KAMIS siang tanggal 14 Oktober yang lalu penduduk Kelurahan Kayu
Putih, Rawasari di Jakarta mendengar deru-deram seperti suara
pesawat mau tinggal landas. Anak-anak dan orang tua menyerbu ke
luar rumah dan menari asal suara. Dalam beberapa menit kemudian
mereka sudah tumplek di sekitar sebuah perusahaan jual-beli besi
tua, yang terletak di pinggir jalan (bypass) Jenderal Ahmad
Yani. Kerumunan orang banyak itu coba dibubarkan oleh pemilik
perusahaan dan beberapa pegawainya. "Sudah, pulang! Tak ada
apa-apa di sini", teriak seorang. Tetapi orang tidak mau
beranjak juga. Dan sebuah tabung besi hampir semeter panjangnya
nyungsep ke tanah dekat tembok menarik perhatian mereka. Benda
itulah ternyata yang membuat suara berisik yang membangunkan
penduduk sekitar yang mau beranjak tidur siang. Bentuknya persis
sebuah bom. Perutnya bolong dan asap hitam masih menyembur dari
sana sebelum benda itu benar-benar tak bergerak lagi. Namun
demikian orang-orang tak berani mendekat.
Peristiwa ini dimulai dari pelelangan barang-barang bekas
kepunyaan Perum Angkasa Pura tanggal 5 Mei 1976 yang lalu.
Seorang saudagar bernama Ali Jayaatmaja (sehari-harinya di
daerah Senen lebih beken dengan nama Haji Ali Bopeng), berhasil
membeli benda tersebut berikut barang-barang lain, seperti
tabung gas pengelasan, accu genset, tabung-zekering, alat
penerangan landasan dan alat-alat leideng. Benda berbentuk bom
itu seluruhnya ada empat buah, masing-masing seberat 75 kg.
Harga jualnya dalam lelang bukan satuan, tetapi kiloan: I kg Rp
37,50. "Bom" ini kemudian digelandang ke tempat saudagar Haji
Ali, di dekat bioskop Adiluhung, Senen. Sekalipun di perut "bom"
itu ada tulisan "tak boleh dibanting" dan "tak boleh jatuh"
dalam bahasa Inggeris, namun para pegawai Haji Ali kabarnya enak
saja memperlakukan benda itu sama seperti mereka memperlakukan
barang-barang biasa.
Dua-tiga bulan "bom" itu nganggur di tempat Haji Ali, sampai
akhirnya seorang pedagang dari Kayu Putih membelinya. Semula
pembeli memang ragu-ragu apakah barang ini cukup menguntungkan
kalau dibeli. Sebab harganya sedikit di atas harga besi biasa.
Tapi bujukan Haji Ali mengena juga. "Ini zekering. Di dalam ada
tembaga", katanya dengan aksen Tionghwa yang kentara. Nah 'boln"
yang empat biji itu digelandang lagi ke atas truk dan dibawa
keperusahaan milik Sobirin dan Hendra di Kayu Putih, Rawasari.
Untung-untungan Pak Sobirin memerintahkan para pegawai ahli las
membongkar barang belanjaannya. "Siapa tahu, di dalam 'kali ada
tembaganya. Tembaga harganya Rp 400 perkilo" tutur Hendra.
Bom-bom itu ditidurkan di tepi kali kecil yang terletak di depan
perusahaan. Pekerjaan mengelas memang selalu dikerjakan di situ.
Tempatnya adem, di bawah pohon. "Bom" itu mulailah diblejeti.
Manap dan Usman yang berkewajiban mengerjakan pekerjaan
tersebut. "Mula-mula saya pakai pahat. Dihantam keras-keras,
kagak bisa bolong juga", kata Usman. Kemudian seperangkatan alat
las disiapkan. Sssst . . . semburan api diarahkan Manap ke perut
si "bom". "Besi itu tembus. Cuma, begitu lobangnya hampir
seinci, tiba-tiba asap menyembur", cerita Manap. "Bom" itu
tiba-tiba mengeluarkan bunyi sangat brisik. Asap hitam dan api
menyembur dan "bom" itu bergerak dan melompat-lompat. "Sekalipun
saya pegang, dia tetap lari juga. Akhirnya saya lepaskan saja.
Saya lantas lompat dan tiarap di pinggir kali. Kaki saya luka.
Bunyinya bukan main dah", sela Usman.
Tentu Meledak
"Bom" itu kemudian merayap-rayap selama 3 atau 4 menit. Pemilik
perusahaan dan para pegawai jadi panik. Mereka takut kalau "bom"
itu akan meledak, karena itulah mereka tak berani gagah-gagahan
menghentikannya secara beramai-ramai. Mereka mengintip tingkah
benda itu sambil menyuruk-nyuruk di bawah bangunan atau di
belakang truk yang lagi parkir di situ. Senggol sana, senggol
sini, sempat juga dia menyentil kaca sebuah mobil. "Suaranya
benar-benar seperti pesawat mau takeoff", cerita Hendra.
Akhirnya barang itu nancap di tanah dekat tembok. Apinya
menyambar pohon pisang (yang keesokan harinya mati) dan hampir
saja membakar krei rumah orang sebelah. Setelah suaranya padam
dan apinya mati, "bom" itu baru didekati. Dan ternyata di
perutnya ditemukan 3 buah lobang. "Saya kira lobang yang dua
lagi itu terjadi dengan sendirinya, karena tekanan dari dalam.
Kalau lobangnya hanya satu saja, saya tak tahu ke mana dia
terbang. Saya pikir bisa sampai ke Sunter", ujar Hendra.
Benda itu kemudian menjadi teka-teki besar di pinggir bypass
tadi. Pemilik perusahaan besi-tua itu kemudian menimbang "bom"
yang baru saja unjuk kekuatan. Ternyata dari 75 bobotnya semula
melorot tinggal 40 kilo. "Ngarapin tembaga, jadinya rugi sampai
Rp 200.000", urai Hendra pula. Rupanya orang-orang yang tinggal
di sebelah kena semprotan asap-hitam dan muntah-muntah terus
meskipun sudah dibawa ke dokter. Beberapa orang menggunakan
kesempatan memeriksakan diri pada dokter, mumpung yang punya
"bom" akan menanggung biaya. Banyaklah tetangga yang marah
karena peristiwa itu. Mereka kaget sedang Sobirin dan Hendra
memang cukup menunjukkan pengertian untuk meringankan kerugian
mereka.
Lantas Hendra cs balas minta ganti-rugi pula kepada penjualnya,
Haji Ali di Senen. Tetapi tauke ini dengan yakinnya mengatakan:
"Mana mungkin meledak. Itu zekering". Akhirnya contoh "bom" yang
dibawa ke belakang bioskop Adiluhung itu dicoba juga olell tauke
Haji Ali. Dia angkat dan dia banting. Ternyata tak meledak.
"Kalau bom tentu meledak", katanya meyakinkan. Akhirnya "bom"
yang tempo hari sudah meledak itu dibawa pula ke hadapan Haji
Ali. Melihat lobang dan rongga "bom" itu yang sudah hangus,
kecut juga hatinya. "Kalau begini saya ngeri juga", katanya
ciut.
Persoalan ganti-rugi ini masih berkepanjangan sampai sekarang.
Fihak Perum Angkasa Pura, pemilik semula dari "bom-bom" tersebut
lewat Kepala Hubungan Masyarakatnya belum mengakui benda itu
datang dari tangannya. "Bom" itu sendiri belum dia lihat,
kecuali lewat 2 buah koran yang memuat fotonya. "Melihat foto
tabung tersebut dalam sk Berita Buana dan Sinar Pagi yang
bertuliskan Jato, dapat kami sampaikan bahwa Jato adalah roket
pendorong bagi pesawat terbang agar dapat take-off dalam jarak
yang sangat pendek. Biasanya dilakukan oleh pesawat-pesawat
militer. Menurut dugaan kami Jato tersebut berasal dari
peninggalan zaman pendudukan Belanda", kata Perum Angkasa Pura
dalam sebuah siarannya yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober.
Perusahaan umum itu memang mengakui telah melakukan pelelangan
tanggal 5 Mei tetapi "apakah benda Jato itu termasuk dalam
partai barang-barang Ielangan tadi sedang dalam penyelidikan
kami", sambungnya pula. Namun Haji Ali, si pembeli tangan
pertama dari Angkasa Pura merasa pasti bahwa "bom" itu dia beli
dari Angkasa Pura. "Surat-suratnya komplit ada pada saya",
jawabnya.
Dua di antara empat "bom" itu menurut Hendra sudah dibawa
sebagai barang bukti untuk penyelidikan. Tetapi penyelidikannya
masih belum rampung juga. Dalam daftar lelang yang bernama Jato
memang tak ada. Ini mungkin akan membikin pengungkapan menjadi
agak sukar. Andai dalam daftar lelang itu ada saja tulisan yang
menyebutkan Aerojet General Corp, seperti yang tertulis di perut
"bom", penyelidikan bisa cepat rampung. Masak begitu, ada orang
sampai jual barang yang tak tahu apa gunanya dan bikin bahaya
masyarakat. Cari duit sih cari duit, jangan bikin mati orang
dong", kata Hendra kesal. Dia menggeleng-geleng di tengah
tumpukan besi tuanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini