Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Bukan lomba tapi kederisasi bukan lomba tapi kaderisasi

Pekan dalang bocah diadakan di ruang teratai, direktorat pengembangan kesenian jakarta, diikuti 11 propinsi. pemenangnya: mereka yang memainkan lakon wayang dalam ketentuan pakem, bukan bergaya carangan. (ils)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUA buah kelir terbentang di sebelah kiri dan kanan dari RuangTeratai, Direktorat Pengembangan Kesenian, Jakarta. Menempel di kelir, deretan wayang-wayang teguh terpampang, menuncap di batang pisang. Kemudian jajaran gamelan, bukan saja gamelan Jawa, tapi ada juga gamelan Bali, Sunda, dan beberapa bentuk gamelan atau alat musik lain yang untuk pulau Jawa sini, jarang kelihatan. Tapi jangan heran. Tataan demikian ini adalah susunan dalam rangka Pekan Dalang Bocah (20-23 Juni) sebagai suatu petilan dari Pekan Wayang Indonesia yang tahun ini masuk tahun ketiga. Sebelas dari 27 propinsi, turut dalam perlombaan ini. Sebanyak 13 dalang cilik turut serta, antara lain dari Jawa Timur dan DKI, masing-masing mengirim dua peserta. "Ini bukan lomba kok," kata Parmiadi yang kali ini duduk sebagai bagian Penerangan Pekan Dalang Bocah ini. Tambah Parmiadi lagi: "Jadi penilaian tak begitu ketat." Pembangunan, Lu Gue Ilham untuk mengadakan Pekan Dalang Bocah ini berasal dari beberapa tokoh yang gandrung akan wayang. "Kita kuatir tak ada generasi penerus," kata Sampurno SH yang jadi Ketua Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia), "jadi ini semacam kaderisasi." Sampurno sendiri tidak menyinggung niatnya atau maksud teman-temannya yang lain, untuk mendirikan semacam sekolah dalang, sebagai satu-satunya "obat mujarab" agar profesi dalang tetap bisa digalang. Karena sementara ini, "pengembangan dilakukan dengan menerbitkan buku-buku komik wayang," sambung Sampurno. Komlk yang belum banyak jumlahnya ini diterbitkan oleh Senawangi (Sekretariat Pewayangan Nasional Indonesia). Soal ceritera, memang panitya telah memberikan pengarahan. Artinya diberi bimbingan agar jalan ceritera tidak menyimpang dari tema pendidikan atau pembangunan. Soal gaya dan cara bicara, tentu saja tidak bisa diseragamkan. Mungkin karena ditekankan soal pembangunan inilah, Machyudin (13 tahun) dalang cilik dari Kalimantan Selatan selalu mengucapkan kata "pembangunan" yang lumayan juga lubernya, sehingga penonton jadi kekenyangan. Machyudin memainkan lakon pendek yang berjudul Raden Abimanyu Menuntut Ilmu. Dan setiap Abimanyu berperang melawan raksasa si lambang kejahatan (dalam lakon ini), Machyudin selalu menuduh si raksasa ini sebagai "penghalang pembangunan". Machyudin yang bisa mendalang dalam tiga bahasa (Indonesia, Kalimantan Selatan dan Bahasa Jawa) bisa meraih pemenang ke II untuk segi "kemantapan penyajian." Lain lagi gaya si Naming bin Blentek yang asal Betawi ini. Naming memainkan lakon Barong Buto Sapu Jagad. Wayang yang dipakai wayang kulit. Tapi bahasa yang dipergunakan adalah bahasa Betawi dengan sebutan lu, gue segala. Sesekali, terdengar selingan ujaran asal bahasa Melayu, Sunda dan Jawa. Musik (untuk tidak menyebut gamelan, agar lebih tepat) yang dipakai untuk mengiringi dia ngedalang juga lain. Terdengar nyanng, iramanya sering enak juga masuk di kuping, hanya terompet dan gendang yang sering-sering melompat masuk memekakkan kuping. Lakon Barong Buto Sapu Jagad ini memang tidak terdapat dalam babad Mahabarata atau di mana pun. Rupanya ini petikan Naming sendiri dan tentu saja tataan ceritera jadi kacau. Misalnya Dorna minta Semar untuk menjadi raja di Hastina. Semar menolak, Arjuna yang dari Pandawa marah kemudian mengusir Semar. Semar masuk hutan, bertapa dan raganya masuk dalam tubuh Togog. Kemudian Togoglah yang jadi raja di Hastina dan dia memerintah seenak perutnya dewek. Kemudian muncul Barong Sapu Jagad untuk melalap Togog. Walhasil memang ceritera berakhir dengan Happy end untuk Hastina, tapi kalau Arjuna sampai berkomplot dengan Dorna dan Cakil, melawan Semar, baru sekali inilah terjadi. Mungkin Naming nantinya akan mengembangkan lakon wayang dalam jagad raya ini dan watak-watak akan memainkan lakonnya sendiri-sendiri sesuai dengan kesempatan dalam setiap kesempitan peristiwa. Mungkin Naming yang membawakan lakonnya ini dengan gaya lucu, capek oleh peran Arjuna yang selalu ksatria. Mungkin pula, dia akan memainkan si Bimalah yang tukang kawin, bukan Arjuna. Dunia toh berkembang terus, juga dalam dunia wayang. Biarpun begitu, Naming berhasil meraih "keserasian penyajian terbaik" nomor ke II. Naming juga memenangkan untuk hadiah "peserta kesayangan" ke II. Wayan Kerdus Lain lagi cara mendalang Johantoro, yang ayahnya jadi transmigran di Luwu, Sulawesi Selatan. Anak ke-3 dari 7 orang bersaudara ini belajar mendalang dari Pak Jamal, teman sekampungnya di daerah baru. Jamal yang tidak ada pengalaman mendalang tapi pernah jadi anak wayang setahun yang lalu, dengan senang hati membimbing Johantoro, yang ayahnya dulu berasal dari Jember, Jawa Timur. Sang ayah, -- tukang kayu dan kini jadi petani yang mapan -- tidak senang melihat anaknya tergila-gila oleh wayang. Sang ayah, Suyitno, tentu tidak melihat masa cerah untuk dunia pewayangan di Luwu, yang jauh dari tanah Jawa itu. Sering kalau Suyitno jengkel, wayang kerdus koleksi Johantoro dibakarnya sampai habis. Sang anak tidak marah, tidak juga menangis. Entah di dalam hatinya. Tetapi dengan diam-diam, Johantoro membuat lagi wayang kesayangannya. Melihat kekerasan hati Johantoro, hati sang ayah lumer. "Lewat wayang, saya bisa ikut naik kapal terbang," kata Johantoro dan sang ayah pun turut serta. Mengenakan blangkon gaya Surakarta, juga sebilah keris terselip di pinggangnya, Johantoro mengambil lakon petikan dari Wisanggeni Lalir. Tidak lupa dia menampilkan serangkaian punakawan (Semar, Gareng, Petruk, Bagong) yang rupanya selalu menjadi kegemaran dari setiap dalang cilik ini. Di Luwu, dia telah main sebanyak 11 kali pagelaran, entah diminta tetangga yang lagi hajat atau kalau sesekali ada penjabat menengok daerah transmigran Luwu. Entah mengapa, Johantoro tidak mendapat hadiah apapun. Termasuk juga Kosimin dari Lampung yang memainkan lakon Wahyu Kembar, R. John Gatot Pratidina dari DKI Jakarta dengan lakon Amarta Jaya dan Harianto Tedjo alias The Bun Liong dari Jawa Timur dengan lakon Seno Babad Wono Marto. Bocah-bocah yang beruntung untuk tahun ini ialah Darmadi, sebagai Peserta Ketrampilan Penyajian Terbaik no. I dari Jawa Tengah yang memainkan Dasagriwo. Usia Darmadi adalah usia yang termuda, 11 tahun dan rupanya inilah bakat terpendam yang perlu digali dan dipoles. Peserta Ketrampilan Penyajian Terbaik ke-II adalah Edy Endartono dari Yogya dengan lakon Gatotkaca Lahir. Usianya sudah 15 tahun, di rumah Edy memang ada gamelan dan wayang. Edy tentu saja tidak mendapat kesulitan untuk melatih diri dan buku pedoman pedalangan dia baca dari terbitan Sekolah Menengah Karawitan Indonesia. Edy bahkan sudah mulai mengatur makan minumnya kalau hendak ngedalang. "Makan nggak usah terlalu kenyang dan minum, minum air hangat saja," kata Edy. Dia bahkan sudah dalam taraf menghafal bahasa dan mendalami jalan ceritera, setiap kali akan ngedalang. Pemenang ke-III ialah Deden Tirayana dari Jawa Barat. Juri dan panitya rupanya cenderung untuk tetap memilih mereka-mereka yang memainkan lakon wayang dalam ketentuan-ketentuan pakem. Biarpun gaya carangan sebetulnya bisa mcngundang kreatifitas (dan kreatif segudang banyaknya di kepala anak-anak kecil). Jadi bisa dimengerti kalau si Naming dari DKI atau Jokosuro dari Sumatera Selatan dengan lakon Wisanggeni Gugat atau I Made Juanda dari Bali dengan lakon Drona Sraya, yang menyuarakan berbagai bahasa dan suara, untuk para juri, sementara ini masih sulit untuk menilainya. Karena itu, mereka tidak mendapat nomor, karena wayang masih dinilai identik dengan bahasa Jawa yang mapan dan lakon yang sudah ada patokan-patokannya. Bukan improvisasi si dalang dalam merobah jalan ceritera.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus