan dengan tangan, maka setiap orang harus bersabar,
Begitu sabarnja mereka, hingga konon ada seorang njonja bangsa
asing jang bersedia menunggu sampai 2 tahun. Apa jang memikat
dari hasil tjiptaan Spiro? Bukan batu permatanja, tapi
keseluruhan designnja. Spiro lebih senang menggunakan batu-batu
Indonesia asli jang tidak terlalu mahal dan tidak sulit pula
mentjarinja. Dalam pameran ini ia menampilkan pula seleranja
jang tadjam terhadap produk asli Indonesia. Mengutip motif-motif
Irian Barat belakangan ini sudah seperti mode dikalangan
tertentu di Djakar-ta, tapi apa jang dilakukan Spiro tidak
sekedar mengutip. Walaupun bahan bakunja tjuma perak, tapi
motif-motif suku Asmat dari Irian Barat jang diabadikannja pada
asbak, merupakan satu hasil tjiptaan jang padu, tjermat dalam
pahatan, berselera dalam pengolahan. Walaupun kalung dan
anting-anting jang djuga ditata menurut motif Irian tidak
seberhasil asbak, tapi sudah dibeli oleh seorang perempuan
asing. Memang mereka lebih tertarik pada karja Spiro daripada
karja Arif Wibisono. Sebab disamping djenis batu, kepadatan
batu, mutu kristal dan warnanja, maka mutu design sama
menentukan nilai sebuah batu permata.
Dan sementara tjewek-tjewek Djakarta tergila-gila pada batu
sintetis atau batu imitasi, pameran batu permata di Taman Ismail
Marzuki jang berlangsung beberapa hari jang lalu
setidak-tidaknja memberi tjorak lain dari lingkaran kehidupan
seorang djauhari seorang perempuan dan sebentuk batu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini