MEMBACA laporan Goenawan Mohamad tentang beberapa segi kehidupan
di Timur Tengah khususnya Saudi Arabia, saya tertarik untuk
memberi komentar terutama sekali mengenai bioskop di Saudi
Arabia (TEMPO 29 Oktober 1977).
Goenawan mencatat tentang bioskop "kandang-ayam" di Riyadh, maka
saya ingin melengkapinya dengan kenyataan-kenyataan perbioskopan
di Jeddah yang saya alami dan saya ketahui.
Jeddah mempunyai beberapa tempat pemutaran film resmi antara
lain di Hotel Casino di Obhor Beach dengan bangunan tanpa atap
yang letaknya lk 30 km dari kota. Di situ diputar film-film
Barat dan Mesir yang hampir-hampir tanpa sensor. Sejenis dengan
Africa Express dengan bintangnya Ursula Andress dengan harga
karcis 15 Rls untuk dua pertunjukan. Sedang di dalam kota Jeddah
sendiri ada sebuah gedung bioskop beratap dengan kursi-kursi jok
bagus, yakni di JamJoom dengan harga karcis yang sama.
Saya rasa larangan terhadap film sudah mulai luntur dan malahan
dilanggar secara diam-diam dengan sikap "membiarkan" dari pihak
penguasa. Buktinya di kamp-kamp pekerja asing setiap malam Jumat
atau malam Sabtu diputar secara terbuka di lapangan: film-film
sex (X rated) sonder sensor, semacam SHAMPOO di mana Warren
Beatty bersanggama dengan Julie Christie. . . ditonton dengan
"khusyuknya" oleh ratusan pekerja kasar dari Korea, Pakistan
Bangla Desh, Yaman, Sudan, Sunda, Jawa, Sumatera . . .
Ada lagi suatu toko yang khusus menyewakan film-film untuk
diputar di rumah-rumah atau di asrama-asrama dengan ongkos
antara 300-450 Rls semalam. Jumlahnya ada sekitar 20 agen
penyewaan seperti itu di Jeddah saja.
Filmnya pun tidak tanggung-tanggung seperti LIPSTICK di mana
Margaux Hamingway mengobral payudaranya dan sampai diperkosa
secara realistis di depan para penonton yang rata-rata sudah
berbulan-bulan pisah isteri . . .
Semua tanpa dipotong namun anehnya memakai teks bahasa Arab...
Yang mengingatkan saya kepada kasus tulisan kaligrafi huruf
Arabnya Arifin C Noer yang berbentuk Semar dalam drama: Orkes
Madun, yang dicap menghina huruf Arab yang suci. Padahal di
negerlnya sendiri huruf-huruf itu dipakai untuk film-film tak
senonoh.
Buat kalangan menengah atas di sini ada VIDEOTAPE OWNERS CLUB di
mana para pemilik alat Videotape Recorder (yang dapat merekam
dan memutar kembali film-film Televisi) dengan iuran 6000 Rls
per tahun berhak memperoleh cassette Film Vedeotape sebanyak 6
judul tiap minggu. Yang ini lebih serem lagi sebab sifatnya
terbatas hanya diputar di kamar televisi rumah masing-masing.
Maka masuklah menerobos ke dalam lingkungan keluarga-keluarga
Muslim di Jeddah dan Saudi Arabia film-film terbaru yang serba
polos, yang sadis, yang massochist baik dari Barat semacam BORN
INNOCENT-nya Linda Blair, maupun film-film Mesir atau Syria
dengan tari perut dan adegan-adegan humor sexnya. Tak terbendung
lagi. Sebab kadang-kadang dengan judul TARZAN yang dikira film
anak-anak ternyata sang Tarzan bukan berkelahi tapi malah
berpacar-pacaran (pacaran kelas berat) membuka-buka baju dan
meraba-raba si Jane sepanjang film itu.
Itu semua berlangsung hanya 70 km dari Ka'bah pusat kiblat kaum
Muslimin sedunia. Hanya 1 jam taxi dari tempat tersucl di dunia.
Sungguh kontradiktip sekali.
Sehubungan dengan itu saya berpendapat bahwa larangan terhadap
film THE MESSAGE, yang justru suci dan mengandung syiar Islam,
adalah pengetrapan fanatisme yang keliru sama sekali, dan harus
diralat.
Terus teranr darirada menonton film-film jorok yang merusak
mental di Jeddah ini lebih baik menonton sejarah perjuangan
Muhammad Rasulullah saw meskipun ada kekeliruan di sana sini.
Saya tidak habis-habisnya geleng-geleng kepala yang baik
dilarang karena ada khilafah tapi yang jelas-jelas brengsek
malah dibiarkan merajalela .... Mengapa Pemerintah Indonesia
latah ikut-ikutan ....
IR BAMBANG PRANGGONO
PO Box 1326
Jeddah S.A.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini