Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Akan tetapi, paling tidak hingga pekan lalu, becak masih terlihat ngetem dan sesekali lalu-lalang di beberapa kawasan Ibu Kota seperti Jalan Gadjah Mada, Hayam Wuruk, Hasyim Ashari, Daan Mogot, bahkan di sekitar kawasan Hotel Indonesia. Padahal, Gubernur Sutiyoso telah menggelar program 100 hari untuk menertibkan becak, yang dicanangkan sejak 25 November tahun lalu. Itu berarti, pada 25 Februari ini becak sudah harus lenyap dari muka bumi Betawi. Tapi tampaknya menyelesaikan urusan becak tak semudah membalik tangan.
Mengapa becak menjadi kontroversi? Pemerintah punya segudang alasan, dari soal mengganggu keindahan kota, lalu lintas, sampai urusan kemanusiaan. Sebaliknya, tukang becak punya argumen yang tak kalah kuat, dari masalah perut sampai hak asasi manusia. Akibatnya, ”perang tanding” antara pemerintah daerah dan tukang becak nyaris tanpa henti.
Bukan sekali ini becak memicu kontroversi, juga tragedi. Goenawan Mohamad pernah menulis Catatan Pinggir yang mengangkat permasalahan becak dengan tajuk, The Death of Sukardal. Yakni kisah tentang seorang tukang becak bernama Sukardal yang mati gantung diri setelah alat pencari nafkahnya disita petugas ketertiban umum (tibum) Kota Bandung, 2 Juli 1986.
Bagaimana pandangan warga Jakarta sendiri—pengguna becak sehari-hari—mengenai kehadiran angkutan itu? Jajak pendapat TEMPO memperlihatkan pendapat masyarakat yang terbelah hampir sama. Jumlah responden yang setuju seimbang dengan mereka yang tidak setuju.
Responden yang setuju becak diizinkan beroperasi di Jakarta terutama beralasan bahwa kehadirannya masih dibutuhkan warga di kawasan pinggiran. Atau, artinya sama dengan mengatakan, ”Becak, silakan minggir dari pusat kota.” Adapun responden yang tidak setuju becak berkeliaran di Ibu Kota berpendapat kendaraan roda tiga itu ikut berperan menyumbang kemacetan. Dan pekerjaan sebagai tukang becak merupakan sesuatu yang tidak manusiawi.
Di antara dua polarisasi pendapat tersebut terpantul setitik harapan di hati responden. Buktinya, hampir semua peserta jajak pendapat menyarankan agar pemerintah daerah menyediakan alternatif pekerjaan lain bagi tukang becak. Sebuah pengakuan bahwa mengayuh si roda tiga bukan pekerjaan layak? Mungkin saja.
Yang jelas, di mata Guru Besar Sosiologi Universitas Indonesia, Sardjono Jatiman, menarik becak memang merupakan pekerjaan yang tidak layak. Walaupun demikian, pemerintah jangan asal melarang. Biarkan saja secara alamiah orang juga menganggapnya pekerjaan yang tak layak. Menurut logika Sardjono, seandainya ekonomi membaik, kemakmuran meningkat, dan lapangan pekerjaan yang lebih layak tersedia, niscaya becak akan lenyap dengan sendirinya. ”Tidak ada kan orang yang bercita-cita jadi tukang becak?” Sardjono menegaskan.
Peraturan Daerah Nomor 11, kata Sardjono, tak perlu dihapus. Hanya, perlu ada perkecualian. Misalnya, meski dilarang beroperasi di jalan protokol, becak bolehlah tetap mencari penumpang di daerah pinggiran. Pemerintah jangan menggunakan alasan tidak manusiawi dan sebagainya hanya untuk menggusur becak. Toh, banyak pekerjaan yang lebih tidak manusiawi ketimbang tukang becak. Kalau becak dianggap bikin ruwet lalu lintas, ya, diatur sama-sama. Sediakanlah becak jalur yang tepat. Kalau melanggar, baru ditilang.
Wicaksono
Apakah Anda setuju becak boleh beroperasi di Jakarta? | |||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||||
Ya, setuju | 53%Tidak | 47% | | Bila Anda setuju, sebutkan alasan Anda? | Becak masih dibutuhkan oleh masyarakat pinggiran | 65% | Hak asasi manusia untuk mencari nafkah | 65% | Becak menyediakan lapangan pekerjaan | 61% | Becak adalah kendaraan bebas polusi | 34% | Dapat dijadikan sebagai salah satu obyek wisata | 15% | | Bila Anda tidak setuju, sebutkan alasan Anda? | Ikut menyumbang kemacetan | 76% | Tidak manusiawi | 64% | Memang sudah dilarang oleh Pemerintah Daerah DKI | 40% | Tidak cocok sebagai sarana transportasi metropolitan | 28% | Mengurangi keindahan kota | 26% | | Menurut Anda, apakah usaha-usaha yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat semacam Urban Poor Consortium di bawah koordinasi Wardah Hafidz untuk membela kepentingan tukang becak patut dilanjutkan? | Ya | 57% | Tidak | 43% | | Menurut Anda, apakah pemerintah perlu menyediakan alternatif pekerjaan lain bagi para tukang becak? | Ya | 96% | Tidak | 4% | | |
---|
Metodologi jajak pendapat ini:
Penelitian ini dilakukan oleh Majalah TEMPO bekerja sama dengan Insight. Pengumpulan data dilakukan terhadap 511 responden di lima wilayah DKI pada 17-19 Januari 1999. Dengan jumlah responden tersebut, tingkat kesalahan penarikan sampel (sampling error) diperkirakan 5 persen. Penarikan sampel dilakukan dengan metode random bertingkat (multistages sampling) dengan unit kelurahan, RT, dan kepala keluarga. Pengumpulan data dilakukan dengan kombinasi antara wawancara tatap muka dan melalui telepon.
MONITOR juga ditayangkan dalam SEPUTAR INDONESIA setiap hari Minggu pukul 18.00 WIB
Independent Market Research
Tel: 5711740-41, 5703844-45 Fax: 5704974
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo