Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jeddah: film-film tanpa sensor

Pemutaran film di bioskop jeddah, sangat kontradiktif dengan lokasinya yang hanya berjarak 70 km dari ka'bah. pihak penguasa bersikap lunak dan film-film sex tanpa sensor secara bebas diputar. (kom)

15 Juli 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMBACA laporan Goenawan Mohamad tentang beberapa segi kehidupan di Timur Tengah khususnya Saudi Arabia, saya tertarik untuk memberi komentar terutama sekali mengenai bioskop di Saudi Arabia (TEMPO 29 Oktober 1977). Goenawan mencatat tentang bioskop "kandang-ayam" di Riyadh, maka saya ingin melengkapinya dengan kenyataan-kenyataan perbioskopan di Jeddah yang saya alami dan saya ketahui. Jeddah mempunyai beberapa tempat pemutaran film resmi antara lain di Hotel Casino di Obhor Beach dengan bangunan tanpa atap yang letaknya lk 30 km dari kota. Di situ diputar film-film Barat dan Mesir yang hampir-hampir tanpa sensor. Sejenis dengan Africa Express dengan bintangnya Ursula Andress dengan harga karcis 15 Rls untuk dua pertunjukan. Sedang di dalam kota Jeddah sendiri ada sebuah gedung bioskop beratap dengan kursi-kursi jok bagus, yakni di JamJoom dengan harga karcis yang sama. Saya rasa larangan terhadap film sudah mulai luntur dan malahan dilanggar secara diam-diam dengan sikap "membiarkan" dari pihak penguasa. Buktinya di kamp-kamp pekerja asing setiap malam Jumat atau malam Sabtu diputar secara terbuka di lapangan: film-film sex (X rated) sonder sensor, semacam SHAMPOO di mana Warren Beatty bersanggama dengan Julie Christie. . . ditonton dengan "khusyuknya" oleh ratusan pekerja kasar dari Korea, Pakistan Bangla Desh, Yaman, Sudan, Sunda, Jawa, Sumatera . . . Ada lagi suatu toko yang khusus menyewakan film-film untuk diputar di rumah-rumah atau di asrama-asrama dengan ongkos antara 300-450 Rls semalam. Jumlahnya ada sekitar 20 agen penyewaan seperti itu di Jeddah saja. Filmnya pun tidak tanggung-tanggung seperti LIPSTICK di mana Margaux Hamingway mengobral payudaranya dan sampai diperkosa secara realistis di depan para penonton yang rata-rata sudah berbulan-bulan pisah isteri . . . Semua tanpa dipotong namun anehnya memakai teks bahasa Arab... Yang mengingatkan saya kepada kasus tulisan kaligrafi huruf Arabnya Arifin C Noer yang berbentuk Semar dalam drama: Orkes Madun, yang dicap menghina huruf Arab yang suci. Padahal di negerlnya sendiri huruf-huruf itu dipakai untuk film-film tak senonoh. Buat kalangan menengah atas di sini ada VIDEOTAPE OWNERS CLUB di mana para pemilik alat Videotape Recorder (yang dapat merekam dan memutar kembali film-film Televisi) dengan iuran 6000 Rls per tahun berhak memperoleh cassette Film Vedeotape sebanyak 6 judul tiap minggu. Yang ini lebih serem lagi sebab sifatnya terbatas hanya diputar di kamar televisi rumah masing-masing. Maka masuklah menerobos ke dalam lingkungan keluarga-keluarga Muslim di Jeddah dan Saudi Arabia film-film terbaru yang serba polos, yang sadis, yang massochist baik dari Barat semacam BORN INNOCENT-nya Linda Blair, maupun film-film Mesir atau Syria dengan tari perut dan adegan-adegan humor sexnya. Tak terbendung lagi. Sebab kadang-kadang dengan judul TARZAN yang dikira film anak-anak ternyata sang Tarzan bukan berkelahi tapi malah berpacar-pacaran (pacaran kelas berat) membuka-buka baju dan meraba-raba si Jane sepanjang film itu. Itu semua berlangsung hanya 70 km dari Ka'bah pusat kiblat kaum Muslimin sedunia. Hanya 1 jam taxi dari tempat tersucl di dunia. Sungguh kontradiktip sekali. Sehubungan dengan itu saya berpendapat bahwa larangan terhadap film THE MESSAGE, yang justru suci dan mengandung syiar Islam, adalah pengetrapan fanatisme yang keliru sama sekali, dan harus diralat. Terus teranr darirada menonton film-film jorok yang merusak mental di Jeddah ini lebih baik menonton sejarah perjuangan Muhammad Rasulullah saw meskipun ada kekeliruan di sana sini. Saya tidak habis-habisnya geleng-geleng kepala yang baik dilarang karena ada khilafah tapi yang jelas-jelas brengsek malah dibiarkan merajalela .... Mengapa Pemerintah Indonesia latah ikut-ikutan .... IR BAMBANG PRANGGONO PO Box 1326 Jeddah S.A.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus