Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tentang model pembangunan

Sekumpulan mahasiswa indonesia di berkeley, as, berdiskusi tentang model pembangunan di indonesia. model pembangunan berawal dari satu konsep yang kemudian diramu jadi model nasional.

16 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUATU pagi yang dingin di musim panas. Pada salah satu ruang kuliah di kampus Berkeley sedang ada seminar pagi itu. Topiknya cukup menarik: sejarah mengenai kereta listrik (cable car) di San Francisco. Matakuliah seminar tersebut berjudul: Pengantar Sejarah Perekonomian. Pembicara tampak bergairah dalam menuturkan pengalaman yang diperoleh dari buku-buku yang telah dibacanya. Para pendengar memperhatikan dengan asyik sambil mencatat sana-sini di mana perlu. Di ujung ruangan, agak ke pojok, duduk mahasiswa dari jurusan Sejarah. Di buku catatannya terbaca: cable cars mulai beroperasi pada tanggal 1 Agustus 1873 mengangkut sekitar 90 penumpang. Berselang sanl mahasiswa, di sebelah kanannya, anak dari jurusan Ilmu-Ilmu Politik. Menulis dalam catatannya cable cars memungkinkan pengangkutan ke rumah-rumah di atas bukit, tempat para orang kaya. Cable cars mula-mula diperuntukkan bagi kepentingan orang kaya dan turis. Persis di sebelah kiri saya, duduk dengan tenang seorang mahasiswa ekonomi. Ditulisnya: investasi awal diperkirakan sekitar $60,000. Laba kotor setiap bulan diharapkan sebesar 5% dari jumlah investasi. Suatu malam yang sejuk di asrama mahasiswa dari berbagai negara. Sekumpulan mahasiswa Indonesia sedang mengobrol sambil menikmati secangkir kopi expresso dan rokok kretek kiriman sanak-saudara dari tanah air. Mereka berbincang-bincang sambil bergurau. Topiknya cukup hangat. Tentang perlunya suatu model pembangunan. "Kita perlu suatu model pembangunan yang jelas, sehingga masyarakat bisa ikut serta memberikan saran dan pandangan mereka," usul seorang mahasiswa asal Sumatera Barat. "Bukankah yang ada sekarang ini telah cukup jelas?", sela mahasiswa dari Sumatera Utara sambil menghisap kreteknya. "Maksudnya, suatu model yang bisa dinilai secara kwantitatip. Jelas asumsi dan hubungannya," menjelaskan mahasiswa kelahiran Jawa Barat yang kebetulan belajar ilmu ekonomi. "Tetapi model pembangunan kita memang disusun secara gotong-royong. Mula-mula terdapat satu konsep, kemudian didiskusikan bersama-sama. Ditampung berbagai aspirasl dari bermacam golongan dan kepentingan. Lalu diramu menjadi suatu model nasional" kata seorang mahasiswa dengan akscn Jawanya yang masih agak tebal. "Tetapi kan masih bisa ditelusur model aslinya" si mahasiswa Sumatera Barat kembali angkat bicara. "Wah, susah. Karena itu sudah menjadi suatu hasil ramuan," jawab si Jawa. "Mungkin si pembuat konsep awal juga sudah bingung," sela mahasiswa Jawa Barat. "Itulah!" keluh si Batak sambil mengangkat cangkir kopinya. Mereka lalu diam. Diam-diam menghisap rokok. Dan dengan diam-diam pula membiarkan lamunan mereka bergulung-gulung seperti asap rokok di udara. "Jadi, model pembangunan kita seperti opelet!" tiba-tiba si Batak memecahkan kesunyian. Hadirin terjengak. Hampir seperli dikomando mereka bersama-sama memandang si Batak. Minta nenjelasan. "Maksud saya, opelet yang spare-partsnya macam-macam. Mungkin mesinnya merk Willis, joknya dari Mercedes, bannya bekas VW, kapnya dari Nissan. Pendeknya, macam-macamlah!" menjelaskan si Batak dengan bangga, sambil meneruskan teorinya. Tiba-tiba, seperti dikomando, semua tertawa gelak-gelak. Asap rokok kembali bergulung-gulung memenuhi ruangan. "Wah, repot ini. Kalau persis opelet Jatinegara-Senen, janganjangan nanti mogok di tengah jalan," seru mahasiswa dari Padang. "Iya, ya. Jangan-jangan sampai di Salemba ditimpukin mahasiswa, lalu mogok. Tidak jadi ke Senen," timpal si Sunda. Kembali mereka tergelak hebat. Menghabiskan expresso yang memang sudah hampir licin. Malam semakin melarut. Perbenturan pendapat lantaran perbedaan pandangan merupakan suatu hal yang wajar. Berbeda tempat duduk, berlaman barang yang tampak. Asas musyawarah untuk mufakat telah menghasilkan ramuan yang bersumber dari berbagai kepentingan. Ibarat jamu, tak jelas lagi mana yang menimbulkan rasa pahit. Cuma warnanya yang tampak hitam kecoklatan. Warna permukaan itu yang muncul, sedangkan bahan asal telah larut dalam ramuan. Sulit diketemukan kembali, mana yang mula-mula mengakibatkan pahit. Kecuali kalau orang bersedia membuang waktu dan tenaga, menelusur, meneliti dari awal proses pembuatannya. Ikatan "bhineka tunggal ika" telah menyatukan kita untuk diam. Karena perbedaan pandangan yang tajam hanya akan memperlambat jalannya pembangunan. Opelet tua, hasil tambal sulam berbagai onderdil, harus tetap meneruskan perjalanannya ke Senen, walau sesekali terdengar juga batuknya. Berkeley, Agustus 1978

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus