ADA seorang kaya. Ia kepingin membuat majalah dan koran. Mungkin dia bisa, tapi sebelum memulai benar, baiklah diberi sumbangan pikiran sedikit di sini: modal saja tak bisa menciptakan sebuah media massa. Dalam hubungan itulah pembicaraan yang banyak terdengar akhir-akhir ini di Jakarta, tentang pers "modal kuat" dan pers "modal lemah", tak sepenuhnya mengenai inti persoalan. Pers memang perlu kapital. Sebuah berita yang lengkap, biarpun akan habis di acara dalam dua menit, sebenarnya suatu hasil proses yang cukup mahal. Tapi duit saja tak cukup. Sebab, bersamaan dengar dana, perlu sesuatu yang lain Mungkin namanya motivas bekerja. Mungkin semangat Pendeknya, sesuatu yang esensial bagi orang yang bekerja d bidang media massa, sesuatu yang lain dari pekerjaan "kantoran" biasa ataupun di pabrik. Idealisme? Kata itu terlalu melambung kadang-kadang dan bisa melembung seperti awan: kabur batasnya. Mungkin ada kata yang lebih bersahaja: kerja di pers bukan sekadar untuk mencapai target atau ambisi, tapi juga untuk sesuatu yang memberi makna bagi hidup. Suatu kegembiraan. Suatu keasyikan, yang bisa diceritakan kepada anak cucu. Sesuatu yang tak rutin belaka. Maka, menarik ketika suatu ketika ada pertanyaan iseng yang dikemukakan kepada mereka yang bekerja di penerbitan ini. Bagaimana seandainya Anda tak bekerja di Grafiti Pers, yang menerbitkan TEMPO dan Zaman (juga Medika)? Jawab yang datang bermacam-macam. Salah satu di antaranya berbunyi: "Saya menganggur. Membeli kapal dan berhanyut-hanyut...." Ini tentu sebuah lelucon. Tapi mungkin memang lebih baik berhanyut-hanyut di laut bebas daripada bekerja tanpa makna. Tanya-jawab itu dimuat dalam majalah Grafiti, sebuah bulanan yang sejak Februari lalu ditulis oleh dan untuk "anggota keluarga TEMPO". Majalah intern ini, yang memuat berita-berita karyawan dan "tetek-bengeknya", mungkin cerminan paling khas "senda gurau" di dapur TEMPO. Isinya memang kocak (termasuk puisi lucu karya Putu Setia atau Harjoko Trisnadi) tapi itu mungkin tak bisa lain. Di balik ketegangan kerja kami, Grafiti yang dicetak offset setebal 34 halaman itu juga ungkapan keasyikan tersendiri. Fachruddin Yahya, yang mengelola penerbitan terbatas ini, adalah salah satu generasi pemula TEMPO. Kini dengan Grafiti ia membangun komunikasi dengan rekan-rekannya yang datang kemudian (misalnya 66 orang yang masuk pada tahun 1983 dan 33 lain yang akan masuk pada tahun ini). Yakni untuk meneruskan sebuah kerja, juga sebuah "permainan" yang bernama Jurnalisme. Khususnya jurnalisme yang tak dibangun dari modal semata-mata.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini