Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Prelude

Bila Ormas Mesti Diatur

14 Agustus 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah pro-kontra, Dewan Perwakilan Rakyat mengesahkan Rancangan Undang-Undang Organisasi Kemasyarakatan pada awal Juli lalu. Pengesahan itu didukung 311 orang dari 361 legislator yang hadir. Sejumlah organisasi kemasyarakatan memprotes dan berniat mengajukan uji materi. Mereka menilai aturan pengganti Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 itu masih represif serta melanggar kebebasan berkumpul dan berpendapat.

Majalah Tempo pernah menulis tentang rancangan undang-undang organisasi kemasyarakatan saat pertama kali disahkan menjadi undang-undang, pada edisi 8 Juni 1985. Sejak awal kemunculannya, tahun itu, aturan ini memang sudah diwarnai perdebatan.

Hari itu, Jumat, awal Juni 1985. Senyum lebar tak lepas dari wajah Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam saat memberi sambutan dalam sidang DPR untuk mengesahkan RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan. "Sungguh, RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan kita merupakan gema dari Sumpah Pemuda, gema dari proklamasi kemerdekaan kita, gema dari penjabaran konstitusi dan ideologi nasional kita," katanya. RUU Keormasan itu akhirnya disahkan DPR. Lebih dari separuh, atau 249 dari 451 orang, anggota Dewan setuju.

Kegembiraan Soepardjo bisa dimengerti. Sejak disampaikan pemerintah satu tahun sebelumnya, pembahasan RUU itu jalan di tempat. Resistensi muncul dari pelbagai organisasi kemasyarakatan, mahasiswa, hingga pengurus masjid. Banyak organisasi kemasyarakatan memandang RUU Keormasan dengan penuh curiga. Yang paling ditakutkan adalah ketentuan bahwa semua organisasi kemasyarakatan harus menganut asas tunggal Pancasila. Itu dianggap menghilangkan ciri tiap organisasi.

Tidak cukup melakukan pembicaraan maraton 50 hari, tiga fraksi—Fraksi Karya Pembangunan, Fraksi Persatuan Pembangunan, dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia—menggelar dengar pendapat dengan berbagai ormas hingga 40 kali. Banyaknya acara dengar pendapat itu menjadi dasar Ketua Panitia Khusus RUU Suhardiman mengklaim RUU Keormasan sudah demokratis dan menampung aspirasi organisasi kemasyarakatan. Ia mengibaratkan diri sebagai penjahit yang membuatkan baju sesuai dengan keinginan organisasi kemasyarakatan, pengguna baju itu.

Tetap saja banyak pihak memprotes. Pasalnya, meski gelar pendapat diadakan berpuluh kali, berbagai usul yang muncul selalu menguap begitu saja. Usul dari Lembaga Bantuan Hukum, dalam dengar pendapat dengan Fraksi Karya Pembangunan, yang meminta supaya pembubaran organisasi kemasyarakatan hanya bisa dilakukan setelah melalui proses peradilan, misalnya, ternyata tak pernah digubris. Ketika kembali ke Senayan, Fraksi Karya Pembangunan tetap menyatakan pembubaran adalah hak prioritas pemerintah dan bukan aspek hukum. Sebagai fraksi mayoritas, tentu keputusan Fraksi Karya Pembangunan akhirnya yang jadi pemenang. Begitu pula usul Majelis Ulama Indonesia, agar pasal tentang pembinaan organisasi kemasyarakatan dihilangkan, tidak pernah ditanggapi.

Sebenarnya pendapat fraksi di Dewan juga terbelah. Ada sejumlah poin yang pembahasannya berjalan alot. Pertama, tentang judul. Fraksi Persatuan Pembangunan mengusulkan nama RUU itu diganti menjadi RUU Organisasi Kemasyarakatan dan Peribadatan. "Bagi kami, itu penting, agar masjid yang punya AD/ART itu juga tidak dicakup dalam ormas," kata Yusuf Syakir, juru bicara Fraksi Persatuan Pembangunan di Pansus. Usul ini akhirnya ditolak.

Kedua, soal pembekuan dan pembubaran organisasi kemasyarakatan. Fraksi Persatuan Pembangunan meminta pembubaran harus melalui pengadilan. Begitu juga Fraksi Partai Demokrasi Indonesia, yang mengusulkan supaya Mahkamah Agung yang berwenang membubarkan organisasi kemasyarakatan. Kedua usul itu pun mental.

Perihal definisi organisasi kemasyarakatan juga jadi masalah. Sebagian kelompok—seperti Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI), Dewan Gereja-gereja Indonesia, dan MUI—tidak ingin didefinisikan sebagai organisasi kemasyarakatan. Mereka enggan jika nantinya mesti terkena ketentuan undang-undang ini. "MAWI bukanlah organisasi tersendiri, melainkan hanya merupakan suatu bagian atau sebuah perangkat dari Gereja Katolik, yang hanya ada satu di seluruh dunia. Gereja Katolik bukanlah ormas. Jadi MAWI, sebagai salah satu bagiannya, juga bukan ormas," ujar Sekjen MAWI Leo Soekoto.

Akhirnya, untuk mengurangi penolakan, pemerintah sedikit melunak dengan mengambangkan kesimpulan apakah ketiga organisasi itu termasuk organisasi kemasyarakatan atau bukan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus