TUTUP tahun 1978, Pulau Dua, 'surga burung bangau' di Teluk
Banten, Jawa Barat, berpesan lagi. Pulau itu kini tersambung
buntutnya dengan daratan Jawa. Endapan lumpur Kali Banten yang
bermuara di dekatnya telah membentuk jembatan darat yang
permanen. "Ini merupakan masalah yang gawat," kata Djupri
Rubani, Kepala PPA (Perlindungan dan Pengawetan Alam) Rayon
Banten Utara yang berkedudukan di Kasemen, Serang.
Mengapa gawat? "Kini manusia dan mamalia kecil seperti anjing,
kucing dan tikus bisa bebas memasuki pulau itu. Keamanan dan
kelestarian burung di cagar alam itu dapat terganggu" kata orang
PPA yang biasanya seminggu sekali menyeberang ke pulau itu
dengan perahu bermotor. Walaupun kini tersambung, lalu-lintas ke
'pulau' itu dari daratan Jawa masih banyak dirintangi tanah
rawa dan hutan bakau nan becek. Hingga masih jarang terdengar
ada pencuri burung atau telurnya masuk ke Pulau Dua.
Namun wartawan TEMPO Ed Zoelverdi, yang mengunjungi cagar alam
itu pertengahan Desember ini, sempat juga menyaksikan petugas
PPA mengejar tamu tak diundang -- beberapa penangkap ikan yang
menyusuri lumpur dari daratan Jawa. Sang tamu selamat lolos,
lantaran si petugas tak sampai hati menggunakan senjata apinya.
Tentu saja, tersambungnya pulau mini itu dengan induknya, bukan
hasil setahun dua tahun. Ketika Gubernur Jenderal Hindia Belanda
menetapkannya sebagai cagar alam untuk perlindungan burung, 30
Juli 1937, pulau itu masih beberapa kilometer terpisah dari
darat. "Tahun 1976, sudah saya laporkan ke Bogor bahwa ia
sebentar lagi bakal tersambung," tutur Rubani. Waktu itu, kalau
air surut, orang dapat berjalan di atas pasir becek dari buntut
tenggara P. Dua ke daratan kabupaten Serang. Tapi kalau air
pasang, jembatan pasir itu berubah kembali menjadi selat.
Lalu, apa yang telah dilakukan Direktorat PPA di Bogor itu?
"Bogor menjanjikan akan membangun pagar sepanjang 300 meter tapi
biayanya tetap juga belum turun," keluh Rubani. Maka dia hanya
menambah petugas di dekat "pintu masuk" cagar alam itu.
Pemagaran saja pun terang tak cukup. "Kalau mau dikembalikan
fungsinva menjadi suaka burung yang aman, selat yang sudah
tertimbun lumpur itu harus dikeruk kembali," katanya lagi.
Lumpur kiriman Kali Banten terus mengalir ke laut. Soalnya,
sungai kecil itu berhulu dan bersumber di Gunung Prakasak, di
selatan Cilegon, dan gunung itu pun kini tak berhutan rimbun.
Sementara selatan P. Dua sudah tersambung dengan daratan Jawa,
ombak terus mengikis pantai utaranya, sedang akar pohon bakau
tak mampu lagi melindunginya. "Setiap tahun pantai itu terkikis
sedepa," kata seorang petugas PPA di sana. Di situ, pesan
Rubani, diperlukan tembok atau susunan batu penahan erosi
gelombang laut.
Bukan alam saja yang menggerogoti kelestarian pulau itu. Para
nelayan kelihatan memancangkan bagannya di perairan pantai nan
dangkal. Malah ada yang hanya 200 - 300 meter dari garis pantai.
Jadinya, nelayan dan burung sejenis bangau dan kuntul saling
berebut ikan kecil sebangsa teri, kesukaan penghuni P. Dua yang
bersayap itu. Ada juga nelayan yang mampir mencari kepiting,
keran, atau menjemur ganggang di pasir pantai pulau itu. Namun
setelah penjagaan diperketat, frekwensi tamu tak diundang itu
makin sedikit.
Burung di situ bervariasi sampai 91 jenis, termasuk yang transit
sambil bertelur dari Jepang, Cina, Pilipina, Birma ilalaysia
dan Australia. Populasi burung itu sering menjadi atraksi ilmiah
bagi pemuda dan remaja pencinta alam. Tcrutama bagi mereka dari
Jakarta, di mana nasib burung sering terkena pelor senapan
angin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini