SEBUAH desa di Kecamatan Sonder (Minahasa) diberi nama Kolongan
Atas Letaknya memang paling tinggi dibanding 9 desa lainnya di
kecamatan penghasil cengkeh ini. Dengan penduduk 2622 jiwa atau
544 kepala keluarga warga Kolongan Atas tersohor di kawasan
Minahasa perihal jiwa dagangnya. Alkisah sejak zaman kafilah,
orang Minahasa sudah mengenal orang Sonder terutama Kolongan
Atas sebagai pedagang-pedagang yang bergelar Pasar Ron. Disebut
begitu karena mereka biasanya dengan mengendarai pedati lembu
yang bertudung semacam kafilah kaum musafir, berkeliling atau
round-round ke seluruh pelosok Minahasa untuk berjualan, di
pasar mana saja yang mereka jumpai.
Lalu setelah zaman kafilah itu berlalu karena munculnya
kafilah-kafilah Jepang jenis Colt, Datsun dan Toyota, matikah
semangat pasar ron orang Sonder? Ternyata tidak. Dengan memiliki
mobil-mobil pribadi sebagai pengganti kendaraan kuno, orang
Sonder tetap menguasai pasar-pasar di Minahasa bahkan di Manado.
Contohnya saja, Pasar 45 di Manado yang sudah digusur oleh
Walikota Pelealu, (TEMPO 3 Juli 1976) kebanyakan penghuninya
adalah pedagang Sonder. Dan memang pribumi yang mampu bersaing
dengan Cina dalam hal berdagang, jangan ditanya lagi kalau bukan
orang Sonder. "Sebab orang Sonder lebih Cina dari orang Cina
kalau berdagang", kata seorang pedagang asal Sonder. "Dan itu
sebabnya, tak ada satu orang Cina yang berani berdagang di
wilayah Sonder", tambahnya lagi.
Perantau Itu
Bicara soal mahirnya orang Sonder berdagang, jangan dikira di
Sonder atau di desa Kolongan Atas, toko-toko pada bertaburan.
Tak ada satu tokopun yang nampak berdiri. Mungkin karena tak ada
yang bakal jadi pembeli, sebab masing-masing punya barang
dagangan yang disimpan di rumahnya. Dan sebagai akibat dari
kesukaan berpasar ron, desa Kolongan Atas ini agak sepi-sepi.
Apa sebab? "Yang menetap di Manado ada 106 keluarga, dan di
Jakarta 82 keluarga", tutur Beno Regar Hukumtua Kolongan Atas
kepada TEMPO. Inipun belum dihitung yang tinggal di tempat lain.
Meskipun merantau, rata-rata orang Kolongan Atas tak lupa
membangun rumah di kampungnya. Kebanyakan rumah-rumah itu
ditinggal sepi bagaikan bungalow selesai dibangun. Dan
rumah-rumah di sini yang jumlahnya sebanyak kepala keluarga yang
ada, umumnya bagus-bagus terbuat dari beton atau kayu cempaka.
Ini memang jadi ukuran akan kemakmuran desa Kolongan Atas yang
kini berstatus desa Swasembada tingkat II menurut typologi desa.
Bicara soal kemakmuran, tentu penduduk Kolongan Atas tidak hanya
mengandalkan hasil panen cengkehnya yang berkisar 300 ton.
"Sebab hasil panen dari luar empat kali lipat", kata Hukumtua
Beno Regar. Ternyata memang orang Kolongan Atas selain
berdagang di mana-mana, juga getol memborong tanah
di mana saja, asal saja sang cengkeh boleh tumbuh, lalu menanam
di situ. Tercatat misalnya di daerah Mapanget Tonsea, Tumpaan
dan Tambelang Tompaso Baru, sudah banyak tanah yang dikuasai
orang Sonder, dan kini menjadi daerah cengkeh remaja.
Tapi sejauh-jauhnya mereka merantau, rasa sayang pada kampung
halaman ternyata cukup kuat. Buktinya ketika Hukumtua Beno Regar
sejak April lalu mencanangkan tekad membenahi desanya, uluran
tangan warga Kolongan Atas perantauan ternyata sampai juga ke
kas desa. Jalanjalan dalam desa 7,3 kilometer termasuk setengah
kilo jalan daeran, kini sedang dilicinkan dengan aspal, bahkan
diperlebar jadi 4 meter. Anggarannya yang berkisar Rp 40 juta
kesemuanya adalah hasil murni swadaya warga termasuk uluran dari
perantauan. "Yang didapat dari pemerintah tak lebih dari 390
drum aspal sumbangan Gubernur Worang, dan Rp 300.000 sebagai
bantuan keserasian dari Pusat", ujar Suwarno eks Kapten TNI yang
kini jadi Sekretaris LSD Kolongan Atas. Lalu sesudan jalan
selesai dilicinkan, niat yang menggebu ada lagi untuk membangun
sebuah Balai desa permanen anggaran Rp 7,8 juta, dan proyek
airminum. Kedua proyek ini segera akan dimulai karena selesai
dimusyawarahkan, kata Suwarno berapi-api.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini