Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bom mati di rawasari

Empat buah benda berbentuk bom yang diperoleh dari lelangan perum angkasa pura menghebohkan penduduk rawasari. mengeluarkan suara keras dan bergerak sendiri. kemungkinan bekas milik zaman belanda. (ils)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAMIS siang tanggal 14 Oktober yang lalu penduduk Kelurahan Kayu Putih, Rawasari di Jakarta mendengar deru-deram seperti suara pesawat mau tinggal landas. Anak-anak dan orang tua menyerbu ke luar rumah dan menari asal suara. Dalam beberapa menit kemudian mereka sudah tumplek di sekitar sebuah perusahaan jual-beli besi tua, yang terletak di pinggir jalan (bypass) Jenderal Ahmad Yani. Kerumunan orang banyak itu coba dibubarkan oleh pemilik perusahaan dan beberapa pegawainya. "Sudah, pulang! Tak ada apa-apa di sini", teriak seorang. Tetapi orang tidak mau beranjak juga. Dan sebuah tabung besi hampir semeter panjangnya nyungsep ke tanah dekat tembok menarik perhatian mereka. Benda itulah ternyata yang membuat suara berisik yang membangunkan penduduk sekitar yang mau beranjak tidur siang. Bentuknya persis sebuah bom. Perutnya bolong dan asap hitam masih menyembur dari sana sebelum benda itu benar-benar tak bergerak lagi. Namun demikian orang-orang tak berani mendekat. Peristiwa ini dimulai dari pelelangan barang-barang bekas kepunyaan Perum Angkasa Pura tanggal 5 Mei 1976 yang lalu. Seorang saudagar bernama Ali Jayaatmaja (sehari-harinya di daerah Senen lebih beken dengan nama Haji Ali Bopeng), berhasil membeli benda tersebut berikut barang-barang lain, seperti tabung gas pengelasan, accu genset, tabung-zekering, alat penerangan landasan dan alat-alat leideng. Benda berbentuk bom itu seluruhnya ada empat buah, masing-masing seberat 75 kg. Harga jualnya dalam lelang bukan satuan, tetapi kiloan: I kg Rp 37,50. "Bom" ini kemudian digelandang ke tempat saudagar Haji Ali, di dekat bioskop Adiluhung, Senen. Sekalipun di perut "bom" itu ada tulisan "tak boleh dibanting" dan "tak boleh jatuh" dalam bahasa Inggeris, namun para pegawai Haji Ali kabarnya enak saja memperlakukan benda itu sama seperti mereka memperlakukan barang-barang biasa. Dua-tiga bulan "bom" itu nganggur di tempat Haji Ali, sampai akhirnya seorang pedagang dari Kayu Putih membelinya. Semula pembeli memang ragu-ragu apakah barang ini cukup menguntungkan kalau dibeli. Sebab harganya sedikit di atas harga besi biasa. Tapi bujukan Haji Ali mengena juga. "Ini zekering. Di dalam ada tembaga", katanya dengan aksen Tionghwa yang kentara. Nah 'boln" yang empat biji itu digelandang lagi ke atas truk dan dibawa keperusahaan milik Sobirin dan Hendra di Kayu Putih, Rawasari. Untung-untungan Pak Sobirin memerintahkan para pegawai ahli las membongkar barang belanjaannya. "Siapa tahu, di dalam 'kali ada tembaganya. Tembaga harganya Rp 400 perkilo" tutur Hendra. Bom-bom itu ditidurkan di tepi kali kecil yang terletak di depan perusahaan. Pekerjaan mengelas memang selalu dikerjakan di situ. Tempatnya adem, di bawah pohon. "Bom" itu mulailah diblejeti. Manap dan Usman yang berkewajiban mengerjakan pekerjaan tersebut. "Mula-mula saya pakai pahat. Dihantam keras-keras, kagak bisa bolong juga", kata Usman. Kemudian seperangkatan alat las disiapkan. Sssst . . . semburan api diarahkan Manap ke perut si "bom". "Besi itu tembus. Cuma, begitu lobangnya hampir seinci, tiba-tiba asap menyembur", cerita Manap. "Bom" itu tiba-tiba mengeluarkan bunyi sangat brisik. Asap hitam dan api menyembur dan "bom" itu bergerak dan melompat-lompat. "Sekalipun saya pegang, dia tetap lari juga. Akhirnya saya lepaskan saja. Saya lantas lompat dan tiarap di pinggir kali. Kaki saya luka. Bunyinya bukan main dah", sela Usman. Tentu Meledak "Bom" itu kemudian merayap-rayap selama 3 atau 4 menit. Pemilik perusahaan dan para pegawai jadi panik. Mereka takut kalau "bom" itu akan meledak, karena itulah mereka tak berani gagah-gagahan menghentikannya secara beramai-ramai. Mereka mengintip tingkah benda itu sambil menyuruk-nyuruk di bawah bangunan atau di belakang truk yang lagi parkir di situ. Senggol sana, senggol sini, sempat juga dia menyentil kaca sebuah mobil. "Suaranya benar-benar seperti pesawat mau takeoff", cerita Hendra. Akhirnya barang itu nancap di tanah dekat tembok. Apinya menyambar pohon pisang (yang keesokan harinya mati) dan hampir saja membakar krei rumah orang sebelah. Setelah suaranya padam dan apinya mati, "bom" itu baru didekati. Dan ternyata di perutnya ditemukan 3 buah lobang. "Saya kira lobang yang dua lagi itu terjadi dengan sendirinya, karena tekanan dari dalam. Kalau lobangnya hanya satu saja, saya tak tahu ke mana dia terbang. Saya pikir bisa sampai ke Sunter", ujar Hendra. Benda itu kemudian menjadi teka-teki besar di pinggir bypass tadi. Pemilik perusahaan besi-tua itu kemudian menimbang "bom" yang baru saja unjuk kekuatan. Ternyata dari 75 bobotnya semula melorot tinggal 40 kilo. "Ngarapin tembaga, jadinya rugi sampai Rp 200.000", urai Hendra pula. Rupanya orang-orang yang tinggal di sebelah kena semprotan asap-hitam dan muntah-muntah terus meskipun sudah dibawa ke dokter. Beberapa orang menggunakan kesempatan memeriksakan diri pada dokter, mumpung yang punya "bom" akan menanggung biaya. Banyaklah tetangga yang marah karena peristiwa itu. Mereka kaget sedang Sobirin dan Hendra memang cukup menunjukkan pengertian untuk meringankan kerugian mereka. Lantas Hendra cs balas minta ganti-rugi pula kepada penjualnya, Haji Ali di Senen. Tetapi tauke ini dengan yakinnya mengatakan: "Mana mungkin meledak. Itu zekering". Akhirnya contoh "bom" yang dibawa ke belakang bioskop Adiluhung itu dicoba juga olell tauke Haji Ali. Dia angkat dan dia banting. Ternyata tak meledak. "Kalau bom tentu meledak", katanya meyakinkan. Akhirnya "bom" yang tempo hari sudah meledak itu dibawa pula ke hadapan Haji Ali. Melihat lobang dan rongga "bom" itu yang sudah hangus, kecut juga hatinya. "Kalau begini saya ngeri juga", katanya ciut. Persoalan ganti-rugi ini masih berkepanjangan sampai sekarang. Fihak Perum Angkasa Pura, pemilik semula dari "bom-bom" tersebut lewat Kepala Hubungan Masyarakatnya belum mengakui benda itu datang dari tangannya. "Bom" itu sendiri belum dia lihat, kecuali lewat 2 buah koran yang memuat fotonya. "Melihat foto tabung tersebut dalam sk Berita Buana dan Sinar Pagi yang bertuliskan Jato, dapat kami sampaikan bahwa Jato adalah roket pendorong bagi pesawat terbang agar dapat take-off dalam jarak yang sangat pendek. Biasanya dilakukan oleh pesawat-pesawat militer. Menurut dugaan kami Jato tersebut berasal dari peninggalan zaman pendudukan Belanda", kata Perum Angkasa Pura dalam sebuah siarannya yang dikeluarkan tanggal 22 Oktober. Perusahaan umum itu memang mengakui telah melakukan pelelangan tanggal 5 Mei tetapi "apakah benda Jato itu termasuk dalam partai barang-barang Ielangan tadi sedang dalam penyelidikan kami", sambungnya pula. Namun Haji Ali, si pembeli tangan pertama dari Angkasa Pura merasa pasti bahwa "bom" itu dia beli dari Angkasa Pura. "Surat-suratnya komplit ada pada saya", jawabnya. Dua di antara empat "bom" itu menurut Hendra sudah dibawa sebagai barang bukti untuk penyelidikan. Tetapi penyelidikannya masih belum rampung juga. Dalam daftar lelang yang bernama Jato memang tak ada. Ini mungkin akan membikin pengungkapan menjadi agak sukar. Andai dalam daftar lelang itu ada saja tulisan yang menyebutkan Aerojet General Corp, seperti yang tertulis di perut "bom", penyelidikan bisa cepat rampung. Masak begitu, ada orang sampai jual barang yang tak tahu apa gunanya dan bikin bahaya masyarakat. Cari duit sih cari duit, jangan bikin mati orang dong", kata Hendra kesal. Dia menggeleng-geleng di tengah tumpukan besi tuanya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus