CERITA tentang kemelut yang menimpa Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), gereja kristen dengan pengikut terbesar di Indonesia, akhirnya kami putuskan menjadi Laporan Utama pekan ini. Maka, kesibukan di kantor Biro TEMPO di Medan langsung meningkat tajam. Maklumlah, sekalipun merupakan gereja terbesar, kantor pusat HKBP berada di Pearaja, Tarutung, terpaut sekitar 300 kilometer dari Medan, ibu kota Provinsi Sumatera Utara. Karena itu, para wartawan TEMPO di Medan mendapat porsi yang cukup besar dalam menyiapkan Laporan Utama ini. Seperti biasa, pengumpulan bahan dilakukan dengan sistem ''keroyokan'' oleh enam reporter yang ada di biro itu, dengan koordinasi dari Kepala Biro Bersihar Lubis. Hasilnya? ''Gawat, Bang,'' kata Sarluhut Napitupulu, salah seorang awak biro Medan. Yang dipanggilnya abang itu tak lain adalah Bersihar Lubis. Rupanya, tokoh HKBP, Ephorus Dr. S.A.E Nababan, mendadak terbang ke Jenewa, Swiss. Padahal, Ephorus tentu saja sumber penting dalam laporan ini. Ia merupakan tokoh puncak di gereja itu, tapi karena dia pulalah Bakorstanasda ikut campur. Nababan dimakzulkan oleh surat Bakorstanasda, dan soal ini menjadi pembicaraan ramai. Berkat kasak-kusuk, akhirnya Bersihar dan kawan-kawan mengetahui bahwa Nababan menginap di Hotel Penta, Jenewa. Nah, Kamis sore pekan lalu, pertanyaan pun dikirim dari Medan ke Jenewa, melalui faks. Tapi kenapa Bakorstanasda sampai campur tangan dengan urusan intern gereja? Alasan yang formal, sejauh ini, karena kemelut di HKBP sudah sangat berkepanjangan, dimulai awal priode kepemimpinan Nababan tahun 1987 hingga sekarang. Kemelut itu belakangan ini dinilai Bakorstanasda sudah mengganggu stabilitas keamanan di daerah itu. Betulkah? Untuk mencari jawaban yang lebih jelas, ketua Bakorstanasda harus diwawancarai. Mayor Jenderal H.R.Pramono telah terbang ke Jakarta, karena itu tugas untuk mencari jenderal ini diserahkan ke Wahyu Muryadi, wartawan di Biro Jakarta. Tentu saja TEMPO tak ingin berat sebelah dalam menyiasati kemelut ini. Karena itu, Domine P.M. Sihombing, sekretaris jenderal HKBP priode 1982-1987, termasuk sumber yang harus diwawancarai. Sihombing dan Nababan merupakan dua tokoh penting dari cerita pertentangan panjang di HKBP ini. Sihombing disebut-sebut sebagai tokoh di belakang gerakan anti-Nababan. ''Padahal, Nababan itu masih tulang alias paman saya,'' kata Sihombing kepada Affan Bey Hutasuhut, awak TEMPO di Medan. Selain itu, mereka berasal dari kampung yang sama, Siborong-borong, Kabupaten Tapanuli Utara. Pendeta Dr. S.M. Siahaan, yang ditunjuk oleh Bakorstanasda menjadi pejabat Ephorus HKBP pengganti Nababan, dengan tugas mempersiapkan sinode godang (semacam kongres) HKBP, ikut pula diwawancarai awak Biro Medan. Karena setting cerita utama ini terjadi di Sumatera Utara, Kepala Biro Bersihar Lubis kebagian tugas ekstra pula, selain tugas utamanya mengoordinasi peliputan Laporan Utama ini. Bersihar ikut menuliskan cerita panjang ini bersama Yulizar Kasiri, penanggung jawab rubrik Agama. Koordinasi dan diskusi antara Yulizar dan Bersihar dilakukan dengan intensif, melalui saluran telepon Jakarta-Medan. Seluruh tulisan mereka itu kemudian diedit oleh Bambang Bujono, redaktur pelaksana yang membawahkan rubrik Agama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini