Bagi saya, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur bukanlah seorang moralis atau humanis, tetapi lebih tepat dikategorikan sebagai politikus. Beberapa catatan terhadap sepak-terjang Gus Dur menunjukkan hal itu.
Tahun 1984, ketika pecah tragedi berdarah Tanjungpriok, komentar Gus Dur sama sekali tidak menyentuh kepentingan ratusan korban (yang tewas dan luka-luka), tetapi lebih condong kepada pembelaan terhadap ABRI (Benny Moerdani dan Try Sutrisno) serta pemerintah (Soeharto).
Bahkan dengan sigap Gus Dur mendampingi Benny Moerdani (ketika itu menjabat Panglima ABRI) berkeliling ke berbagai pesantren, menemui para ulama, untuk meyakinkan kepada kalangan ulama bahwa tragedi Tanjungpriok merupakan sebab-akibat yang "bisa dimengerti" dan sama sekali bukan tragedi pembantaian terhadap umat Islam.
Ketika warga NU di Timor Timur diusir disertai pula dengan perusakan masjid dan tempat ibadah lainnya (September 1995), yang pertama-tama dilakukan Gus Dur adalah mengimbau kepada umat Islam agar tidak terpancing dan melakukan tindakan destruktif. Sebuah imbauan yang sangat janggal. Sebab, bagaimana mungkin korban yang sudah teraniaya itu bisa melakukan tindakan destruktif.
Begitu juga dengan peristiwa Banyuwangi (dan sekitarnya). Ketika pertama kali Gus Dur berkomentar, peristiwa itu sudah agak lama berlangsung, dan titik perhatian Gus Dur juga tidak tertuju kepada korban dan keluarganya, tetapi kepada ABRI, yang ditudingnya berada di balik semua kejadian itu. Bahkan dengan enteng Gus Dur menuding dalang peristiwa Banyuwangi duduk di kabinet. Baru setelah itu NU membentuk tim pencari fakta.
Masih banyak catatan lain yang menunjukkan bahwa Gus dur memang politikus, bukan moralis atau humanis. Sebab, seorang moralis atau humanis lebih cenderung menolong korban (dan keluarganya), tanpa memandang latar belakang politik dan muatan ideologis yang menyertai sebuah tragedi. Dan bukan lebih berpihak kepada embusan angin.
Irfan Suryahardy
Suryodiningratan MJ 2/721
Mantrijeron, Yogyakarta 55141
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini