Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kartun

Cerita Lama Toleransi Beragama

4 Juni 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA Indonesia dicekam berbagai konflik berlatar belakang perbedaan keyakinan—seperti yang ramai sebulan terakhir ini—sungguh mencerahkan membaca kembali peristiwa lama tentang toleransi beragama di negeri ini.

Majalah Tempo edisi 12 Februari 1972 menulis bagaimana para penganut aliran kepercayaan di Indonesia berjuang memperoleh pengakuan negara. Meski sempat memercikkan ketegangan dengan sejumlah pemuka agama, upaya mereka tak sia-sia.

Aliran kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa punya sejarah panjang di Indonesia. Pada 1927-1942, banyak terbit majalah kebatinan dan kejawen tiga bulanan. Ini akhirnya mendorong seorang tokoh aliran kepercayaan, Raden Mas Wongsonagoro, mendirikan Badan Kong­res Kebatinan Indonesia pada 1954. Badan itu punya moto "Sepi ing pamrih, rame ing gawe".

Pada pertemuan akbar berikutnya, di Solo, Jawa Tengah, definisi aliran kebatinan dirumuskan. Mereka sepakat bahwa "Kebatinan adalah sumber asas dan sila ke-Tuhan-an yang Maha Esa untuk mencapai budi luhur guna kesempurnaan hidup".

Sejak itu, aliran kebatinan menjamur di masyarakat. Ini menimbulkan reaksi kurang senang dari mereka yang merasa terganggu. Sempat ada tudingan bahwa gerakan kebatinan ini hanya kedok untuk aliran komunis.

Keresahan publik ini akhirnya sampai ke radar aparat penegak hukum. Yang menarik, mereka tak langsung melarang. Lewat lembaga bernama Pengawas Aliran-aliran Kepercayaan Masyarakat di bawah Kejaksaan Agung, pada November 1970, diadakan Simposium Aliran Kepercayaan. Semua pihak diundang untuk menjembatani kondisi salah paham pada saat itu.

Salah satu rekomendasi simposium adalah penyelenggaraan Musyawarah Nasional Aliran-aliran Kepercayaan di Indonesia. Munas itu disusul dengan pendirian Sekretariat Kerja Sama, sebagai wadah tunggal semua penganut aliran kepercayaan di negeri ini.

Sekretariat ini langsung beraksi. Mereka mendesak pemerintah menjadikan 1 Sura Tahun Jawa sebagai hari libur nasional. Mereka juga meminta pemerintah membuka ruang bagi pencatatan resmi pernikahan antarpenganut aliran kepercayaan. Ketika itu, hanya pemeluk agama resmi yang berhak mencatatkan pernikahan di kantor catatan sipil.

Gebrakan Sekretariat lagi-lagi menimbulkan keresahan. Mereka dituding hendak menghapus Kementerian Agama.

Untuk menepis kecurigaan, sesepuh Sekretariat, Wongsonagoro, rajin menemui pejabat pemerintah. Dia sering ditemani Jenderal (Polisi) R. Said Soekanto Tjokrodiatmodjo, Sekjen Sekretariat. Kepada wartawan, dia membantah semua tuduhan kepada kaum kebatinan. "Kami tidak pernah meminta sesuatu dari pemerintah," katanya.

Akhirnya, para pemeluk aliran kepercayaan memilih tidak mempersoalkan macam-macam. Sesepuh Taman Siswa, Mohammad Said, mendukung pendekatan itu. "Tiada paksaan dalam beragama. Beri kebebasan semua orang untuk mendapatkan religiositasnya dengan jalan atau peraturan sendiri," katanya.l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus