MENGAPA korupsi terjadi? "Karena kurangnya pengawasan dari atasan, tidak jelasnya pembagian wewenang, kurang berfungsinya sistem laporan, dan kurangnya mutu pengawasan sendiri." Ucapan ini perlu disimak karena yang menyatakannya Gandhi, Kepala BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan). Belakangan, lembaga ini - yang dibentuk pada pertengahan 1983 dan berada di bawah serta bertanggung-jawab langsung pada presiden - semakin sering disebut masyarakat karena dianggap "punya gigi". Gigi itu ditunjukkan Jumat lalu, tatkala Gandhi menyerahkan 14 berkas hasil pemeriksaan BPKP kepada Jaksa Agung Ismail Saleh untuk diusut sesuai dengan hukum yang berlaku. Keempat belas kasus penyelewengan keuangan yang mengakibatkan negara dirugikan Rp 2,6 milyar ini bukan yang pertama diserahkan BPKP. Pada November 1983, Gandhi juga bertandang ke kantor Ismail Saleh untuk menyerahkan 14 kasus yang bernilai Rp 2,5 milyar. Empat belas kasus yang diserahkan pekan lalu itu melibatkan empat BUMN (badan usaha milik negara) dan 24 instansi di tujuh departemen yang tersebar d 11 provinsi. "Kasus terbesar terjadi di Provinsi Riau, yang menyangkut masalah transmigrasi dan PRPTE, dan di Irian Jaya, juga menyangkut PRPTE, kata Gandhi. Selesai pertemuan satu setengah jam Gandhi dan Ismail Saleh, Gandhi keluar dari ruang kerja Jaksa Agung dengan ceria. "Lega rasanya. Pak Ismail segera akan menangam langsung kasus-kasus itu," katanya. Kegembiraan Gandhi bisa dimengerti. Aparat BPKP, katanya, kini bergairah dalam melakukan pemeriksaan, tidak seperti waktu badan itu bernama Direktorat Jenderal Pengawasan Keuangan Negara. "Kini kami tidak lagi frustrasi menunggu tindak lanjut kasus yang dilaporkan. Dulu hanya dilaporkan kepada menteri yang bersangkutan, tapi kini bisa langsung ke jaksa agung," ujarnya. Dari hasil pemeriksaan BPKP selama 1983, Departemen Kehutanan ternyata memegang rekor: terbanyak dalam penyelewengan dan manipulasi. "Terbanyak dalam arti uang negara yang dirugikan," kata Gandhi. Disusul oleh Departemen Transmigrasi dan Departemen Pekerjaan Umum. "Khusus untuk Departemen Transmigrasi, kebocoran biasanya terjadi pada proyek-proyek persiapan lahan permukiman transmigrasi. Dulu pekerjaan itu ditangani Departemen Pekerjaan Umum," ujar Gandhi yang lahir di Pandeglang, Jawa Barat, pada 1931. Kantor BPKP sendiri sampai sekarang masih menumpang di kompleks Departemen Keuangan. Ruang kerja Gandhi satu lantai dengan ruang kerja Menko Ekuin dan Pengawasan Pembangunan Ali Wardhana. Dalam tugasnya, Gandhi dibantu tujuh deputi dan 2.865 petugas pengawas serta pemeriksa. "Mereka belum mendapat insentif. Namun, gaji mereka cukup untuk hidup layak secara sederhana," kata Gandhi, yang lulus sebagai sarjana akuntansi UI pada 1961. Para pemeriksa dari BPKP terkadang bekerja mirip detektif. Dalam menyingkap manipulasi biaya docking di Pertamina, misalnya Menurut sebuah sumber TEMPO, para pelakunya bekerja cukup lihai. Semua ketentuan teknis administrasi dipenuhi. Tapi anak buah Gandhi, yang mencium adanya penyelewengan, terus melacak. Semua dokumen diteliti lagi. Akhirnya, ditemukan hal yang aneh: semua dokumen itu diketik dengan mesin ketik yang sama. Si pemeriksa lantas mendatangi alamat rekanan yang tertera pada dokumen administrasi. Di situ mesin ketik tadi ditemukan. Dugaan bahwa dokumen administrasi itu dibuat orang tertentu ternyata benar. Toh si pemeriksa belum puas. Satu per satu logbook kapal-kapal yang docking diperiksa. Ternyata, tidak semua kapal ada di dok pada tanggal tertentu-seperti yang dinyatakan dalam dokumen. Menghadapi tahun pertama Pelita IV, prioritas pengawasan akan melibatkan inspektorat jenderal di tiap departemen dan lembaga negara. "Sebagai sasaran pertama, para irjen akan diminta mengawasi masalah pelayanan kepada masyarakat, termasuk perizinan," kata Gandhi kepada James R. Lapian dari TEMPO, pekan lalu. Prioritas selanjutnya, setiap inspektur jenderal diminta mengawasi pemeriksaan keuangan dan ketaatan dalam masalah keuangan. BPKP sendiri akan menitikberatkan pada pengawasan operasional. "Dengan adanya prioritas pengawasan tiap tahun ini, orang yang akan melakukan korupsi akan berpikir panjang," ucap Gandhi. Ia mengharapkan, pada tahun ketiga Pelita IV, korupsi dan penyelewengan bisa ditekan dengan adanya "sistem pengawasan pengendahan manajemen." Apa pula itu? Sistem ini menurut Gandhi, terdiri dari beberapa hal. Pertama, pembenahan struktur organisasi, yakni penguraian dan pembagian tugas serta wewenang untuk menghindari kesemrawutan pekerjaan. Kedua, program rencana kerja. "Selama ini, baru ada PO (petunjuk operasional) untuk kepala proyek, sedang untuk hirarki di bawahnya belum ada. Itu nanti diadakan, hingga tiap kepala proyek dapat mengetahui dan mengawasi pekerjaan anak buahnya," ujar Gandhi. Ketiga, sistem pencatatan. "Setiap petugas atau pejabat nanti dikenai kewajiban mencatat, tidak cuma pengeluaran saja, tapi juga apa yang telah dihasilkan dari pengeluaran itu." Keempat, sistem pelaporan dari bawah ke atas. "Nantinya akan diciptakan mekanisme: atasan harus membaca setiap laporan bawahannya. Bukan sekadar membaca, tapi juga harus memberikan komentar atau penilaian atas laporan itu," kata Gandhi. Diharapkannya nanti tidak ada lagi atasan yang cuma tinggal tanda tangan saja. Apakah sistem baru itu akan bisa menyumbat semua kebocoran? "Yang pasti kebocoran brutal, misalnya pembelian barang atau kuitansi fiktif, dapat dihindari. Mekanisme baru ini dapat juga mengatasi pemborosan, karena setiap penyediaan atau pengadaan didasarkan pada rencana kerja," kata Gandhi. Terpancar rasa optimisme pada wajah Gandhi tatkala ia menguraikan semua ini. Diakuinya, penyelewengan akan tetap ada. Kendati begitu, pelakunya harus menggunakan cara yang lebih lihai. "Tapi kami juga akan lebih lihai," kata Gandhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini