SUATU pagi yang dingin di musim panas. Pada salah satu ruang
kuliah di kampus Berkeley sedang ada seminar pagi itu. Topiknya
cukup menarik: sejarah mengenai kereta listrik (cable car) di
San Francisco. Matakuliah seminar tersebut berjudul: Pengantar
Sejarah Perekonomian.
Pembicara tampak bergairah dalam menuturkan pengalaman yang
diperoleh dari buku-buku yang telah dibacanya. Para pendengar
memperhatikan dengan asyik sambil mencatat sana-sini di mana
perlu. Di ujung ruangan, agak ke pojok, duduk mahasiswa dari
jurusan Sejarah. Di buku catatannya terbaca: cable cars mulai
beroperasi pada tanggal 1 Agustus 1873 mengangkut sekitar 90
penumpang. Berselang sanl mahasiswa, di sebelah kanannya, anak
dari jurusan Ilmu-Ilmu Politik. Menulis dalam catatannya cable
cars memungkinkan pengangkutan ke rumah-rumah di atas bukit,
tempat para orang kaya. Cable cars mula-mula diperuntukkan bagi
kepentingan orang kaya dan turis.
Persis di sebelah kiri saya, duduk dengan tenang seorang
mahasiswa ekonomi. Ditulisnya: investasi awal diperkirakan
sekitar $60,000. Laba kotor setiap bulan diharapkan sebesar 5%
dari jumlah investasi.
Suatu malam yang sejuk di asrama mahasiswa dari berbagai negara.
Sekumpulan mahasiswa Indonesia sedang mengobrol sambil menikmati
secangkir kopi expresso dan rokok kretek kiriman sanak-saudara
dari tanah air. Mereka berbincang-bincang sambil bergurau.
Topiknya cukup hangat. Tentang perlunya suatu model pembangunan.
"Kita perlu suatu model pembangunan yang jelas, sehingga
masyarakat bisa ikut serta memberikan saran dan pandangan
mereka," usul seorang mahasiswa asal Sumatera Barat.
"Bukankah yang ada sekarang ini telah cukup jelas?", sela
mahasiswa dari Sumatera Utara sambil menghisap kreteknya.
"Maksudnya, suatu model yang bisa dinilai secara kwantitatip.
Jelas asumsi dan hubungannya," menjelaskan mahasiswa kelahiran
Jawa Barat yang kebetulan belajar ilmu ekonomi. "Tetapi model
pembangunan kita memang disusun secara gotong-royong. Mula-mula
terdapat satu konsep, kemudian didiskusikan bersama-sama.
Ditampung berbagai aspirasl dari bermacam golongan dan
kepentingan. Lalu diramu menjadi suatu model nasional" kata
seorang mahasiswa dengan akscn Jawanya yang masih agak tebal.
"Tetapi kan masih bisa ditelusur model aslinya" si mahasiswa
Sumatera Barat kembali angkat bicara.
"Wah, susah. Karena itu sudah menjadi suatu hasil ramuan," jawab
si Jawa.
"Mungkin si pembuat konsep awal juga sudah bingung," sela
mahasiswa Jawa Barat.
"Itulah!" keluh si Batak sambil mengangkat cangkir kopinya.
Mereka lalu diam. Diam-diam menghisap rokok. Dan dengan
diam-diam pula membiarkan lamunan mereka bergulung-gulung
seperti asap rokok di udara.
"Jadi, model pembangunan kita seperti opelet!" tiba-tiba si
Batak memecahkan kesunyian. Hadirin terjengak. Hampir seperli
dikomando mereka bersama-sama memandang si Batak. Minta
nenjelasan.
"Maksud saya, opelet yang spare-partsnya macam-macam. Mungkin
mesinnya merk Willis, joknya dari Mercedes, bannya bekas VW,
kapnya dari Nissan. Pendeknya, macam-macamlah!" menjelaskan si
Batak dengan bangga, sambil meneruskan teorinya.
Tiba-tiba, seperti dikomando, semua tertawa gelak-gelak. Asap
rokok kembali bergulung-gulung memenuhi ruangan.
"Wah, repot ini. Kalau persis opelet Jatinegara-Senen,
janganjangan nanti mogok di tengah jalan," seru mahasiswa dari
Padang.
"Iya, ya. Jangan-jangan sampai di Salemba ditimpukin mahasiswa,
lalu mogok. Tidak jadi ke Senen," timpal si Sunda.
Kembali mereka tergelak hebat. Menghabiskan expresso yang memang
sudah hampir licin. Malam semakin melarut.
Perbenturan pendapat lantaran perbedaan pandangan merupakan
suatu hal yang wajar. Berbeda tempat duduk, berlaman barang yang
tampak. Asas musyawarah untuk mufakat telah menghasilkan ramuan
yang bersumber dari berbagai kepentingan. Ibarat jamu, tak jelas
lagi mana yang menimbulkan rasa pahit. Cuma warnanya yang tampak
hitam kecoklatan. Warna permukaan itu yang muncul, sedangkan
bahan asal telah larut dalam ramuan. Sulit diketemukan kembali,
mana yang mula-mula mengakibatkan pahit. Kecuali kalau orang
bersedia membuang waktu dan tenaga, menelusur, meneliti dari
awal proses pembuatannya.
Ikatan "bhineka tunggal ika" telah menyatukan kita untuk diam.
Karena perbedaan pandangan yang tajam hanya akan memperlambat
jalannya pembangunan. Opelet tua, hasil tambal sulam berbagai
onderdil, harus tetap meneruskan perjalanannya ke Senen, walau
sesekali terdengar juga batuknya.
Berkeley, Agustus 1978
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini