Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Contoh mutakhir penggerusan dana negara bisa disaksikan di punggung Bukit Hambalang. Biaya pembangunan pusat olahraga di kawasan Bogor, Jawa Barat, itu dipompa berlipat-lipat dari anggaran awal. Lalu politikus dan birokrat menikmatinya sebagian. Kini beberapa bangunan itu ambruk, besar kemungkinan karena kesalahan teknis.
Awalnya adalah klaim membangun "ikon-ikon olahraga" oleh Kementerian Olahraga pada awal Kabinet Indonesia Bersatu. Seperti disebutkan Wafid Muharam, sekretaris kementerian itu, pemerintah ingin menyontek kompleks olahraga Bukit Jalil di Malaysia. Maka pembangunan fasilitas olahraga di Bukit Hambalang dimekarkan dengan aneka proyek. Anggarannya pun bengkak hampir sepuluh kali lipat dari rencana awal Rp 125 miliar. Bahkan, menurut catatan terbaru, nilainya dua puluh kali lipat.
Petaka datang karena sejumlah politikus Partai Demokrat bermain api. Mereka memasang "jasa" pengurusan sertifikat tanah—salah satu masalah yang menghambat proyek Hambalang bertahun-tahun. Lewat lobi politik, ganjalan administrasi di Badan Pertanahan Nasional disingkirkan kurang dari sepekan.
Para pemain politik itu lalu menentukan pemenang tender proyek. Perusahaan kontraktor ditunjuk sejak awal, melalui proses yang seolah-olah normal. Tapi tak ada yang gratis. Mereka mematok imbalan 18 persen dari nilai proyek, setidaknya begitu pengakuan Muhammad Nazaruddin, mantan Bendahara Umum Partai Demokrat. Semua harus disetor di muka. Dana lalu ditebarkan ke berbagai penjuru. Antara lain ke kongres partai yang kemudian memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum. Sisanya mengalir ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat.
Belakangan, menurut Nazaruddin, yang ditunjuk Anas menjadi bendahara umum, duit gelap itu bahkan masuk kas partainya. Pernyataan menggegerkan ini merupakan hal baru. Sebelumnya, ia hanya menyebutkan duit Hambalang untuk biaya pemenangan Anas di Kongres Partai Demokrat. Memang perlu pembuktian lebih lanjut untuk mengungkap tuduhan terdakwa perkara suap proyek Wisma Atlet Palembang itu. Soalnya, laporan keuangan partai yang dia buat sebelum dipecat, setahun lalu, sangat "primitif": hanya mencantumkan angka gelondongan, tanpa perincian.
Tugas Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap perkara Hambalang tidak mudah. Pengungkapan kasus yang kini masih dalam tahap penyelidikan itu tak sekadar membutuhkan usaha keras, tapi juga keberanian. Jika bukti-bukti atas sejumlah "nama besar" dianggap cukup, komisi antikorupsi itu tak perlu ragu meningkatkan perkara ini ke tahap penyidikan. Apalagi alat hukum cukup lengkap. Selain Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang juga bisa digunakan.
Perkara Hambalang merupakan pertaruhan Partai Demokrat, bukan hanya Anas Urbaningrum seorang. Jika benar duit "hitam" mengalir ke brankas mereka, partai biru itu bisa dibubarkan. Ancaman berat itu jelas disebutkan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Undang-Undang Partai Politik, patut disayangkan, terlalu lunak terhadap pelanggaran berat, seperti menerima duit ilegal hasil korupsi. Bisa jadi penyusun aturan ini terbelenggu kepentingan para politikus. Sanksi yang dimungkinkan hanya hukuman satu tahun penjara plus denda dua kali lipat jumlah uang yang diterima untuk pengurus penerima langsung. Partai praktis tak bisa dibubarkan Mahkamah Konstitusi dengan undang-undang ini, kecuali terbukti "menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme".
Penggerusan duit negara oleh partai politik hanya bisa dihentikan menggunakan Undang-Undang Pencucian Uang. Di sini diatur ihwal korporasi, yakni "kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum". Partai politik jelas masuk kategori itu. Menurut undang-undang ini, korporasi yang melakukan pidana pencucian uang bisa dibubarkan dan kekayaannya disita untuk negara.
Pembobolan duit proyek Hambalang sangat memenuhi "syarat" tentang pidana pencucian uang oleh korporasi. Ketentuan ini mengatur korupsi yang diduga dilakukan atau diperintahkan personel pengendali partai, dilakukan untuk memberikan manfaat bagi partai, untuk mencapai tujuan partai.
Belum terlambat menghentikan penyelewengan duit negara oleh petinggi partai politik. Hukum harus tegak demi mencegah sepak terjang mereka yang di layar televisi kerap memekik "demi rakyat" tapi terus-menerus mengisap anggaran negara. Pengusutan perkara korupsi proyek Hambalang semestinya tidak meloloskan mereka yang lancung itu.
berita terkait di halaman 34
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo