Setelah membaca TEMPO edisi 16 dan 23 April, perkenankanlah saya memberi tanggapan. Memang tak dapat disangkal, dalam ketelitian dan keketatan edit-mengedit, TEMPO menduduki peringkat teratas jika dibandingkan dengan mingguan lainnya yang setara. Namun, kadang-kadang terlihat juga sedikit kekenduran di sana-sini. Simak saja kutipan di bawah ini yang diambil dari paragraf pertama, halaman 107, TEMPO 16 April, 1994. Semakin tersingkap, naga-naganya, peristiwa yang sangat "mengejutkan", dikenal dengan kasus restitusi pajak atau "kasus Surabaya". Bermula dari ungkapan secara terbuka, Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur Martoyo, tentang adanya kepastian suap-menyuap antara pemutus dan yang diputus. Hasilnya, bebas dari dakwaan. Pada kalimat pertama, yang "tersingkap" adalah "peristiwa yang sangat mengejutkan", karena "naga-naganya" berada di antara dua tanda koma. Namun, keberadaan kata "naga-naganya" menyiratkan bahwa "naga-naga" itulah yang tersingkap. Jika demikian halnya, kata "naga-naganya" seharusnya tak diberi sufiks, dan tak diletakkan di antara dua tanda koma. Kemungkinan lain, bagian kalimat "semakin tersingkap naga- naganya" bisa diletakkan pada bagian akhir kalimat. Dalam kalimat kedua, subjek "Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur" tak diimbangi dengan predikat. Apa yang dilakukannya, siapa orangnya, atau bagaimana keadaannya tak disebut. Kalau "kasus Surabaya" yang dijadikan subjek, maka kedua kalimat bisa digabungkan dengan membubuhkan kata "yang" di depan kata "bermula". Pada halaman 99, kolom 2, TEMPO, 23 April, tertera istilah Dutch dalam arti "bayar sendiri-sendiri". Menurut saya, istilah itu seharusnya berbunyi to go Dutch atau Dutch treat. Artinya, kurang lebih, "berlaku secara Belanda" dan "traktir cara Belanda".MARCUS SUSANTODepartment of Southeast Asian Studies School of Asian Studies University of Sydney NSW 2006 Australia
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini