Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pasar Ron Dan Kafilah Jepang

Penduduk desa kolongan atas, kecamatan sonder terkenal ahli dagang. bergelar pasar ron. alat angkut di ganti dengan buatan jepang. umumnya pemilik perkebunan cengkih. membangun desa berswasembada. (ds)

20 November 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH desa di Kecamatan Sonder (Minahasa) diberi nama Kolongan Atas Letaknya memang paling tinggi dibanding 9 desa lainnya di kecamatan penghasil cengkeh ini. Dengan penduduk 2622 jiwa atau 544 kepala keluarga warga Kolongan Atas tersohor di kawasan Minahasa perihal jiwa dagangnya. Alkisah sejak zaman kafilah, orang Minahasa sudah mengenal orang Sonder terutama Kolongan Atas sebagai pedagang-pedagang yang bergelar Pasar Ron. Disebut begitu karena mereka biasanya dengan mengendarai pedati lembu yang bertudung semacam kafilah kaum musafir, berkeliling atau round-round ke seluruh pelosok Minahasa untuk berjualan, di pasar mana saja yang mereka jumpai. Lalu setelah zaman kafilah itu berlalu karena munculnya kafilah-kafilah Jepang jenis Colt, Datsun dan Toyota, matikah semangat pasar ron orang Sonder? Ternyata tidak. Dengan memiliki mobil-mobil pribadi sebagai pengganti kendaraan kuno, orang Sonder tetap menguasai pasar-pasar di Minahasa bahkan di Manado. Contohnya saja, Pasar 45 di Manado yang sudah digusur oleh Walikota Pelealu, (TEMPO 3 Juli 1976) kebanyakan penghuninya adalah pedagang Sonder. Dan memang pribumi yang mampu bersaing dengan Cina dalam hal berdagang, jangan ditanya lagi kalau bukan orang Sonder. "Sebab orang Sonder lebih Cina dari orang Cina kalau berdagang", kata seorang pedagang asal Sonder. "Dan itu sebabnya, tak ada satu orang Cina yang berani berdagang di wilayah Sonder", tambahnya lagi. Perantau Itu Bicara soal mahirnya orang Sonder berdagang, jangan dikira di Sonder atau di desa Kolongan Atas, toko-toko pada bertaburan. Tak ada satu tokopun yang nampak berdiri. Mungkin karena tak ada yang bakal jadi pembeli, sebab masing-masing punya barang dagangan yang disimpan di rumahnya. Dan sebagai akibat dari kesukaan berpasar ron, desa Kolongan Atas ini agak sepi-sepi. Apa sebab? "Yang menetap di Manado ada 106 keluarga, dan di Jakarta 82 keluarga", tutur Beno Regar Hukumtua Kolongan Atas kepada TEMPO. Inipun belum dihitung yang tinggal di tempat lain. Meskipun merantau, rata-rata orang Kolongan Atas tak lupa membangun rumah di kampungnya. Kebanyakan rumah-rumah itu ditinggal sepi bagaikan bungalow selesai dibangun. Dan rumah-rumah di sini yang jumlahnya sebanyak kepala keluarga yang ada, umumnya bagus-bagus terbuat dari beton atau kayu cempaka. Ini memang jadi ukuran akan kemakmuran desa Kolongan Atas yang kini berstatus desa Swasembada tingkat II menurut typologi desa. Bicara soal kemakmuran, tentu penduduk Kolongan Atas tidak hanya mengandalkan hasil panen cengkehnya yang berkisar 300 ton. "Sebab hasil panen dari luar empat kali lipat", kata Hukumtua Beno Regar. Ternyata memang orang Kolongan Atas selain berdagang di mana-mana, juga getol memborong tanah di mana saja, asal saja sang cengkeh boleh tumbuh, lalu menanam di situ. Tercatat misalnya di daerah Mapanget Tonsea, Tumpaan dan Tambelang Tompaso Baru, sudah banyak tanah yang dikuasai orang Sonder, dan kini menjadi daerah cengkeh remaja. Tapi sejauh-jauhnya mereka merantau, rasa sayang pada kampung halaman ternyata cukup kuat. Buktinya ketika Hukumtua Beno Regar sejak April lalu mencanangkan tekad membenahi desanya, uluran tangan warga Kolongan Atas perantauan ternyata sampai juga ke kas desa. Jalanjalan dalam desa 7,3 kilometer termasuk setengah kilo jalan daeran, kini sedang dilicinkan dengan aspal, bahkan diperlebar jadi 4 meter. Anggarannya yang berkisar Rp 40 juta kesemuanya adalah hasil murni swadaya warga termasuk uluran dari perantauan. "Yang didapat dari pemerintah tak lebih dari 390 drum aspal sumbangan Gubernur Worang, dan Rp 300.000 sebagai bantuan keserasian dari Pusat", ujar Suwarno eks Kapten TNI yang kini jadi Sekretaris LSD Kolongan Atas. Lalu sesudan jalan selesai dilicinkan, niat yang menggebu ada lagi untuk membangun sebuah Balai desa permanen anggaran Rp 7,8 juta, dan proyek airminum. Kedua proyek ini segera akan dimulai karena selesai dimusyawarahkan, kata Suwarno berapi-api.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus