Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemilihan umum parlemen telah membuat penampilan Iran lebih semarak. Menyongsong berlangsungnya pemungutan suara, 18 Februari lalu, jalan-jalan di negeri para mullah itu tidak hanya dipenuhi dengan perempuan berkerudung dan bercadar hitam, tapi juga poster-poster wajah kandidat parlemen dengan warna yang beragam. Sebuah poster raksasa hitam-putih bergambar almarhum Ayatullah Rohullah Khomeini, pemimpin revolusi Islam Iran (1979), yang berwajah serius, bersanding dengan gambar anak-anak muda yang ceria dan full color di sudut Kota Teheran. Seakan menyiratkan kontras kaum mullah yang konservatif dan muram dengan para kawula muda yang menyongsong masa depan dengan penuh harapan.
Kontrasnya perbedaan itu barangkali memang disengaja. Sebab, pemilihan umum kali ini diperkirakan akan membuat kalangan reformis yang didukung kaum muda merebut kekuasaan dari generasi yang lebih tua. Coba dengar hasil pemungutan suara yang diumumkan radio pemerintah IRNA, Jumat pekan lalu. Dari 290 kursi majelis yang diperebutkan, 113 sudah diketahui pemiliknya. Ternyata, 55 di antaranya sudah diraih para reformis, sementara lawannya baru merenggut 22 kursi, dan sisanya didapat oleh poros yang lebih netral.
Memang, dalam pemilu keenam ini, banyak pihak telah meramalkan bahwa warna reformasi akan makin kental di Iran. Maklum, lebih dari separuh rakyat Iran yang berhak memilih adalah kaum muda yang ingin lebih bebas dari kekangan generasi orang tua mereka. Contoh calon mereka adalah Mohammad Reza Khatami, adik Presiden Mohammad Khatami, yang memperebutkan 30 kursi di Teheran dengan 869 pesaing. Reza, 40 tahun, yang tidak canggung ngebut di atas mobil balap di jalan-jalan Teheran dengan jaket kulit dan telepon seluler, tampak nyaman juga berceramah di depan umat muslim di masjid-masjid. Menurut media massa di Iran, Reza, yang memimpin Front Partisipasi Islam—gabungan partai-partai, kelompok-kelompok reformis dan tengah—adalah jagoan yang diandalkan para reformis.
Sang abang, Presiden Khatami, tentu ingin partai reformis menguasai majelis yang sebelum pemilu ini dikuasai kaum konservatif yang sering menjengkelkannya karena kerap menghadang kebijakannya yang dinilai liberal. ’’Inilah saatnya rakyat Iran menolong pemerintah,” kata Khatami, yang sejak menjadi presiden (1997) getol melemparkan program reformasi di bidang sosial, politik, dan ekonomi, termasuk membuka diri berhubungan dengan negara-negara lain, terutama Asia.
Semakin terbukanya gaya politik luar negeri Iran ini terasa hingga Jakarta. Menteri Luar Negeri Iran, Kamal Kharazi, dalam kunjungan dua hari ke Indonesia (16-17 Februari 2000) menyatakan bahwa Iran memang sedang mendekatkan diri dengan negara-negara Asia, terutama untuk kerja sama di bidang ekonomi. Menurut Kharazi, di Iran sebenarnya tidak ada kelompok reformis dan konservatif, tapi yang jelas rakyat Iran tidak ingin kembali ke masa lalu. ’’Bangsa kami sudah terlalu lama ketinggalan, oleh perang dan sanksi ekonomi,” kata Kharazi.
Keinginan untuk meninggalkan masa silam yang kelabu itu jelas menguntungkan kelompok reformis. ’’Paling tidak, 60 persen kursi parlemen jatuh ke reformis,” kata Reza. Hal itu sangat beralasan karena pihak konservatif tampaknya tidak berani lagi berlaku terlalu represif seperti pada pemilihan sebelumnya. Dewan Pengawal—lembaga yang menyaring kandidat pemilu parlemen—yang didominasi kubu konservatif, misalnya, ternyata hanya berani melarang sekitar 1.000 kandidat yang jelas-jelas berideologi sekuler untuk ikut pemilihan, dan meloloskan saja kandidat-kandidat lain yang berseberangan dengan garis ideologi mereka. Menurut pengamat, hal itu karena pemimpin tertinggi, Ali Khameneh’i, tidak mau berisiko munculnya reaksi keras masyarakat, seperti demonstrasi mahasiswa memprotes pembredelan media massa, pertengahan tahun lalu, yang berakhir dengan penahanan beberapa mahasiswa.
Lalu, bagaimana kubu konservatif bermain? Yaitu dengan cara mendukung Ali Akbar Hashemi Rafsanjani, bekas presiden Iran yang kini berlaga dalam pemilu parlemen. Rafsanjani sebenarnya reformis dan memiliki banyak kesamaan pandang dengan Khatami. Hanya, ia cenderung bersikap lebih gradual.
Agaknya reformasi memang sulit dibendung lagi di Iran, dan kaum konservatif menyadari hanya mampu untuk menahan lajunya saja.
Bina Bektiati.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo