Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Simalakama Politik Tionghoa

Kemakmuran ekonomi saja tak bisa memberi keamanan. Bisakah partisipasi politik menjadi sarana pembauran?

15 Februari 1999 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lieus Sungkharisma mengaku tak pernah berniat jadi politisi. Selulus SMA, seperti anak Tionghoa lain, dia ikut berdagang di toko milik orangtuanya. Namun, minatnya dalam organisasi terlalu besar. Dia kemudian bergabung dalam kegiatan pemuda. Karirnya melambung ketika pada 1986 terpilih menjadi Ketua Generasi Muda Buddhis, organisasi pemuda Buddha yang?seperti ormas pemuda lain?tergabung dalam KNPI. ''Di situ saya mulai tertarik dengan cerita-cerita politik," katanya. Dan tahun lalu, dalam usia 38, dia memproklamasikan Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (Parti). Karir politik Lieus, dan usia Parti sendiri, masih harus diuji oleh waktu?dan pemilu. Namun keduanya telah membukukan sejarah. Parti adalah partai pertama sejak Baperki?entitas politik Tionghoa?mati pada masa Orde Lama. Dan Lieus adalah perkecualian. Hanya sedikit orang Tionghoa yang senang?dan berani?terjun ke politik, bahkan kini, setelah atmosfer politik lebih terbuka menyusul jatuhnya Soeharto dan partai baru bermunculan. Hasil jajak pendapat yang dilakukan TEMPO menunjukkan bahwa partisipasi mereka dalam politik tergolong rendah. Meski umumnya menganggap banyak kebijakan Orde Baru tak sesuai dengan harapan, dan mengaku menerima perlakuan diskriminatif sehari-hari, mereka tampak gamang bagaimana harus memperjuangkan kepentingannya (lihat: Suara Tionghoa untuk Mega). Hasrat mereka dalam berorganisasi pun sangat rendah. Secara telak, sebagian besar responden menganggap partai Tionghoa tidak dibutuhkan karena justru akan ''menambah masalah bagi masyarakat Tionghoa". Ancaman keamanan merupakan alasan yang paling banyak disebut kenapa mereka enggan berpolitik. Depolitisasi yang dirancang Orde Baru telah menjangkiti hampir semua massa rakyat. Namun, apatisme politik di kalangan Tionghoa memang diperparah timbunan faktor. Salah satu yang mencolok adalah rasa tidak aman karena posisinya?seperti orang Yahudi di Eropa masa silam?sebagai minoritas secara etnis tapi superior dalam ekonomi. Selama bertahun-tahun terakhir ini, menjadi Tionghoa di Indonesia umumnya berarti menempati posisi relatif makmur di sebuah negeri miskin. Meski jumlahnya hanya 3 hingga 5 persen (atau sekitar 10 juta) dari penduduk Indonesia keseluruhan, mereka secara kolektif diyakini menguasai 70 hingga 80 persen sektor perdagangan swasta, mulai dari toko kelontong kecil, jaringan distribusi, hingga lembaga keuangan raksasa. Kemakmuran ternyata tidak bisa membeli keamanan. Kerusuhan Mei lalu, meski bukan yang pertama dan terakhir, memberikan garis tebal bagi kenyataan itu. Di tengah Jakarta yang terbakar, kalangan Tionghoa menjadi sasaran utama keberingasan massa. Harta benda mereka dijarah, pertokoan mereka dibakar, perempuan mereka diperkosa dan bahkan dibunuh. Ironis bahwa bagi massa pribumi sendiri, kemarahan itu ternyata memicu tragedi dalam skala yang lebih kolosal. Ratusan?bahkan mungkin ribuan?orang pribumi tewas terpanggang ketika pusat-pusat pertokoan yang mereka jarah dibakar. Baik pribumi maupun Tionghoa sebenarnya menjadi korban dari sistem patronase Soeharto yang korup. Orde Baru, yang menguntungkan segelintir pengusaha Tionghoa sedemikian fantastisnya, telah menancapkan stereotip yang kaprah di kalangan penduduk pribumi. Stereotip yang menegaskan kecurigaan panjang. Berabad-abad lalu, karena prosekusi di negerinya, orang Tionghoa lari menuju negeri-negeri lain di Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Di perantauan mereka berhasil menancapkan citra sebagai pedagang yang tekun, dan juga memiliki kesediaan untuk membaur dengan masyarakat lokal. Namun, status mereka berubah ketika Belanda datang ke sini 400 tahun silam dan meletakkan landasan semiaparteid, dengan memilah warga negara menjadi tiga bagian: Eropa, Timur Asing (Arab, India, Tionghoa), dan pribumi. Meski begitu, Belanda memanfaatkan orang Tionghoa sebagai rekan dagang, sistem patronase yang bertahan hingga kini. Orde Baru meneruskan sikap mendua kolonial Belanda itu. Di satu sisi, Tionghoa dipandang sebagai lokomotif penarik gerbong ekonomi yang mogok sepeninggal Bung Karno. Di sisi lain, banyak dari mereka menjadi korban kebijakan antikomunis. Sambil tetap menguntungkan beberapa teman dan pendukung Tionghoa, dan mengutip keuntungan finansial dari mereka, Soeharto secara intensif menegaskan identitas nasional yang monolit. Larangan membicarakan SARA diimbangi dengan kebijakan melarang pemakaian huruf Cina dalam buku dan publikasi, perayaan Imlek, serta keterlibatan Tionghoa dalam kehidupan politik. Selama bertahun-tahun, minoritas Tionghoa harus membayar mahal untuk patronase segelintir warganya dengan Soeharto: melepaskan nama, bahasa, sekolah, dan tradisi mereka. Lebih dari itu, kerusuhan Mei lalu membuktikan bahwa Soeharto, para jenderal, dan Golkar ternyata tak bisa memberi jaminan keamanan selamanya. (lihat Setelah Beringin Tak Lagi Teduh). Bagaimana setelah Soeharto turun? Partisipasi dalam politik sering diyakini sebagai cara pembauran yang baik. Dalam sistem yang demokratis, partai politik adalah salah satu wahana penting untuk memperjuangkan aneka kepentingan golongan?ekonomi, agama, serta budaya?dan melakukan tawar-menawar secara fair dengan kelompok kepentingan lain. Arief Budiman, mantan dosen Universitas Kristen Satya Wacana yang sekarang memimpin Pusat Kajian Indonesia di Universitas Melbourne, Australia, menilai kemunculan partai Tionghoa sebagai sesuatu yang wajar dalam pencarian identitas di era baru. ''Bahkan mungkin perlu, untuk mengatasi rendah dirinya sebagai orang Cina," katanya. Munculnya kelompok politik Tionghoa juga memungkinkan perdebatan yang lebih terbuka tentang siapa mereka sebenarnya, apa aspirasinya, dan apa perannya. Di zaman Orde Baru, perdebatan seperti itu dianggap tabu tapi justru menjadi bom waktu dalam sekam. Namun keterlibatan politik saja tampaknya tidak cukup. Kasus Baperki di zaman Orde Lama, misalnya, menunjukkan bahwa politik?dalam suasana kecurigaan yang begitu besar?justru bisa menjadi bumerang bagi orang Tionghoa. (lihat Hoakiau Berpolitik: dari Trauma ke Trauma?) Meski partai seperti PKB dan PAN tampak siap menerima mereka, kecurigaan mayoritas pribumi?khususnya yang muslim?terhadap Tionghoa belum pupus benar. ''Tampilnya orang Cina dalam pentas politik nasional akan merupakan ancaman," kata Achmad Sumargono dari Partai Bulan Bintang, ''baik karena kecinaannya maupun karena agamanya yang non-muslim." Namun Sumargono, yang pernah bekerja di pengusaha Tionghoa Jan Dharmadi, menyatakan siap bersaing secara fair. ''Kami tidak khawatir selama sistem pemilunya adil dan jujur," katanya. Dan bagaimanapun, dia memang menyatakan respek kepada tokoh seperti Arief Budiman dan Kwik Kian Gie?yang disebutnya sebagai ''nasionalis dan intelektual yang tak perlu diragukan lagi wawasan kebangsaannya". Namun Kwik sendiri adalah pengecualian. Resep pembauran yang lebih mendasar tampaknya harus dimajukan. Dalam kerangka itu, Arief mengingatkan perlunya partai Tionghoa ikut secara inklusif memperjuangkan penegakan hukum dan mencegah pelanggaran hak asasi manusia?yang menjadi ciri masyarakat mandani. ''Mereka juga harus memprotes kekejaman di Aceh," katanya. ''Jangan hanya kalau ada satu orang Cina diperkosa ribut, sementara seribu diperkosa diam saja." Juga di lapangan ekonomi. Seraya mengecam segelintir konglomerat Tionghoa yang mendapat fasilitas Soeharto, Arief juga sepakat akan perlunya konsep affirmative action seperti di Amerika Serikat (terhadap orang kulit hitam) atau konsep New Economic Policy (NEP) yang diterapkan di Malaysia, menyusul kerusuhan anti-Tionghoa 1969: pengusaha pribumi diberi kesempatan lebih besar daripada Tionghoa. Namun Arief mengingatkan pentingnya kebijakan seperti itu dilakukan secara transparan dan dibicarakan pula dengan orang-orang Tionghoa. Dan membicarakan hal itu hanya bisa dilakukan pada tataran politik yang di dalamnya memiliki wakil bagi orang-orang Tionghoa. Zaman telah berganti. Kini, setelah Soeharto turun, Indonesia memiliki peluang untuk membangun negeri ini secara lebih benar, termasuk menghabisi lingkaran kekerasan serta ketidakadilan di kalangan rakyatnya, baik yang pribumi maupun Tionghoa. Mampukah? Farid Gaban, Purwani Diyah Prabandari, Hardy R. Hermawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus