Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Sahidah*
Haruskah kicauan media sosial, seperti Twitter, mematuhi aturan tata bahasa? Ya dan tidak. Namun ketidakpatuhan ini tentu tidak berakibat ganjaran, hukuman, atau sanksi sosial, kecuali dalam ujian sekolah. Hanya, ada kaitan erat antara gagasan dan ketepatan ungkapan. Di sini, setidak-tidaknya ada dua teori, yaitu Intensionalisme, yang menegaskan bahwa makna itu bisa diraih secara pasti karena bahasa bisa menampilkan diri apa adanya. Bayangkan, kalau penggunanya sesuka hati menulis istilah dan kata, khalayak akan mudah salah paham. Sedangkan teori Tanggapan Pembaca memberikan keleluasaan kepada pembaca untuk mengail pesan dari sebuah ujaran, betapapun susunannya kacau. Bahkan, meskipun kalimatnya tertib, tafsir terhadap teks senantiasa mengandaikan banyak makna.
Kita acap menemukan banyak kicauan di Twitter yang berbau bahasa lisan, karena percakapan di media sosial ini sering mengandaikan pertukaran sapaan dan keakraban. Sepertinya bahasa resmi tak sesuai dengan gaya percakapan yang lebih santai dan emosional. Apalagi, lema tweet, sebagai kata dasar Twitter, bermakna "kicau bunyi burung kecil" dan secara kiasan "bercakap kosong". Betapapun kata padanannya juga sering digunakan—untuk mengelak dari makna kedua dari "kicau" dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai "tipu" dan "kecoh"—pemilik akun memilih kata twit sebagai pengalihsuaraan dari kata asal.
Menariknya, kata twitter yang diandaikan oleh kamus Cambridge sebagai "pengicau sesuatu yang tak begitu penting secara singkat" (1997, halaman 1574) bisa bergeser menjadi pengicau gagasan yang panjang dan berguna melalui kultwit, singkatan dari kuliah twit. Aneh, mereka yang mengenal susunan DM malah secara sewenang-wenang memanfaatkan struktur MD bahasa Inggris. Lebih aneh lagi, kuliah yang digambarkan sebagai ajang penyemaian pengetahuan secara ilmiah malah dikicaukan. Sebaliknya, untuk menunjukkan perang kata-kata di microblogging ini, pengguna membuat tanda # (hashtag) di depan kata twitwar untuk menunjukkan apa yang ditulis sebagai adu hujah. Ketidakajekan ini menunjukkan memang belum ada pedoman untuk penyeragaman istilah.
Selain itu, tak hanya di sini, di negara asalnya, pengguna Twitter memanfaatkan media sosial ini untuk menyebarkan ideologi tertentu. Hanya, mereka menulis sebuah ide atau seruan dengan taat asas, yaitu sesuai dengan tata bahasa dan tanpa singkatan sewenang-wenang. Kicauan akun @Edward_Abbey yang sering memanfaatkan jumlah karakter dengan baik, seperti "Religious environmentalism is a joke considering that religious organizations work to subdue the revolutionary of the masses", adalah salah satu contoh. Banyak akun serupa mengicaukan pandangan kritis tentang pelbagai isu, tapi dengan bahasa baku.
Mengingat bahasa Indonesia tidak seringkas bahasa Inggris, kita bisa menyiasatinya dengan memanfaatkan singkatan yang telah ditetapkan KBBI. Pembiasaan ini secara perlahan akan mengikis sikap sewenang-wenang dan membelajarkan pemilik akun untuk berbahasa secara benar. Meskipun pada mulanya kicauan dianggap cakap kosong, kalau menyimak tulisan Edward Abbey, kita menemukan gagasan yang serius. Kicauan Abbey sering berupa satu kalimat yang bernas dan tepat memenuhi syarat batas kicauan, yang tak lebih dari 140 karakter. Sedangkan di sini kita sering menemukan kicauan yang tak hanya ditulis seenaknya, tapi malah dihubungkan dengan kaitan (link) berita, video, dan penggabungan beberapa kultwit dalam chirpstory.
Salah sebuah akun penerbit ternama menyebut pengikutnya dengan tuips. Kata terakhir ini merupakan peminjaman dari kata tweeps. Dalam kamus online Oxford, istilah ini adalah sebutan untuk pengikut di situs media sosial Twitter, yang merupakan gabungan dari kata tweet dan peeps. Kata peep sendiri adalah ungkapan tidak resmi untuk teman. Ketidakkonsistenan pengalihan seperti ini juga berlaku pada kata retweet yang kadang ditulis ritweet. Lalu, dengan wujud kesimpangsiuran seperti ini, mungkinkah Badan Bahasa menjadi pelopor untuk mengalihbahasakan istilah-istilah teknis dalam Twitter? Tentu agak riskan karena, di negeri asalnya, kata-kata tersebut diikuti dengan kata "informal" atau dalam KBBI ditandai dengan "cak". Nah, masalahnya, mengapa ragam cakapan ini menyusup pada tulisan?
Jawaban dari pertanyaan di atas: Twitter itu adalah kicauan. Pemilik akun bisa sesuka hati berkicau. Akun resmi sebuah penerbitan mencampuradukkan bahasa Inggris dan bahasa Indonesia, tapi para akademikus pun melakukannya. Pendek kata, setiap pemilik akun mempunyai kebebasan untuk mengekspresikan dirinya. Hanya, kalau seorang guru besar menulis kata jamak "teman" dengan temans, mungkin kebiasaan seperti ini tidak elok karena ia bukan anak remaja lagi. Betapapun Twitter pada asalnya dikaitkan dengan bicara kosong, banyak ustad yang berbicara ihwal agama di sini, bahkan ada sebuah akun khusus yang mengunggah ayat-ayat Al-Quran. Mungkin bisa kita terima apabila partai politik menggunakan Twitter untuk berkampanye, karena ungkapan politikus sering berupa kabar burung.
*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo